Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Harmoni Food Estate, Lingkungan, dan Masyarakat Adat

Peneliti berhasil membuat model harmonisasi antara food estate, lingkungan, dan masyarakat adat. Penataan ruang yang seimbang.

11 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Prabowo Subianto (tengah) didampingi Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (kiri) mengoperasionalkan alat berat saat meninjau lahan pertanian di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, 3 November 2024. ANTARA/Galih Pradipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan terus melanjutkan program food estate di Merauke, Papua Selatan, sebagai langkah untuk mewujudkan swasembada pangan.

  • Kontroversi terjadi salah satunya karena masyarakat adat di Merauke menganggap lahan sebagai ibu, yang artinya menjadi sumber kehidupan.

  • Penataan ruang yang tidak seimbang berisiko menciptakan dominasi satu kepentingan terhadap kepentingan lainnya.

PRESIDEN Prabowo Subianto menyatakan akan terus melanjutkan program food estate alias lumbung pangan di Merauke, Papua Selatan, sebagai langkah untuk mewujudkan swasembada pangan di Indonesia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Program tersebut baru-baru ini menjadi sorotan publik karena adanya rencana pembukaan lahan secara masif untuk aktivitas pertanian. Menurut berita, ribuan buldoser sudah tiba di Merauke dan siap membuka lahan lebih dari 1 juta hektare untuk pencetakan sawah dan komoditas lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kontroversi terjadi, salah satunya, karena masyarakat adat di Merauke menganggap lahan sebagai ibu, yang artinya menjadi sumber kehidupan. Setidaknya ada empat suku asli di Merauke, yakni Kanum, Marind, Marori, dan Yei. Dari keempat masyarakat adat ini, suku Kanum memiliki sekitar 75 persen ulayat dari kawasan di sekitar Taman Nasional Wasur di Merauke. 

Niat untuk mencapai swasembada pangan memang baik. Namun kita perlu memastikan konsep pertanian modern dan tradisional (berbasis adat) tidak bertabrakan satu sama lain. Pelestarian keanekaragaman hayati juga harus menjadi perhatian. Upaya pembangunan pertanian massal mesti mempertimbangkan pelindungan biota yang berisiko tersingkirkan saat hutan dikonversi menjadi lahan pertanian.

Dalam hal ini, pengaturan lanskap hutan sangatlah penting untuk memastikan keseimbangan antara ruang-ruang dan fungsi produksi (seperti pertanian dan perkebunan) serta fungsi konservasi lingkungan. Keduanya, sebagaimana tertuang dalam buku saya bersama kolega yang bertajuk Teori dan Praktik Perencanaan Konservasi Sistematis, sangat krusial untuk berjalan secara beriringan.

Keseimbangan dalam pemanfaatan ruang juga menjadi salah satu perhatian saya bersama rekan-rekan di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pandangan kami tercantum dalam kertas kebijakan (belum dipublikasikan) beserta hal-hal lain yang perlu diperhatikan oleh Presiden Prabowo, setidaknya dalam lima tahun ke depan.

Penataan ruang yang tidak seimbang berisiko menciptakan dominasi satu kepentingan terhadap kepentingan lain. Misalnya, suatu ruang hanya mementingkan produksi, atau sebaliknya mementingkan konservasi lingkungan dan atau kepentingan masyarakat lokal.

Lantas, di tengah kepentingan kita untuk mencapai swasembada pangan, membangun infrastruktur, serta melestarikan lingkungan di dalamnya, apakah penataan ruang yang seimbang masih memungkinkan?

Berdasarkan pengalaman penelitian saya, jawabannya adalah ya. 

Petani menanam padi di lahan pertanian di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, 3 November 2024. ANTARA/Galih Pradipta

Ruang yang Seimbang

Pada 2008, saya terlibat dalam tim penelitian untuk merumuskan model harmonisasi ruang di antara pembangunan industri kayu biomassa di Merauke yang makalahnya dipublikasikan dalam jurnal Environment and Planning B: Urban Analytics and City Science pada 8 April 2016. Penelitian ini merupakan hasil kerja sama dengan Conservation International, Medco Group, dan beberapa lembaga lain.

Model ini kami buat agar pemanfaatan kayu untuk industri biomassa di Merauke tidak membahayakan keanekaragaman hayati sekaligus tetap menjaga tatanan masyarakat adat setempat.

Penataan alokasi lahan untuk berbagai kebutuhan yang berbeda membutuhkan analisis menyeluruh terhadap berbagai tujuan serta pilihan trade-off di antaranya. Pengukuran kesesuaian lahan untuk pertanian juga harus mempertimbangkan faktor iklim, jenis tanah, akses pasar, dan hal lain.

Di sisi lain, identifikasi kawasan untuk konservasi atau pelindungan keanekaragaman hayati acap melibatkan penggabungan “peluang dan kendala”. Hal ini mencakup pertimbangan manfaat dan biaya ekonomi serta sosial, pola distribusi spesies, dan kelangsungan hidup populasi. 

Proses ini juga bergantung pada analisis mendalam terhadap nilai-nilai sosial, kendala, dan peluang dalam pelaksanaan produksi ataupun konservasi. Juga semua data dari berbagai aktivitas sosial dan budaya di Merauke.

Penilaian ini kemudian kami integrasikan dengan berbagai metode, terutama metode spatial multi-criteria analysis (SMCA) untuk memberikan peringkat akhir dari hasil yang memperhitungkan trade-off di antara kriteria. Idenya adalah menemukan kompromi terbaik untuk menyeimbangkan produksi dan konservasi. Harapannya, hasil penataan kawasan ini dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan, meskipun mungkin tidak sepenuhnya memuaskan aspirasi tertinggi mereka.

Di Merauke, studi kami adalah membuat garis batas atau delineasi kawasan desa, kebun sagu, dan lokasi adat untuk masyarakat berburu. Begitu juga desa dan kawasan lahan basah. Hasilnya, dari sekitar 160 ribu hektare konsesi, hanya 65-70 ribu hektare yang dapat dijadikan kawasan produksi.

Dua Skenario Keseimbangan

Riset kami membeberkan dua skenario terbaik yang merupakan hasil musyawarah dari tingkat kampung hingga kabupaten. Kedua skenario ini merupakan representasi keanekaragaman hayati, karakter spasial (bentuk, konektivitas, serta konektivitas lahan basah dan sumber daya air), produksi, dan masyarakat. 

Skenario A: Persyaratan skenario ini adalah kawasan lindung dalam konsesi harus merepresentasikan 30 persen target keanekaragaman hayati. Kawasan adat (kawasan untuk masyarakat adat berburu) termasuk dalam kawasan konservasi. Sedangkan area kampung (permukiman) kami pisahkan dari kawasan pelindungan. 

Skenario B: Skenario ini memiliki tata ruang yang lebih kompleks, dengan area hutan produksi lebih besar tapi tetap tak melebihi 40 persen dari total luas konsesi. Dalam skenario ini, kami tetap menjaga target 30 persen keanekaragaman hayati dengan mengoptimalkan kawasan adat/kawasan perburuan (ada enam suku) dan kawasan konservasi dalam lahan konsesi. Area kampung juga kami pertahankan, tapi terpisah dari kawasan lindung/konservasi.

Tentunya perumusan skenario ini tak lepas dari perdebatan tentang pengambilan keputusan konservasi dan pembangunan konsensus tentang masa depan yang diinginkan sesuai dengan kebudayaan setempat. 

Untuk membantu pengambilan keputusan, kami menggunakan metode visualisasi sederhana dua kemungkinan skenario masa depan. Hasil visualisasi kemudian dilihat serta dibicarakan oleh masyarakat lokal bersama pemerintah, perusahaan, dan lain-lain. Karena itu, memang, pendekatan ilmiah yang multi, trans, dan interdisiplin sangat diperlukan untuk menghasilkan skenario yang dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan.

Kami meminta peserta mengilustrasikan keseimbangan yang ideal antara tanaman campuran, perkebunan, penggembalaan ternak, dan hutan. Visualisasi ini mempermudah pertukaran informasi, mengurangi ketegangan antarpihak, dan mendorong kesepakatan bersama dalam pengelolaan bentang alam.

Lumbung Pangan Merauke yang Win-win

Saya menganggap adaptasi hasil penelitian kami dalam pengembangan kawasan pertanian di Merauke tidak terlalu sulit, asalkan ada kemauan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. Tujuannya agar program lumbung pangan tetap sejalan dengan pelestarian lingkungan, pemberdayaan masyarakat lokal, serta keberlanjutan ruang-ruang adat. 

Petani membajak sawah menggunakan mesin traktor tanam di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, 3 November 2024. ANTARA/Galih Pradipta

Keuntungan utama dari pengembangan model harmonisasi ruang ini adalah lahan perburuan, lahan pertanian, dan budaya masyarakat adat di sekitar kawasan lumbung pangan di Merauke tidak terlalu terganggu. Artinya, lahan-lahan yang diprioritaskan untuk pertanian adalah hasil negosiasi dengan masyarakat adat. 

Adapun lahan ini, berdasarkan pengamatan saya selama ini, merupakan lahan-lahan yang nonutama dari masyarakat adat—biasanya terletak di perbatasan dan bekas obyek sengketa antarkawasan adat. 

Pertimbangan keberagaman hayati dalam food estate juga mendukung pemenuhan komitmen Indonesia untuk memperluas kawasan konservasi setidaknya 30 persen dari total luas wilayah pada 2030. Menurut saya, kawasan konservasi ini juga dapat beririsan dengan ruang-ruang yang dikelola masyarakat adat.

Untuk memberdayakan masyarakat adat, pemerintah dapat mempertimbangkan pembagian sebagian hasil keuntungan lumbung pangan untuk modal pengelolaan tanah ulayat yang berkelanjutan, misalnya pemanfaatan madu, buah, dan akar.

Artinya, kalau kita menginginkan lumbung pangan di kawasan Merauke dan sekitarnya seluas 1,6 juta hektare, kawasan yang diharmoniskan sebaiknya lebih luas lagi. Bahkan perencanaan ini perlu ruang satu kabupaten ataupun daerah di sekitarnya yang juga menjadi lokasi lumbung pangan. 

Perencanaan serupa pernah saya lakukan bersama tim—termasuk lembaga masyarakat sipil nasional dan lokal—untuk membantu kinerja pemerintah Papua (dulu Irian Jaya) pada 1997.

Karena itu, pemerintah juga perlu menyelaraskan model perencanaan lumbung pangan tersebut dengan rencana pembangunan jangka menengah dan panjang di Merauke ataupun tanah Papua. Harapannya, program pemerintah dapat berjalan selaras dengan rencana pengembangan di tingkat kabupaten ataupun provinsi. l 

Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Jatna Supriatna

Jatna Supriatna

Profesor biologi konservasi Universitas Indonesia. Jatna juga menjadi Ketua Pusat Peneitian Perubahan Iklim di UI; Direktur Association of Pacific Rim University; serta anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus