Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH Campurejo, desa di Bojonegoro, Jawa Timur, yang tak dikenal. Sejarah seolah tak bergerak di sana. Penduduknya miskin dan sebagian terbelenggu dalam rutinitas menjadi buruh tani. Tapi, dua pekan lalu desa itu mendadak terkenal. Sebuah ledakan mengoyak langit desa itu. Api berkobar-kobar dari sumur minyak dan gas yang ada di desa itu. Penduduk tersentak.
Sulastri, buruh tani di desa itu, menuturkan, pada malam kelabu sekitar pukul 00.15 WIB tiba-tiba terdengar ledakan dan gemuruh mirip pesawat hendak mendarat. Suara itu bahkan terdengar ke desa tetangga yang jaraknya 12 kilometer dari desa itu. ”Kaca jendela rumah bergetar keras, suami saya pun gemetaran,” ujar perempuan yang rumahnya hanya berjarak 400 meter dari lokasi sumur minyak yang dikelola oleh Pertamina-PetroChina East Java itu. Warga tiga desa—Desa Campurejo, Ngampel, dan Sambiroto, Kecamatan Kapas, Bojonegoro—pun berhamburan ke luar rumah.
Suara menggelegar itu pun disusul kobaran api dan bau menyengat seperti telur busuk yang menyebar hingga radius 1,5 kilometer. Gas busuk itu adalah gas beracun, yakni H2S (hidrogen sulfur). Dalam selimut gas beracun yang menyebar di mana-mana, warga desa berlarian, termasuk Sulastri dan Ngatidjo, suaminya, yang telah lama menderita infeksi pernapasan. Mereka mengungsi ke rumah anak mereka di Tuban.
Setelah gas itu mulai menghilang, setelah lebih dari 12 jam mengungsi, Sulastri dan Ngatidjo kembali ke kampungnya. Namun, hanya beberapa jam setelah itu Ngatidjo lunglai. Lelaki ber-usia 54 tahun itu meninggal. Tak ada yang tahu penyebab pasti kematian Ngatidjo. Warga sekitar menuding gas H2S-lah penyebabnya. Kepolisian Resort Bojonegoro sebenarnya telah menawarkan- otopsi gratis untuk menjawab per-ta-nyaan itu, tapi Sulastri menolak. Ibu dua anak ini telah mengikhlaskan suami-nya pergi selamanya. Keluarga pun telah menerima uang duka dari PetroChina dan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro. ”Biarlah bapak tenang di alam sana,” ujarnya sambil tersedu.
Juru bicara PetroChina, Kemal N-ezar, tak mau angkat bicara soal kematian Ngatidjo. Dia hanya menjelaskan, per-usahaannya akan bertanggung jawab untuk pengobatan warga atau jatuhnya korban jiwa. Gas busuk dari sumur Sukowati itu memang juga membuat 17 warga harus dirawat di rumah sakit karena keracunan gas busuk itu. Rumah mereka memang hanya berjarak 600 meter dari lokasi sumur.
Menurut dokter spesialis paru-paru dari Rumah Sakit Umum Daerah Bojonegoro, Budi Sutedja, kadar belerang yang terkandung dalam gas H2S dianggap berbahaya jika jumlahnya telah mencapai 25 per sejuta (ppm). Tingkat bahayanya pun sangat bergantung pada berapa lama seseorang menghirup gas tersebut. Misalnya, kadar belerang 30 ppm yang dihirup selama satu jam lebih berbahaya ketimbang gas berkadar 50 ppm yang dihirup satu detik.
Gas H2S bukan satu-satunya ancam-an dari ledakan di tambang minyak dan gas. Dokter spesialis paru dan perna-pasan dari Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan bahwa segala limbah sumur minyak dan gas (migas) patut diwaspadai. Gas buangan itu, apa pun jenisnya, kata dia, mampu memberi dampak bertingkat dari penyakit jangka pendek (chronic specific respiratory disease) hingga penyakit -infeksi yang tergolong akut. ”Tergantung jenis gas dan berapa lama dia menghirup,” ujar Tjandra.
Sebetulnya bukan sekali ini saja su-mur minyak dan gas PetroChina di Jawa Timur berulah. Menurut Direktur Waha-na Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Ridho Syaiful Hidayat, kebocoran gas H2S dari sumur PetroChina pernah terjadi pada 2001 di Desa Rahayu, Kecamatan Suko, Kabupa-ten Tuban. Akibatnya, sejumlah petani pingsan di tengah sawah karena menghirup H2S dan tanaman petani juga meng-ala-mi kerusakan.
Akhir Mei lalu, kecelakaan serupa terjadi di Sidoarjo. Di sumur eksplorasi, PT Lapindo Brantas mengebor tanpa selubung (casing) pelindung. Akibatnya, lumpur pun menyem-bur dan menenggelamkan -tu-juh desa dan lebih dari 210 hektare lahan produk-tif. Dengan semua kejadian itu, ”Sebetulnya su-dah cu-kup alasan bagi peme-rintah untuk mengevaluasi penambangan minyak di kawasan padat penduduk,” ucap Ridho.
Sederet bencana di su-mur-sumur pengeboran ini- membuat risau Andang Bachtiar. Agar petaka tak terulang lagi, mantan Ke-tua Ikatan Ahli Geologi Indonesia itu meminta pemerintah mengubah aturan soal jarak aman lokasi sumur migas dengan lokasi permukiman. Selama ini, Badan Pelaksana Migas hanya mensyaratkan jarak aman 100 meter. Arti-nya, pada radius 100 meter dari penge-boran, daerah itu harus steril dari rumah penduduk. Dengan kejadian di Sidoarjo dan Bojonegoro itu, Andang meminta, ”Tinjau ulang perimeter (batas luar) zona keamanan daerah permukiman menjadi 400 meter.” Jika aturan itu tak dibereskan, Andang khawatir, kasus Sukowati akan terus terjadi karena saat ini ada lebih dari 20 blok yang mengantongi izin operasi di kawasan paling padat di se-luruh Pulau Jawa.
Namun, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Luluk Sumiarso, menolak permintaan itu. Luluk masih yakin, aturan lama yang bersumber pada Mijn Politie Reglement 1930 Nomor 341 tentang Peraturan Kepolisian Pertambangan, jarak 100 meter antara sumur migas dan permukiman masih cukup aman. Lagi pula, kata Luluk, kegiatan operasional di pengeboran selalu diawasi pemerintah, baik oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas maupun Badan Pelaksana Migas. ”Tidak akan ada masalah sepanjang keselamatan kerja dan perlindungan lingkungan diperhatikan,” ujar Luluk.
Untuk mencegah kecelakaan se-rupa, pemerintah kini sedang menggodok konsep aturan keselamatan minyak dan gas yang aman dan akrab lingku-ngan. Nantinya, Rencana Kawasan Ke-selamatan Operasi Migas ini akan me-ngandung empat poin utama: aman terhadap pekerja, aman terhadap masyarakat umum, aman terhadap lingkungan sekitar, dan aman terhadap instalasi itu sendiri. Berharap saja agar rencana ini tak cuma tumpukan kertas tanpa makna, sehingga derita Sulastri dan Ngatidjo tak terulang lagi.
D.A. Candraningrum, Sujatmiko (Bojonegoro), Sunudyantoro (Surabaya)
Semburan Maut di Sukowati
Semburan gas seperti di Blok Sukowati, Bojonegoro, kerap terjadi. Penyebabnya adalah kick and loss (merembesnya gas atau air ke lubang bor). Dalam kasus kick, menurut ahli perminyakan dari ITB, Rudi Rubiandini R.S., faktor alamiah lebih dominan ketimbang kesalah-an pekerja.
- Ketika pengeboran mencapai kedalaman 6.300 kaki (1,8 kilometer), gas tanpa sengaja masuk ke lubang yang sedang dibor karena tekanan di tanah lebih besar ketimbang di lubang.
- Alat pelindung (BOP) segera ditutup.
- Semburan gas liar ini dialirkan ke cerobong untuk dibakar agar tak meledak.
- Operasi dihentikan dan sumur langsung ditutup dengan lumpur dan semen serta selubung penutup.
SUMBER: Ahli perminyakan ITB, Rudi Rubiandini R.S., Superintendent Drilling (bagian pengeboran) Sumur Sukowati 5, Suyatmo.
D.A. Candraningrum, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo