Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Koko

Zaman sekarang ini sebenarnya kita hidup tidak memerlukan ide, tetapi lebih disesuaikan dengan kehendak untuk bertindak dan berhasil. Ide kian terlepas dari proses berfikir.

2 Februari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IDE, kata Soedjatmoko, punya kaki. Ketika saya lihat lebih dari 1.000 orang hadir dalam seminar yang memperingati cendekiawan itu di Gedung Manggala Wanabakti di Jakarta pekan lalu, saya tahu Koko benar: sebuah ide bisa menjalar. Ia menyentuh kian banyak orang. Namun, benarkah kita kini membutuhkan ide? Saya bersua dengan banyak orang yang bicara, saya membaca banyak pendapat, saya mendengar di ruang-ruang diskusi, dan saya tiba-tiba tak tahu pasti lagi. Sebab, yang terdengar keluhan kepada keadaan -- terutama sekitar perilaku pemerintah atau pejabat atau konglomerat atau kebudayaan Jawa atau kekuatan asing. Yang terdengar tepuk tangan gemuruh untuk tiap pernyataan yang berani. Yang terdengar semacam kemarahan. Banyak kekesalan, bahkan kecurigaan. Namun, saya jarang menemukan ide. Zaman memang seperti mendesak kita ke kancah seperti itu. Kita lebih banyak bicara dengan pemikiran singkat ketimbang menuliskan buah telaah yang tekun. Kita kian banyak mendatangi seminar dan kian malas membaca tulisan reflektif. Dan kita makin menganggap seminar suatu show business: yang penting adalah penampilan, yang penting ialah ada selibriti yang bicara, yang penting adalah topik-topik, yang "laku". Kita memang hidup dalam suasana ketika berpikir adalah sebuah kegiatan yang aneh, malah berbahaya. Para pejabat cuma mengulang kalimat-kalimat stok lama bila harus menjelaskan suatu sikap. Para pengritik cuma menggosok kembali statemen tua bila sedang menyerang pemerintah. Sang pejabat takut dianggap "menyimpang" bila ucapannya tak mirip petunjuk dari atas. Sang pengritik takut dianggap "tak konsisten" bila pernyataannya berbeda dari yang dahulu. Mungkin kita, pada zaman yang sibuk dan riuh ini, sebenarnya tak memerlukan ide. Kita lebih mengutamakan dunia non-ide, dan itu adalah dunia tindakan. "Pada mulanya adalah perbuatan," kata tokoh dalam Faust. Kita seakan-akan mengamini itu, dan segalanya kita sesuaikan dengan kehendak untuk bertindak dan berhasil. Para pemikir ingin jadi man of action. Sartono Kartodirdjo, dalam ceramahnya di seminar pekan lalu itu, memperingatkan bahwa dalam posisi seperti itu, inteligensia berubah menjadi true-believer, "sehingga tidak merasakan ambivalensi pada dirinya". Mungkin itulah yang terjadi kini, ketika kita digerakkan oleh pemujaan kepada hasil dan action di mana-mana: kita menampik ambivalensi. Kita menyerbu tak sabar ke dalam "ya" atau "tidak", hitam atau putih, untuk lebih mudah menyeruduk ke depan. Ide, buah pikiran, kian lama kian terlepas dari proses berpikir. Ia memang punya kaki, seperti kata Koko. Ia menjalar, tapi ia kian rabun. Bergerak dalam kekalutan, batin, ia hanya dibimbing oleh refleks semata-mata, atau oleh kekuatan-kekuatan gemuruh dari bawah-sadar kita: rasa marah, rasa takut, rasa curiga. Mungkin sebab itu di zaman ini ada yang menduga bahwa "ide", yang lahir dari posisi cogito (aku berpikir) -- seperti yang dibayangkan oleh para pemikir macam Descartes -- jangan-jangan tak pernah ada. Yang ada hanya hasil asembling pelbagai unsur: kepentingan, niat berkuasa, dorongan biologis, bekas luka jiwa, dan sejumlah mimpi buruk. Namun, apa arti akal budi, kalau begitu? Apa arti "kebenaran"? Haruskah kita hidup dengan pandangan bahwa kebenaran adalah kekuasaan? Bahwa usaha mengemukakan suatu "kebenaran" mau tak mau akan sama dengan usaha menguasai pernyataan lain? Ah, saya mendengar banyak orang bicara kini, dan saya merasa bahwa akhirnya orang memang tak lagi yakin akan "kemurnian" cogito. Proses berpikir seakan hanya dianggap bagian dari urusan kuasa-menguasai. Akal budi hanya dianggap suatu sosok palsu. Ide memang punya kaki, seperti kata Koko, tapi rasanya ia dianggap hanya semacam reptil yang berjalan dalam paya-paya kehidupan yang penuh lendir. Tak terlalu hebat, dan karena ia melekat di tanah tertentu, ia bukan juga sesuatu yang bisa universal. Sebab itu, barangkali biar saja manusia hidup dengan konflik pandangan yang tak usah dijembatani dan permusuhan yang kekal... Namun, saya kira, Soedjatmoko bukan cuma percaya bahwa ide punya kaki, melainkan juga punya sesuatu yang bisa disebut "roh". Setidaknya manusia punya, dalam kata-kata Habermas, "rasionalitas yang komunikatif", dan punya harap. Saya kira karena itulah para pembaru Indonesia, seperti disebut Sejarawan Kuntowijoyo dalam seminar pekan lalu, membawa "cita-cita kemajuan dan gerakan kebudayaan rasional". Dan saya kira juga karena yakin akan adanya "roh" dalam ide pula Dorodjatun Koentjoro-Jakti menganjurkan agar kita lewat pada "landasan kehidupan yang ditandai universalisme", bukan "primordialisme". Sebab, ide punya kaki, sedang kaki tak punya ide. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus