Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hutan Gundul, Pangeran Datang

Pangeran Bernhard, suami ratu Belanda, tokoh WWF, meninjau cagar alam dan suaka margasatwa terpenting di Indonesia yang ternyata banyak populasi hewan yang semakin menipis dan adanya konflik dengan HPH. (ling)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Hutan Gundul, Pangeran Datang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SANG Pangeran yang gemar terbang dan sayang binatang datang lagi. Hampir 20 hari lamanya, Bernhard, suami Ratu Belanda itu berkeliling ke cagar alam dan suaka margasatwa terpenting di Indonesia mulai pekan lalu. Suaka margasatwa Kutai menjadi perhatiannya. Suaka seluas 306 ribu ha itu kini praktis sudah disunat tinggal sepertiganya, akibat HPH PT Porodisa dan PT Sylva Duta. Tokoh WWF (World Wildlife Fund) itu ingin berkenalan dengan kaum perusak hutan itu. Yang jelas, keikhlasan salah satu HPH itu diperlukan, kalau usul para peneliti PPA (Perlindungan & Pengawetan Alam) di sini mau diterima. Yakni: penambahan 50 ribu ha di sebelah utara suaka Kutai yang meliputi daerah aliran sungai Banumuda yang relatif masih utuh. Ini penting demi penyelamatan lima ekor badak Kalimantan yang masih tersisa di sana, yang nasibnya sama gawatnya dengan lima harimau Jawa di Meru Betiri. Bernhard yang didampingi Dirjen Kehutanan Soejarwo dan Direktur PPA ir. Lukito Daryadi kemudian mungkin prihatin meninjau suaka Lore Kalamanta, Sulawesi Tengah. Suaka anoa dan babi rusa yang sedang dikatrol menjadi taman nasional seluas 250 ribu ha itu juga masih mengalami rongrongan penebang hutan. Dedy Darnaedi, anggota Kelompok Sepuluh yang melakukan survei di punggung gunung Nokilalaki, jantung cagar alam, melaporkan adanya ancaman dari HPH PT Kebonsari. Perusahaan pribumi yang punya backing Jepang itu suah menandai pohon damar (Agathis spp) pada ketinggian di atas 2000 meter, untuk segera ditebang. Ini bisa gawat. Sebetulnya, penebangan hutan di atas 750 meter saja sudah dilarang. "Kalau puncak gunung itu gundul, banjir akan melanda kampung transmigran Berdikari dan Bahagia, lalu tumpah ke Sungai Sopu dan akhirnya ke Lembah Palu," tulis Darnaedi pada rekannya di Jakarta. Maklumlah, gunung Nokilalaki setinggi 2.355 meter. PT Kebonsari sudah membangun jalan pengangkut kayu selehar 12 meter menembus suaka -- bisa membahayakan kelestarian hutan sebagai penadah air alamiah di sana. Dari Lore Kalamanta, sang pangeran melompat ke daerah Morowali, masih di Sulawesi Tengah. Di sana PPA ingin membuka Suatu cagar alam baru seluas 200 ribu Ha. Tapi PT Marabunta sudah mulai menebang pohon di wilayah konsesinya di hutan Morowali. Sedang PT Bina Balantak Raya, PT Hutan Bersama, dan PT Bina Lestari kepunyaan orang-orang Kehutanan sendiri, sudah mengadakan survei untuk menebang pula. Dirjen Sujarwo tampak harus menyelesaikan konflik kepentingan itu. Juga departemen yang dipimpin Menteri Harun Zain sudah memplot daerah Morowali untuk 8000 keluarga transmigran selama Pelita III. Orang-orang Jawa dan Bali itu membutuhkan 30 ribu ha. Di suaka margasatwa Tangkoko Fatuangus di ujung jazirah Sulawesi Utara, pihak PPA dan pamongpraja sudah kewalahan menghadapi kedatangan sang pangeran. Soalnya, populasi binatang yang seharusnya ada di sana -- seperti anoa, kera berjambul, dan babi rusa -- sudah sangat menipis. Segar Bugar Pembantu TEMPO S.P. Manuel melaporkan bahwa Walikota Bitung sampai memesan kandang besi seharga Rp 1 juta dari pabrik mobil PT Inkoasku di sana. Dengan kandang itulah anoa dan babi rusa akan dipertontonkan kepada rombongan Bernhard. Tapi anoa dan babi rusa terpaksa 'dipinjam' dari Sulawesi Tengah. Sedang kera jambul dari penduduk setempat yang ada memilikinya. Sang walikota repot mencari burung maleo, yang terkenal besar telurnya itu. Telur maleo masih tetap banyak diburu orang, dan dijual di pasar. "Bahkan di lapangan udara Gorontalo, dijual sebagai suvenir," ujar K.J. G. Rompis, Kepala Inspeksi Kehutanan Sul-Ut. Juga para pejabat daerah ini kewalahan menunggu Pangeran Bernhard karena hutan di kaki G. Batuangus ini sudah botak. Ada 350 Ha yang telah disulap menjadi kebun kelapa, tahun 1965. Lalu ada 450 Ha yang pernah dikonsesikan kepada penebang kayu hitam (Diospyros spp), tahun 1972. Padahal, untuk bisa mendapat bantuan WWF, semuanya perlu kelihatan rapi dan utuh. Akhirnya, Pangeran Bernhard dalam jadwalnya yang begitu ketat masih berniat juga melihat cagar alam Ujung Kulon di Jawa Barat dan Gunung Leuser di Sum-Ut/Aceh. Itu semua masih mau dilakukannya, sembari menjadi tamu Menteri Ristek Habibie di pabrik pesawat terbang PT Nurtanio dan free trade zone Pulau Batam. Tapi rupanya, selingan main golf di Jakarta, Bali dan Medan cukup membuat sang pangeran itu selalu segar bugar kembali untuk mengemudi pesawat terbangnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus