Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di bawah percikan opec

Beberapa penjaga pompa bensin di jakarta menceritakan pengalamannya melayani para pembeli, diantaranya wanita. mereka ingin jadi karyawan pertamina, sehingga dapat masuk serikat buruh. (sd)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Di bawah percikan opec
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEKARANG setelah harga bensin Rp 100 per-liter, hidup ini jadi pahit," kata Acep penjaga pompa bensin di Gang Kenari Jakarta. Kenapa? "Dulu ketika harga premium masih Rp 70/liter, saya suka mendapat kelebihan uang rata-rata Rp 400 sampai Rp 500 sehari. Karena kalau orang beli cuma 2 atau, 3 liter, karena uang kembaliannya uang puluhan rupiah, mereka tidak mau memintanya," ujar Acep menjelaskan. Ia juga mengaku tak pernah lagi menerima tip setelah harga-harga mulai melotot. Dulu masih sering ada pembeli yang baik hati. Kadangkala mengulurkan uang Rp 100. Sekarang malah ada cerita bahwa pompa bensin sudah main kayu. Tangki mobil baru diisi seliter, tapi meteran sudah menunjuk angka dua. Terhadap itu Acep membantah keras. Mesin itu kan disegel sama Pertamina gimana kita bisa ngakalin? Dua kali tahun mesin itu diserpis!" katanya membela diri. Segelan Penjelasan yang sama pernah diberikan Acep kepada seorang pengendara mobil Toyota. Waktu itu terjadi salah faham. Acep menantang pengendara itu untuk melihat sendiri segelan. "Dan kalau tidak percaya juga, mau saya ajak ke kantor Daerah Pemasaran III," kata Acep. Untung pemilik Toyota itu akhirnya bisa mengerti juga -- entah dalam hatinya tetap curiga. Acep (30 tahun) dengan tinggi 167 cm dan berat 62 kg, sudah jadi tukang pompa sejak 1972. Asalnya Tasikmaiaya dan pendidikan SMP. Memasuki ibukota dulu, ia pernah mimpi sambil cari duit akan menggenapkan sekolahnya. Tetapi setelah kenal duit, cita-citanya luntur. "Apa boleh buat, jadi tukang pompa bensin pun jadilah," ujarnya. Sekarang ia makin setia pada pekerjaannya, karena sejak setahun yang lalu ia sudah mempersunting Wati, seorang perawat. Dengan gaji Rp 15 ribu sebulan (tanpa transpor dan makan) Acep bekerja antara pukul 8 sampai dengan 3 sore. Setiap pagi, sebuah mobil tangki muncul membagi 9000 liter bensin ke tangki yang berkapasitas 15 ribu liter. Rata-rata 4 ribu liter setiap hari terjual di tangan Acep. Antara pukul 9 sampai dengan 11 Acep boleh kata tidak sempat istirahat. Kadang-kadang ia tak ada waktu makan, karena banyaknya pembeli. Yang menjengkelkan, seringkali di puncak-puncak kesibukan banyak orang datang mau menukar uang. Acep sulit untuk menolak. Satu ketika ia jadi kapok. "Pernah kejadian di tengah kesibukan itu ada yang datang menukarkan uang Rp 10 ribu. Uang penukar receh yang diminta sudah dikasih, tapi puluhan ribu tak sempat diberikan. Tahu-tahu pengendara motor itu kabur sambil tancap gas," kata Acep menceritakan nasibnya. "Akhirnya saya terpaksa ganti, tiap bulan potong gaji." Ketanggor dengan pembeli yang pikun juga kerap. Misalnya ada pengemudi mobil yang begitu ngototnya mengatakan telah menyerahkan uang Rp 10 ribu -- padahal di tangan Acep hanya ada pecahan Rp 5 ribu. Sempat terjadi ketegangan. Tapi akhirnya setelah langganan sudi menengok dompetnya sejenak, ketahuan duit yang dimaksud masih terjepit di sana. "Kejadian begitu sering, makanya kalau ada uang gede, saya masukin dulu ke kantong, yang pecah-pecahan saja ada di tangan," kata Acep. Bekerja sebagai penjaga pompa bensin memang tidak memerlukan keahlian, asal sabar. Tetapi kalau dia seorang wanita, sedikit beda. Selang bensin yang biasanya diarahkan ke mulut tangki, satu ketika harus dibelokkan ke arah kepala pembeli. Ini terjadi pada Suharti (22 tahun) satu dari 4 wanita yang menjaga pompa bensin di Jalan Raya Pasar Minggu. "Habis, dia bukan hanya cari bensin tapi megang-megang pantat saya," kata Suharti kepada TEMPO. Meskipun ada risiko pada pantat, Suharti dan rekan-rekannya memperoleh kesempatan yang lebih baik. Setelah bekerja selama 4 tahun mereka mendapat gaji Rp 22 ribu sebulan. Di luar itu seringkali ada pemasukan lain-lain. Entah karena ada bapak yang kasih tip barang Rp 200. Ada juga yang tidak doyan mengambil kembalian recehan seperti yang dialami Acep. Seringkali juga karena tangki sudah terlanjur penuh padahal masih ada beberapa strip bensin di dalam meteran. Hal-hal ini memberikan tambahan penghasilan sampai Rp 2000 setiap hari. Total sebulan melebihi gaji pokok yang mereka terima. Sekarang penghasilan tambahan itu melorot menjadi Rp 1500, karena harga bensin bulat. Jadi tidak ada problim kembalian recehan. Dengan penghasilan itu, Asmayadi (28 tahun) rekan Suharti kelihatannya hidup cukupan. Ia tinggal dalam rumah yang dlkontrak Rp 80 ribu setahun. Meskipun belum pakai listrik, tapi ia sudah punya sebuah pesawat televisi yang dijalankan dengan accu. Namun demikian rupanya ayah dari 4 orang anak ini, masih merasa penghasilannya tidak cukup. Ia telah mengirim lamaran pada sebuah perusahaan untuk menjadi supir. Kalau diterima selain penghasilannya akan bertambah, ia merasa sekaligus akan ikut menunjang KB, karena, katanya, akan jarang ketemu isteri. Tak kurang dari 20 orang yang melayani 4 buah pompa bensin di Jalan Raya Pasar Minggu ini. Mereka dibagi dalam 4 regu yang bergiliran menunggu sambung menyambung. Kesehatan mereka diasuransikan, dengan pemotongan gaji setiap bulan. Kalau sakit, uang obat ditanggung, meskipun ongkos periksa dibayar sendiri. Di samping itu ada uang makan dan transpor sebesar Rp 200. Sebanyak 18 di antara tukang pompa ini mengadakan arisan bulanan dan mingguan. Mereka pernah mengusulkan agar setiap kali tugas ke 4 pompa dijaga oleh 8 tenaga. Tetapi usul itu belum berbuah. Akibatnya, karena satu-satu, jam makan sering terlompati. Seringkali makan yang sedang disuap dihentikan sementara, karena pembeli adalah raja. Seorang tukang pompa bernama Sjafei satu ketika mengalami naas, ketika melayani sebuah sedan Holden. Uang bensin sudah diterima, lalu ia masukkan ke dalam peti. Dikunci. Karena merasa aman, ia pergi sebentar ke pinggir jalan untuk buang air. Habis hajat, ia mendapati petinya sudah dibawa kabur. Di dalamnya ada uang sekitar Rp 250 ribu. Mula-mula ia menyangka teman-temannya yang mau bikin lelucon. Ternyata kemudian peti itu tak pernah kembali. Akhirnya Sjafei menerima itu sebagai kesalahan, yang harus ditebus dengan memotong gajinya setiap bulan. Kecurangan "Kalau nggak sabar, nggak bisa deh kerja di sini," kata Suharti memberikan kesimpulan. Ia menunjukkan bagaimana pegelnya kalau harus melayani banyak motor. Ia harus bulak-balik naik ke tanki untuk membuat prei meteran. Ia harus pindah kiri-kanan -- hanya untuk paling banter 8 liter. Apalagi pengemudi motor seringkali nyelonong di antara mobil minta dilayani lebih dahulu. Lalu marah-marah kalau kakinya kena semprot sedikit. Belum kalau pelayanan terhambat karena tidak ada uang kembalian. "Semua ingin cepat dilayani. Dan orang-orang gede sering marah-marah," kata seorang pekerja nimbrung. Yang dimaksudkannya dengan orang gedean adalah setiap orang yang naik mobil cat "hijau". Yang paling enak adalah pembeli langganan dengan kupon. Dari kupon seharga 60 liter biasanya diganti dengan pemotongan Rp 500. Yang sulit adalah pembeli yang datang dengan membawa jeriken. Pertamina sudah melarang untuk melayani mereka. Tapi penjual bensin eceran itu seringkali memaksa. Pemilik pompa bensin marah kalau tukang pompa masih juga suka melayani. Toh masih dilakukan dengan tak jera-jera: "Habis mereka beli masak tidak dilayani? " kata tukang-tukang pompa. Subagyo (32 tahun) yang menjaga pompa bensin di bawah jembatan Semanggi mengeluh: "Banyak orang salah sangka mengira kami pegawai berduit, maklum dikira jalur Pertamina," katanya. Ia pernah menemukan seorang pembeli yang marah karena merasa kurang dilayani dengan semestinya. Ia marah-marah sambil berkata: "Mana kartu pegawaimu. Kartu Pertaminamu!" Subagiyo punya banyak cerita tentang kecurangan pembeli sendiri. Ada yang beli lantas kabur. Ada yang pura-pura menyodorkan uang besar setelah diberi tukaran, tiba-tiba mengurungkan niatnya, lalu mengulurkan uang kecil. Tahu-tahu setelah pergi baru kelihaan belangnya: uang kecil yang sempat dipegangnya itu sudah dicopetnya sedikit. Ia juga melihat wajah-wajah cemberut di belakang stir kalau antrian panjang. Kadangkala pembeli saling bertukar. Ialu kejengkelan bisa nyemprot ke penjaga pompa. "Apa boleh buat, kami memang selalu diminta sabar oleh majikan," kata Subagyo. Mengambang Dan Banci Karena perubahan harga minyak, penghasilan Subagiyo menanjak Rp 130 setiap hari. Kalau dulu ia menerima Rp 65, sekarang jadi Rp 780. Ini memang tidak cukup untuk hidup. Untung saja selalu ada pembeli yang baik, sehingga setiap hari ia bisa mendapatkan tambahan Rp 500 sampai Rp 1000. Adakalanya terjadi kecelakaan yang menguntungkan. Pembeli yang terburu-buru bisa tak sadar mengoper lembaran Rp 10 ribu, padahal seharusnya hanya Rp 5 ribu. Ya diterima saja. Orangnya juga terlalu cepat kabur. Sekarang Subagiyo yang tamatan SMA ini bekerja dengan hati kurang tenang Gaji sudah kecil, lalu belakangan ini banyak kecaman pada tukang pompa, dianggap nakal dan membuat kecurangan-kecurangan lain. "Masyarakat setiap saat selalu mengira kami melakukan kecurangan," katanya dengan serius "jadi kami harus hati-hati. Kami takut dipecat. Bekerja lain, belum lagi ada pandangan." Ahyar (29 tahun) mandor tukang pompa di tempat Subagiyo, menyadari, memang ada beberapa kecurangan yang dilakukan oleh pihak tukang pompa bensin. Tapi itu semua tidak pernah terjadi di kawasannya. Ada yang dengan cara memanfaatkan ketidakawasan pembeli -- yakni tidak mulai dengan angka nol. Ada yang berusaha menampung sisa-sisa bensin dari slang. Satu hal yang difikirkan Ahyar sekarang adalah memperbaiki nasib anak buahnya. Ia ingin anak buahnya menjadi karyawan Pertamina. "Sekarang status kami mengambang dan banci. Itulah sebabnya kami tak bisa bentuk dan masuk Serikat Buruh," ujarnya. Apakah dengan memasuki SB, nanti kehidupan tukang pompa bensin umumnya bisa diperbaiki? Pertanyaan yang kedua: "Dan apakah kehidupan yang lebih baik akan menjamin kepentingan pembeli lebih baik lagi?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus