Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Lev: Surat-surat Wasiat

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENCANA tak datang sendiri. Tsunami disusul tsunami, gempa disalip tanah longsor, asap pe-medas mata penyesak dada—su-ngai kering air habis. Lalu Dan Lev meninggal. Dia mengirim isyarat keberangkatannya itu lima bulan lalu. Itu pun di antara timbunan pesan, komentar, lelucon, dan desakan agar saya meneliti dasawarsa 1950-an. Menurut Profesor Lev, di situ barangkali bisa tampak sebab-musabab gagal-negara di Indonesia. Isyarat keberangkatannya agak kriptik:

”Ini ada berita kurang enak. Rupanya, dan ini baru diketahui 3 minggu yang lalu, saya mengidap kanker paru-paru. Tidak heran, sih. (Kasih tahu Hamid [maksudnya Hamid Basyaib] dkk supaya berhenti merokok). Saya akan mulai pengobatan akhir minggu depan, mungkin kombinasi kemoterapi dan radiasi. Saya tidak terlalu gembira menghadapinya. Ini berarti saya tidak akan hadir di sana tahun ini, saya sesalkan itu dari lubuk hati saya, dari lubuk hati saya.”

Sehari sebelumnya, dalam keadaan sadar akan penyakitnya, Dan masih sempat kirim lelucon: Seorang Arab tua sudah 40 tahun tinggal dekat New York, dan bernafsu menanam kentang di kebunnya. Tapi apa daya, ia sudah tidak kuat lagi bekerja sendiri mengolah tanahnya. Ia pun mengirim e-mail dan mengeluh kepada anaknya yang sekolah di Paris. Anaknya menjawab: ”Bah, jangan diaduk-aduklah tanah di kebun. Kan Abah tahu saya menyimpan se-suatu di situ!”

Pukul 4 sore itu juga, FBI, yang me-nyadap segala saluran komunikasi warga negara Amerika keturunan Arab, datang ke rumah si Arab tua. Mereka membawa traktor, buldoser, dan sekitar 20 orang kekar bersenjata garpu tanah dan sekop. Habislah tanah si gaek dibongkar. Mereka tak menemukan apa pun, dan pergi dengan rasa kecewa berat. Keesokan harinya sang ayah menerima e-mail lagi dari anaknya: ”Bah, mudah-mudahan kebun sudah cukup digarap, dan siap ditanami kentang. Hanya itu yang dapat saya bantu dari jauh, Bah! Cium tangan taat dari putramu, Ahmad!”

Pada 10 Februari saya menerima dua e-mail. Yang pertama meminta agar saya menyampaikan ucapan selamatnya kepada Bambang Harymurti, ketika itu masih Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, atas kemenangannya melawan Tomy Winata di Mahkamah Agung. Komentar Dan Lev: ”Pada akhirnya ada yang menyenangkan juga dari MA!”

Dalam e-mail-nya yang kedua, Dan memuji pandangan Dawam Rahar-djo tentang bagaimana hendaknya pemim-pin Islam bersikap dalam menghadapi pemuatan kartun Nabi Muhammad SAW di koran Denmark. Dan sekaligus menanggapi keluhan saya tentang kecerdasan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam studi keislaman dan ketidakcerdasan mereka dalam politik. Menurut dia, kedalaman intelektual yang luar bia-sa dari kelompok JIL telah membuat mereka kurang canggih dalam politik. Baik di Indonesia maupun di Amerika, kesadaran politik dan keberanian politik merupakan kebutuhan pokok yang tak ternilai pentingnya.

Profesor Lev sudah beberapa kali mengutarakan perlunya penelitian atas rangkaian kata dan peristiwa pada dasawarsa 1950-an. Saya mengeluh bahwa dasawarsa 1950-an terlalu kaya akan peristiwa sehingga sulit menemukan fokus. Yang saya tanyakan padanya adalah bagaimana mengkombinasikan peristiwa yang dirangsang oleh kejadian di luar Indonesia dengan peristiwa khusus dalam negeri. Yang saya maksud dengan rangsangan dari luar negeri adalah sikap Nederland dalam masalah Irian Barat dan subversi Amerika yang, menurut George Kahin, telah menggantikan politik luar negeri Amerika terhadap Indonesia pada zaman Soekarno.

”Justru karena begitu kaya, dan karena Suharto dkk sadar bahwa itu semua harus dihapus dengan cara menggabungkan demokrasi parlementer dengan demokrasi terpimpin dan menyebutnya Orde Lama, ia harus dibangkitkan kembali. Benar, memang sulit untuk menentukan mulainya dari mana. Saya sudah mencoba membujuk Hamid untuk menulis buku tentang periode itu, sebab inteleknya dan ketrampilan jurnalistiknya pasti menghasilkan suatu yang berguna. Namun demikian, keseluruhan sejarah masa itu harus digali kembali, sebab begitu banyak yang ada di situ dan dapat menjelaskan apa yang terjadi kemudian.”

Profesor Daniel S. Lev, yang juga anggota Dewan Penyantun Yayasan Aksara, berpendapat bahwa Aksara perlu me-nyelenggarakan serangkaian ceramah oleh mereka yang masih hidup dan punya kenangan hidup pula tentang perio-de itu: ia menyebut nama Rosihan Anwar dan Soedarpo. Biografi almarhum Soeprapto, yang pernah menjabat Jaksa Agung pada masa itu, dianggap amat berguna bagi upaya pencerahan tentang dasawarsa 1950-an.

Apa masih ada orang yang bisa bicara dan berdebat tentang Soekarno, Hatta, Roem, Sartono, Ali Sastroamidjojo, Hardi, Wilopo, dan banyak lagi. Siapa yang bisa bicara tentang kebijakan pemerintah di bidang kesehatan dan pendidikan, tentang kemampuan suatu elite yang begitu terpecah-belah tapi tetap bisa bekerja sama dalam mena-ngani isu-isu penting.

Memang benar, itu masa yang serba be-rantakan. Dan terjadi juga korupsi pada wak-tu itu, walaupun kalau dibandingkan dengan korupsi zaman Orde Baru, ti-dak ada artinya. Prestasi tahuntahun 1950-an mengagumkan bila diingat bahwa semua itu didahului suatu re-vo-lu-si yang melahirkan banyak golong-an ke-pentingan baru. Penyelenggaraan pe-mi-lihan umum 1955 sungguh menga-gumkan. Buyung bisa diundang untuk berbicara tentang Konstituante dan apa yang dapat dicapai-nya. Marsillam bisa berceramah tentang UUD 1950, suatu do-kumen yang sungguh menakjubkan. Patut disayangkan bahwa banyak anak muda dewasa ini yang sama sekali tidak ta-hu bahwa pernah ada suatu konstitusi lain, yaitu UUD 1950, yang pada saat itu ter- masuk salah satu yang paling progre-sif di dunia.

”Perlu ada suatu upaya mendorong dilakukannya penelitian baru. Keluar-ga Soeprapto [bekas Jaksa Agung] me-nugaskan Iip [Yahya] untuk menyusun biografi. Bagaimana kalau diusahakan penggalangan dana untuk penulisan sejarah tentang periode tersebut, atau barangkali penulisan sejarah-sejarah khusus tentang parlemen, misalnya, atau partai, atau kebijakan, dan menyusupnya isu-isu perang dingin. Catatan wawancara saya, khususnya pada masa 1959-1962, menyangkut berbagai isu di tahun-tahun sebelumnya. Di dalamnya termasuk pembicaraan-pembicaraan panjang lebar dengan Sartono, Roem, Koko, Hardi, Djokosoetono dan banyak pihak lagi di seluruh Indonesia. Satu set lengkap diskusi-diskusi itu akan saya berikan kepada PSHK agar diperbanyak segera setelah selesai dikopi di sini. Akan tetapi perpustakaan KITLV, Cornell, Michigan, University of Washington, Berkeley, dst mempunyai banyak bahan [tentang periode tahun 1950-an]. Bahkan di Indonesia ada lebih banyak lagi bahan di koran-koran, dokumentasi pribadi, dsb yang bisa digali. Pasti ada bahan yang menarik misalnya di Yayasan Soedjatmoko.”

”Tulisan Goen [Goenawan Moha-mad] tentang Pancasila – topik yang juga pa-tut dijadikan bahan ceramah – menghidupkan kembali suatu idee sekaligus memberinya penafsiran yang tepat sekali, saya kira. Ia juga memberi kesempatan untuk berpikir kembali tentang Bung Karno, dan memberinya penghargaan baru. Sebenarnya itulah yang seharusnya saya lakukan dalam buku saya tentang Transisi ke Demokrasi Terpimpin, tapi pada saat itu saya masih terombang-ambing ketidakpastian.”

Akhirnya Dan Lev menganggap perlu diteliti dampak Perang Dingin di Indonesia pada tahun-tahun 1950-an, terutama karena manfaat jarak waktu. Peristiwa yang sudah lama terjadi bisa dikaji dengan kepala dingin. Yang mengejutkan bagi saya adalah bahwa Dan Lev menganggap Perang Dingin sebagai salah satu faktor utama dalam meroboh-kan negara parlementer Indonesia. Kemudian demokrasi terpimpinlah yang melanjutkan upaya penghancuran itu-. Orde Baru sekadar menuntaskan des-truksi negara kita.

Pada 8 April 2006 saya kirim e-mail meminta kabar tentang keadaannya. Yang ini tidak dijawab. Akhir bulan lalu Dan Lev berangkat. Korespondensi biasa antara sahabat menjelma menjadi pesan terakhir seorang sahabat dan teladan kehidupan yang berguna. Banyak orang percaya bahwa roh seseorang yang wafat baru akan pergi untuk selamanya setelah berlalu 1.000 hari. Kalau itu benar, maka Dan Lev Selasa malam yang lalu ada di Hotel Santika Petamburan, bersesak-sesakan dengan teman-temannya. Malam ini seakan terasa kehadirannya, di samping kursi kerja saya, membaca dan mengoreksi halaman de-mi halaman tulisan ini.

Jakarta, 3 Agustus 2006

Nono Anwar Makarim

  • Ketua Badan Pelaksana Yayasan Aksara
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus