SENIN, 5 Juni lalu, seluruh dunia memperingati Hari Lingkungan
Hidup Sedunia. Bersliweran di antara turis, orang-orang bisnis
dan pengunjung serta tamu Hotel Indonesia Sheraton Jakarta,
ratusan tamu Menteri Negara PPLH Prof. Emil Salim ikut
memeriahkan hari penting itu. Mereka diundang untuk bicara dalam
Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup yang berlangsung
dua hari lamanya di hotel yang mewah itu.
Semula, dlperkirakan hanya 30 orang yang diundang. Namun selama
persiapan sebulan lamanya, dari hari ke hari agenda seminar
terus tumbuh-dari 4 kelompok diskusi menjadi 14 kelompok. Jumlah
peserta pun terus membengkak menjadi 200-300 orang, baik dari
pemerintah, maupun swasta. Mungkin ini "jamboree pertama para
ahli lingkungan," dalam istilah seorang peserta.
Seminar ini didahului dengan serangkaian "pra-seminar" selama
Mei, antara Menteri Negara PPLH dengan berbagai kelompok ahli di
Jakarta, Bogor, Bandung dan Yogya. Tujuannya: memberi input bagi
Repelita III yang tengah disusun. Juga bahan bagi program
tahunan 1978/1979 di bidang Pengembangan Lingkungan Hidup yang
memang belum ada. Dalam kata-kata sang Menteri: "Hari Lingkungan
Hidup, dan persiapan Repelita III ini merupakan satu momen
poIitis yang harus dimanfaatkan betul-betul."
Di hari-hari sibuk menjelang seminar itu, Prof..Emil Salim masih
sempat menyelipkan waktu untuk wawancara terputus-putus dengan
wartawan TEMPO, George Y. Adicondro. Berikut ini beberapa
petikan dari percakapan itu:
Apa sebenarnya relevansi antara pola hidup, atau pola konsumsi,
dengan kelestarian lingkungan yang harus Bapak awasi?
Begini. Sumber alam kita, yakni bagian dari lingkungan hidup
kita, harus dapat menumpu peningkatan kebutuhan masyarakat
Indonesia minimal sampai tahun 2000. Sesudahnya, mudah-mudahan
perkembangan ilmu dan teknologi dapat memberikan jalan keluar
baru.
Nah, dengan pola konsumsi yang berkiblat kepada negara-negara
maju, sumber alam kita tak akan cukup. Kalau dipaksakan, sumber
alam itu akan overexploited, dan ini pada gilirannya akan
merusak seluruh lingkungan hidup kita. Makanya, mulai sekarang
kita harus menyesuaikan pola konsumsi kita dengan daya dukung
lingkungan hidup kita yang terbatas. Kita tak bisa lagi
mengandalkan diri pada bonanza minyak kita selama Repelita I dan
II yang hampir usai. Membangun dan mengatur rumah dengan
berkiblat pada bacaan seperti Better Home, saya kira sudah tak
cocok lagi ....
Apakah anjuran hidup sederhana itu hanya ditujukan kepada
pribadi-pribadi golongan atas yang 20% itu? Atau juga ke alamat
pemerintah sebagai satu kesatuan?
Kunci pokok, sesungguhnya bukan yang 20% itu, tapi the top 5%
(5% yang dipuncak). Sebab dalam masyarakat yang masih
paternalistis, peri kehidupan panutan itulah yang menjadi
teladan bagi orang banyak. Memang, anjuran ini tak hanya
ditujukan kepada pribadi-pribadi di atas. Tapi juga kepada
seluruh aparat pemerintah, seluruh strategi pembangunan harus
berkiblat pada penyederhanaan pola konsumsi. Ini sudah merupakan
niat politik dari MPR dan Pemerintah, sebab sudah tercantum
dalam G.B.H.N.
Kalau begitu, apakah standar perbelanjaan pemerintah sendiri
akan lebih disederhanakan? Kantor cabang Bank Indonesia di
daerah minus seperti NTT misalnya, tampak sangat menonjol
lantaran tingginya standar bangunan yang ditentukan dari Pusat
.....
Saya tahu alasan B.I., yakni mereka harus melihat 30-40 tahun ke
depan. Makanya mereka selalu mendirikan bangunan yang tahan
lama. Tapi memang, uang itu sebenarnya bisa digunakan dengan
lebih baik ....
Sebagai Menteri Lingkungan, Bapak tentunya tahu ada sejumlah
binatang yang dilindungi. Artinya, tak boleh diburu, tak boleh
dipelihara sendiri-sendiri, tak boleh disimpan dalam bentuk
awetan. Padahal sekarang ada semacam mode di kalangan atas untuk
memiliki burung cenderawasih atau macan awetan. Bagaimana
pendapat Bapak soal ini?
Pertama, saya kurang percaya bahwa itu sudah menjadi semacam
mode. Mungkin pejabatnya tidak tahu bahwa binatang-binatang itu
dilindungi. Perlindungan alam ini kan ilmu baru? Dan seringkali,
pejabat yang sering ke daerah, tahu-tahu pulang ke rumah sudah
ada kiriman macam-macam. Termasuk binatang awetan yang
semustinya dilindungi. Lalu, saya harus berbuat apa?
Bapak sekarang sering berbicara tentang eco-development. Secara
ringkas, apa yang dimaksud dengan istilah itu?
Pembangunan yang mengindahkan segi pengembangan lingkungan
hidup. Lingkungan hidup menghendaki keragaman. Bukan monokultur.
Dalam pembangunan, keragaman juga lebih baik. Pola pertanian
yang monokultur misalnya, selain secara ekologis sangat labil,
juga sangat peka terhadap goncangan konjunkur. Makanya,
eco-development menghendaki diversifikasi ekonomi,
diversifikasi pangan, diversifikasi aktivitas, yang semuanya
didasarkan pada diversifikasi sumber alam pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini