KIOS itu nampak lesu. Puluhan sangkar yang tersusun di situ cuma
berisi burung dara, puter, dan perkutut, jenis yang mudah dicari
di pasar burung mana saja. Padahal selama ini kios di Jalan
Diponegoro, Bandung, itu cukup semarak. Berbagai jenis unggas
terlarang, seperti jalak putih, gunting, nuri kepala hitam (yang
sudah amat langka itu) dijual di sana. Soalnya, pertengahan
Agustus lalu, Harmoyo, 43 tahun, pemilik kios itu, baru lepas
urusan dengan pengadilan. Dia dihukum denda Rp 7.500 atau 14
hari kurungan, untuk perbuatannya memperdagangkan unggas
terlarang itu. Bersama Harmoyo, masih ada 18 pedagang burung
lainnya yang mendapat hukuman yang sama: denda Rp 5.000 sampai
Rp 7.500 atau kurungan 7 sampai 14 hari.
"Itu baru peringatan, kalau tertangkap lagi hukumannya akan
diperberat," ancam Koestantinah Gunawan, hakim yang mengadili
pedagang burung itu. Hakim, misalnya, bisa menjebloskan pedagang
burung itu 30 hari kurungan atau denda "500 gulden", seperti
tertera pada bab I Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Tahun
1931. Ordonansi buatan Belanda 52 tahun yang silam itu,
menganggap perbuatan para pedagang burung ini cuma pelangaran.
Tapi kenapa hakim tak memakai UU No.4 Tahun 1982, tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
menjadikan ancaman hukuman lebih berat -- 10 tahun penjara atau
denda Rp 100 juta? Alasan hakim, mereka cuma pedagang, bukan
pemburu burung.
Apalagi semua terdakwa mengatakan bahwa burung itu cuma mereka
beli dari pasar burung di Jalan Pramuka, Jakarta. Karena itu,
banyak burung yang dijadikan barang bukti di pengadilan, adalah
jenis yang tak terdapat di Ja-Bar. Burung gunting dan tulang
tumpuk, misalnya, berasal dari Ja-Teng, nuri dari Indonesia
Timur. "Kalau ada orang pesan, saya ambilkan di Jalan Pramuka,"
kata Harmoyo. Di sana, seekor jalak putih cuma Rp 1.500 per
ekor, dan di Bandung bisa dijual sampai Rp 15.000. Karena itu
para pedagang pun heran, "kenapa di sini dilarang, tapi di
Jakarta tidak," seperti dipertanyakan Harmoyo.
Lebih lagi, banyak terdakwa mengaku tak tahu persis jenis burung
terlarang. Meskipun PPA pernah menyebarkan selebaran jenis
burung terlarang (semuanya ada 73 jenis burung, berdasarkan
berbagai SK Menteri Pertanian), banyak pedagang masih bingung.
Jenis srigunting, misalnya, ada yang ekornya bercabang seperti
gunting dan ada pula lurus. "Yang mana yang dilarang?" tukas
pedagang tadi. Burung beo juga terdiri dari berbagai jenis.
"Yang dilarang beo asal Nias, tapi saya jual beo Tasik, ya kena
juga," ujar Sukardi bin Tarjan, 22 tahun, pedagang yang lain.
Menurut Yoyo Tarsono, staf teknis Sub Balai PPA Ja-Bar, setiap
tahun kepada pedagang diberikan brosur dan penerangan tentang
burung-burung terlarang. Nyatanya perdagangan burung langka itu
kian ramai saja. Akhirnya Juli yang lalu, PPA bekerja sama
dengan polisi, merazia berbagai kios dan pasar burung di
Bandung. Dari situlah soalnya sampai ke pengadilan.
Para pedagang pun nampaknya tak ambil pusing dengan hukuman itu.
Yang memberatkan mereka justru burung yang disita pengadilan dan
sekarang jadi penghuni kebun binatang. Harmoyo, misalnya, rugi
27 burung dari berbagai jenis, termasuk 4 jalak putih dan 6
burung gunting. "Sulit dinilai dengan uang, karena harga burung
kan tak ada standarnya," kata pedagang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini