HUJAN berwarna hitam dan lengket, jatuh di beberapa kota di Provinsi Busher, Iran Selatan (250 km sebelah timur Kuwait), pekan lalu. Sementara itu, awan hitam, hingga akhir pekan lalu, menurut laporan kantor berita Iran, Irna, menutupi langit di atas Teluk Persia dan Busher, dan bergerak ke bagian lain Iran. Hal ini mungkin sekali terjadi akibat kebakaran di kilang minyak Kuwait, yang diledakkan Irak. Apa yang sebelumnya dikhawatirkan banyak pencinta lingkungan akhirnya terjadi juga. Perang Teluk telah menodai lingkungan. Dan bila keadaan ini terus berlangsung, dunia -- termasuk negara yang tak terlibat perang -- harus siap menerima akibatnya. Aspek lingkungan kini memang menjadi salah satu faktor yang perlu diperhitungkan dalam perang. Perang memang telah terjadi sejak ribuan tahun silam. Namun, dampaknya terhadap lingkungan baru "terasa" sekali dalam suatu perang modern yang menggunakan senjata-senjata pemusnah kelas berat, termasuk senjata kimia dan biologis. Dampak itu bisa berlangsung sangat lama. Hingga kini, masih ada orang Prancis yang terbakar oleh bom mustard peninggalan Perang Dunia I. Sekarang, hampir 50 tahun setelah Perang Dunia II, vegetasi di Afrika Utara belum juga pulih akibat meningkatnya badai pasir yang (waktu itu terjadi) ditimbulkan manuver ribuan tentara. Kini perang telah pecah lagi, dan senjata yang dipakai jauh lebih dahsyat dan lebih mengancam kelestarian lingkungan. Ladang-ladang minyak mulai dihakar. Tumpahan minyak dari tanker Irak, yang sengaja ditumpahkan Irak atau akibat pengeboman Amerika, pekan lalu mulai menggenangi Teluk Persia. Ladang-ladang minyak Kuwait dikenal "rawan" terhadap kebakaran. Soalnya, minyak Kuwait -- yang dikenal berkadar belerang tinggi -- gampang ditambang karena didapat tak jauh dari permukaan bumi. Sumur-sumur yang dangkal ini membuatnya gampang dibakar meski tak akan terjadi semburan api ke udara seperti yang mungkin terjadi pada sumur minyak yang bertekanan tinggi. Memang, di semua sumur minyak selalu ada katup-katup pengaman, yang bisa segera ditutup untuk menghentikan keluarnya minyak (dan mematikan api). Namun, bila bahan peledaknya dipasang seorang yang ahli, katup-katup pengaman di bagian sumur yang paling dalam pun tak bisa menghentikan kebakaran. Kuwait memiliki delapan ladang minyak utama, dan jumlah sumurnya sekitar 750 -- 365 di antaranya menghasilkan sekitar 1,5 juta barel minyak tiap hari. Menurut catatan OPEC, 343 dari sumur ini beroperasi dalam tekanan normal, sedang 22 sisanya dengan pompa. Banyak ahli khawatir, ladang-ladang minyak yang terbakar itu akan menyemburkan asap tebal ke lapisan atas atmosfer, yang bisa mengganggu musim hujan di Asia dan menurunkan suhu bumi. John Cox, salah seorang tokoh lingkungan Inggris, dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Partai Hijau Inggris awal Januari silam mengatakan, asap dari Perang Teluk ini bisa menutup sinar matahari, dan menurunkan suhu bumi di kawasan yang terkena sampai 20 C. "Sekitar 500 juta orang bisa kelaparan akibat perubahan iklim itu," ujarnya. Para ahli cuaca di Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation di Melbourne, Australia, berdasar proyeksi yang dihitung dengan superkomputer Cray meramalkan, jelaga yang diakibatkan kebakaran di Kuwait akan menyebar ke hampir seluruh belahan bumi bagian utara dalam waktu dua pekan. Jika jelaga itu mencapai lapisan stratosfer bumi, langit bisa gelap menghitam. Apakah itu akan mempengaruhi iklim bumi? Carl Sagan, astronom beken dari Universitas Cornell, AS, salah seorang pencetus teori yang menyatakan bahwa kebakaran ladang-ladang minyak akan menimbulkan iklim bumi yang lebih dingin, yakin akan hal itu. Ia percaya, asap dan jelaga akibat api itu akan membubung hingga lapisan stratosfer, menghalangi sinar matahari, dan menurunkan suhu permukaan bumi. Carl Sagan menunjukkan suatu bukti. Pada 1815, Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat, Indonesia, meletus (menyebabkan 10 ribu orang tewas langsung dan 82 ribu meninggal akibat kelaparan yang ditimbulkan), dan menyemburkan begitu banyak debu dan asap ke angkasa. "Tahun berikutnya, 1816, dikenal sebagai tahun tanpa musim panas," katanya. Catatan tahun itu menyebutkan bahwa panen di Eropa Utara gagal, dan salju turun pada bulan Juni di New England, AS. Sejumlah pakar mendukung dugaan Sagan. Jika ladang-ladang minyak di Kuwait dan Irak serentak terbakar, mungkin akan terjadi kondisi seperti waktu Gunung Krakatau meledak pada 1883, yang menggelapkan langit Eropa selama beberapa bulan. Namun, tak semua ahli khawatir. Richard Golob, penerbit Golob's Oil Pollution Bulletin menyatakan, kalaupun semua ladang minyak Kuwait terbakar sampai setahun, materi yang diembuskannya ke angkasa hanya mencapai sejumlah kecil dari yang pernah diledakkan Gunung Tambora. Memang banyak ahli yang berpendapat, hanya jika ratusan ladang minyak di Kuwait terbakar selama berbulan-bulan, barulah terasa pengaruhnya terhadap iklim bumi. "Hanya jika ladang-ladang minyak itu terbakar sekaligus, barulah mungkin terjadi badai api yang bisa menutup matahari. Namun, kemungkinan itu sangat kecil," kata John Pike, seorang ahli cuaca yang anggota Federasi Ilmuwan Amerika di Washington. Lembaga meteorologi Inggris tampaknya juga mengecilkan kemungkinan perubahan iklim akibat kebakaran minyak Kuwait itu. Namun, terhalangnya sinar matahari oleh asap di kawasan Kuwait mungkin akan menurunkan suhu setempat. "Akibatnya, curah hujan di sebagian kawasan Asia Tenggara akan berkurang dalam musim hujan ini," begitu dilaporkan oleh lembaga itu pekan lalu. Kalangan industri minyak Barat juga yakin, kebakaran itu tidak akan terjadi selama bertahun-tahun. Dalam waktu beberapa bulan, setelah perang berhenti, kebakaran itu akan bisa dipadamkan. Foto-foto udara menunjukkan, Irak memang telah meledakkan sejumlah ladang di Al Wafra, yang menghasilkan kurang dari 100 ribu barel sehari. Tempat penampungan minyak di kilang Shuaiba dan Mina Abdullah -- 30 km dari perbatasan Arab Saudi -- juga dikabarkan dibakar. Kebakaran yang timbul, menurut sejumlah analis, "belum seberapa". Yang dikhawatirkan adalah bila Irak meledakkan ladang minyak Burgan, ladang minyak kedua terbesar (menghasilkan lebih dari satu juta barel sehari) setelah ladang minyak Ghawar di Arab Saudi. Dr. Richard Small, pakar dari Pacific Sierra Research Corporation, mengatakan bahwa meski tak mempengaruhi iklim dunia, terbakarnya semua ladang minyak Kuwait akan sangat mencemarkan bumi. Ia memperkirakan, dalam bulan pertama, 500 ribu ton jelaga akan menyembur ke angkasa, dan dalam tempo dua pekan hampir seluruhnya akan turun kembali ke bumi bersama angin. "Bayangkan, apa yang akan terjadi pada manusia yang harus mengisap udara penuh jelaga, dan ternak yang harus makan rumput yang tertutup jelaga," katanya. Richard Turco, seorang pakar komputer dari Universitas California, malah punya perhitungan yang lebih gelap. Pekan lalu ia mengatakan pada majalah New Scientist, ladang-ladang minyak Kuwait yang terbakar dalam sebulan akan bisa mengembuskan tiga juta ton asap hitam ke lapisan atas atmosfer, dan menggelapkan seperlima dari langit bumi. Sebuah gambaran yang gelap, memang. Media massa pekan lalu menayangkan gambar burung-burung laut di Teluk Persia yang bergulat untuk hidup di air yang lengket dengan tumpahan minyak. Jumlah mereka yang tewas konon bisa mencapai jutaan. Mereka pasti tidak termasuk dalam daftar jumlah korban yang diumumkan tewas akibat Perang Teluk. Susanto Pudjomartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini