SEKARANG setelah harga bensin Rp 100 per-liter, hidup ini jadi
pahit," kata Acep penjaga pompa bensin di Gang Kenari Jakarta.
Kenapa? "Dulu ketika harga premium masih Rp 70/liter, saya suka
mendapat kelebihan uang rata-rata Rp 400 sampai Rp 500 sehari.
Karena kalau orang beli cuma 2 atau, 3 liter, karena uang
kembaliannya uang puluhan rupiah, mereka tidak mau
memintanya," ujar Acep menjelaskan.
Ia juga mengaku tak pernah lagi menerima tip setelah harga-harga
mulai melotot. Dulu masih sering ada pembeli yang baik hati.
Kadangkala mengulurkan uang Rp 100. Sekarang malah ada cerita
bahwa pompa bensin sudah main kayu. Tangki mobil baru diisi
seliter, tapi meteran sudah menunjuk angka dua. Terhadap itu
Acep membantah keras. Mesin itu kan disegel sama Pertamina
gimana kita bisa ngakalin? Dua kali tahun mesin itu diserpis!"
katanya membela diri.
Segelan
Penjelasan yang sama pernah diberikan Acep kepada seorang
pengendara mobil Toyota. Waktu itu terjadi salah faham. Acep
menantang pengendara itu untuk melihat sendiri segelan. "Dan
kalau tidak percaya juga, mau saya ajak ke kantor Daerah
Pemasaran III," kata Acep. Untung pemilik Toyota itu akhirnya
bisa mengerti juga -- entah dalam hatinya tetap curiga.
Acep (30 tahun) dengan tinggi 167 cm dan berat 62 kg, sudah
jadi tukang pompa sejak 1972. Asalnya Tasikmaiaya dan
pendidikan SMP. Memasuki ibukota dulu, ia pernah mimpi sambil
cari duit akan menggenapkan sekolahnya. Tetapi setelah kenal
duit, cita-citanya luntur. "Apa boleh buat, jadi tukang pompa
bensin pun jadilah," ujarnya. Sekarang ia makin setia pada
pekerjaannya, karena sejak setahun yang lalu ia sudah
mempersunting Wati, seorang perawat.
Dengan gaji Rp 15 ribu sebulan (tanpa transpor dan makan) Acep
bekerja antara pukul 8 sampai dengan 3 sore. Setiap pagi,
sebuah mobil tangki muncul membagi 9000 liter bensin ke tangki
yang berkapasitas 15 ribu liter. Rata-rata 4 ribu liter setiap
hari terjual di tangan Acep. Antara pukul 9 sampai dengan 11
Acep boleh kata tidak sempat istirahat. Kadang-kadang ia tak
ada waktu makan, karena banyaknya pembeli.
Yang menjengkelkan, seringkali di puncak-puncak kesibukan banyak
orang datang mau menukar uang. Acep sulit untuk menolak. Satu
ketika ia jadi kapok. "Pernah kejadian di tengah kesibukan itu
ada yang datang menukarkan uang Rp 10 ribu. Uang penukar receh
yang diminta sudah dikasih, tapi puluhan ribu tak sempat
diberikan. Tahu-tahu pengendara motor itu kabur sambil tancap
gas," kata Acep menceritakan nasibnya. "Akhirnya saya terpaksa
ganti, tiap bulan potong gaji."
Ketanggor dengan pembeli yang pikun juga kerap. Misalnya ada
pengemudi mobil yang begitu ngototnya mengatakan telah
menyerahkan uang Rp 10 ribu -- padahal di tangan Acep hanya ada
pecahan Rp 5 ribu. Sempat terjadi ketegangan. Tapi akhirnya
setelah langganan sudi menengok dompetnya sejenak, ketahuan duit
yang dimaksud masih terjepit di sana. "Kejadian begitu sering,
makanya kalau ada uang gede, saya masukin dulu ke kantong, yang
pecah-pecahan saja ada di tangan," kata Acep.
Bekerja sebagai penjaga pompa bensin memang tidak memerlukan
keahlian, asal sabar. Tetapi kalau dia seorang wanita, sedikit
beda. Selang bensin yang biasanya diarahkan ke mulut tangki,
satu ketika harus dibelokkan ke arah kepala pembeli. Ini terjadi
pada Suharti (22 tahun) satu dari 4 wanita yang menjaga pompa
bensin di Jalan Raya Pasar Minggu. "Habis, dia bukan hanya cari
bensin tapi megang-megang pantat saya," kata Suharti kepada
TEMPO.
Meskipun ada risiko pada pantat, Suharti dan rekan-rekannya
memperoleh kesempatan yang lebih baik. Setelah bekerja selama 4
tahun mereka mendapat gaji Rp 22 ribu sebulan. Di luar itu
seringkali ada pemasukan lain-lain. Entah karena ada bapak yang
kasih tip barang Rp 200. Ada juga yang tidak doyan mengambil
kembalian recehan seperti yang dialami Acep. Seringkali juga
karena tangki sudah terlanjur penuh padahal masih ada beberapa
strip bensin di dalam meteran. Hal-hal ini memberikan tambahan
penghasilan sampai Rp 2000 setiap hari. Total sebulan melebihi
gaji pokok yang mereka terima. Sekarang penghasilan tambahan itu
melorot menjadi Rp 1500, karena harga bensin bulat. Jadi tidak
ada problim kembalian recehan.
Dengan penghasilan itu, Asmayadi (28 tahun) rekan Suharti
kelihatannya hidup cukupan. Ia tinggal dalam rumah yang
dlkontrak Rp 80 ribu setahun. Meskipun belum pakai listrik, tapi
ia sudah punya sebuah pesawat televisi yang dijalankan dengan
accu. Namun demikian rupanya ayah dari 4 orang anak ini, masih
merasa penghasilannya tidak cukup. Ia telah mengirim lamaran
pada sebuah perusahaan untuk menjadi supir. Kalau diterima
selain penghasilannya akan bertambah, ia merasa sekaligus akan
ikut menunjang KB, karena, katanya, akan jarang ketemu isteri.
Tak kurang dari 20 orang yang melayani 4 buah pompa bensin di
Jalan Raya Pasar Minggu ini. Mereka dibagi dalam 4 regu yang
bergiliran menunggu sambung menyambung. Kesehatan mereka
diasuransikan, dengan pemotongan gaji setiap bulan. Kalau sakit,
uang obat ditanggung, meskipun ongkos periksa dibayar sendiri.
Di samping itu ada uang makan dan transpor sebesar Rp 200.
Sebanyak 18 di antara tukang pompa ini mengadakan arisan bulanan
dan mingguan. Mereka pernah mengusulkan agar setiap kali tugas
ke 4 pompa dijaga oleh 8 tenaga. Tetapi usul itu belum berbuah.
Akibatnya, karena satu-satu, jam makan sering terlompati.
Seringkali makan yang sedang disuap dihentikan sementara, karena
pembeli adalah raja.
Seorang tukang pompa bernama Sjafei satu ketika mengalami naas,
ketika melayani sebuah sedan Holden. Uang bensin sudah diterima,
lalu ia masukkan ke dalam peti. Dikunci. Karena merasa aman, ia
pergi sebentar ke pinggir jalan untuk buang air. Habis hajat, ia
mendapati petinya sudah dibawa kabur. Di dalamnya ada uang
sekitar Rp 250 ribu. Mula-mula ia menyangka teman-temannya yang
mau bikin lelucon. Ternyata kemudian peti itu tak pernah
kembali. Akhirnya Sjafei menerima itu sebagai kesalahan, yang
harus ditebus dengan memotong gajinya setiap bulan.
Kecurangan
"Kalau nggak sabar, nggak bisa deh kerja di sini," kata Suharti
memberikan kesimpulan. Ia menunjukkan bagaimana pegelnya kalau
harus melayani banyak motor. Ia harus bulak-balik naik ke tanki
untuk membuat prei meteran. Ia harus pindah kiri-kanan -- hanya
untuk paling banter 8 liter. Apalagi pengemudi motor seringkali
nyelonong di antara mobil minta dilayani lebih dahulu. Lalu
marah-marah kalau kakinya kena semprot sedikit. Belum kalau
pelayanan terhambat karena tidak ada uang kembalian. "Semua
ingin cepat dilayani. Dan orang-orang gede sering marah-marah,"
kata seorang pekerja nimbrung. Yang dimaksudkannya dengan orang
gedean adalah setiap orang yang naik mobil cat "hijau".
Yang paling enak adalah pembeli langganan dengan kupon. Dari
kupon seharga 60 liter biasanya diganti dengan pemotongan Rp
500. Yang sulit adalah pembeli yang datang dengan membawa
jeriken. Pertamina sudah melarang untuk melayani mereka. Tapi
penjual bensin eceran itu seringkali memaksa. Pemilik pompa
bensin marah kalau tukang pompa masih juga suka melayani. Toh
masih dilakukan dengan tak jera-jera: "Habis mereka beli masak
tidak dilayani? " kata tukang-tukang pompa.
Subagyo (32 tahun) yang menjaga pompa bensin di bawah jembatan
Semanggi mengeluh: "Banyak orang salah sangka mengira kami
pegawai berduit, maklum dikira jalur Pertamina," katanya. Ia
pernah menemukan seorang pembeli yang marah karena merasa
kurang dilayani dengan semestinya. Ia marah-marah sambil
berkata: "Mana kartu pegawaimu. Kartu Pertaminamu!"
Subagiyo punya banyak cerita tentang kecurangan pembeli sendiri.
Ada yang beli lantas kabur. Ada yang pura-pura menyodorkan uang
besar setelah diberi tukaran, tiba-tiba mengurungkan niatnya,
lalu mengulurkan uang kecil. Tahu-tahu setelah pergi baru
kelihaan belangnya: uang kecil yang sempat dipegangnya itu
sudah dicopetnya sedikit. Ia juga melihat wajah-wajah cemberut
di belakang stir kalau antrian panjang. Kadangkala pembeli
saling bertukar. Ialu kejengkelan bisa nyemprot ke penjaga
pompa. "Apa boleh buat, kami memang selalu diminta sabar oleh
majikan," kata Subagyo.
Mengambang Dan Banci
Karena perubahan harga minyak, penghasilan Subagiyo menanjak Rp
130 setiap hari. Kalau dulu ia menerima Rp 65, sekarang jadi Rp
780. Ini memang tidak cukup untuk hidup. Untung saja selalu ada
pembeli yang baik, sehingga setiap hari ia bisa mendapatkan
tambahan Rp 500 sampai Rp 1000. Adakalanya terjadi kecelakaan
yang menguntungkan. Pembeli yang terburu-buru bisa tak sadar
mengoper lembaran Rp 10 ribu, padahal seharusnya hanya Rp 5
ribu. Ya diterima saja. Orangnya juga terlalu cepat kabur.
Sekarang Subagiyo yang tamatan SMA ini bekerja dengan hati
kurang tenang Gaji sudah kecil, lalu belakangan ini banyak
kecaman pada tukang pompa, dianggap nakal dan membuat
kecurangan-kecurangan lain. "Masyarakat setiap saat selalu
mengira kami melakukan kecurangan," katanya dengan serius "jadi
kami harus hati-hati. Kami takut dipecat. Bekerja lain, belum
lagi ada pandangan."
Ahyar (29 tahun) mandor tukang pompa di tempat Subagiyo,
menyadari, memang ada beberapa kecurangan yang dilakukan oleh
pihak tukang pompa bensin. Tapi itu semua tidak pernah terjadi
di kawasannya. Ada yang dengan cara memanfaatkan ketidakawasan
pembeli -- yakni tidak mulai dengan angka nol. Ada yang berusaha
menampung sisa-sisa bensin dari slang.
Satu hal yang difikirkan Ahyar sekarang adalah memperbaiki
nasib anak buahnya. Ia ingin anak buahnya menjadi karyawan
Pertamina. "Sekarang status kami mengambang dan banci. Itulah
sebabnya kami tak bisa bentuk dan masuk Serikat Buruh," ujarnya.
Apakah dengan memasuki SB, nanti kehidupan tukang pompa bensin
umumnya bisa diperbaiki? Pertanyaan yang kedua: "Dan apakah
kehidupan yang lebih baik akan menjamin kepentingan pembeli
lebih baik lagi?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini