Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pangan, Menjelang Puasa

Menurut kepala Bulog, persediaan pangan menjelang lebaran cukup. Masyarakat tak perlu khawatir. Tetapi sebagian besar masyarakat berpenghasilan rendah tak mampu membeli.

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA futuris terkemuka mencoba untuk memproyeksikan keadaan tahun 2000 tapi ternyata mereka tidak bisa," demikian judulnya dalam Horizons USA no. 32. Langsung di bawah judul terpasang sebuah gambar, melukiskan suasana diskusi panel yang serius. HK: "Saya pikir beberapa kecenderungan tertentu merupakan momentum yang penting dan amat sulit merobahnya. Ambil, umpamanya, masalah pangan. Kini terdapat surplus pangan di dunia . . . " MM: "Maksud anda kita tidak dapat menjual gandum kita, lalu kita kurangi produksi gandum walaupun 40 persen penduduk dunia kekurangan makanan. Itu jahat!" HK: "Itu tepat sekali. Tidak ada masalah pangan, kalau semua orang mampu membelinya." MM: "Itu benar jika anda berpikir bahwa makanan mengangkut uang dan bukan menyangkut manusia yang butuh makanan." Begitulah kedua tokoh besar tersebut -- futuris Herman Kahn (HK) dan ahli antropologi mendiang Margaret Mead (MM) -- tangkis menangkis ketika panel membahas soal pangan. William Thompson (WT), Ketua Lindisfarne Associaion, yang merupakan panelis ketiga juga tidak bisa menerima pendapat Kahn. Thompson menyingkapkan betapa gagalnya revolusi hijau di India. "Pengalaman yang mengerikan," katanya. HK: "Itu bukan pengalaman yang mengerikan! Sukses ,al Kini India mengalami surplus pangan dan diekspor , hlal . Mereka bayar hutangnya pada Rusia .... " WT: "Yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah skin di Kalkuta dan Bombay." HK: "Itu tidak betul. Yang kaya tambah kaya tapi kiranya separoh dari yang miskin tambah kaya, dan kurang lebih separoh tidak berobah nasibnya." WT: "Saya ke Kalkuta dan Bombay dan melihat neraka sana . . . " *** "Sebagian besar buruh/pegawai berpendapatan kurang dari Rp 400/hari." Begitu kata koran Nopember tahun lalu. 61,1 persen buruh/pegawai Indonesia punya pendapatan 10.000 per bulan atau Rp 400 perhari. Jumlah mereka mendekati 10 juta jiwa. Hampir seluruh buruh berpendapatan rendah itu (8,45 juta), menghuni pedesaan. Demikian Hasil Surai Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 1976. Yang merisaukan, bergentayangan pula berita yang lebih tidak sedap didengar. Konon datangnya dari Sumatera, Pulau Harapan itu. "Lebih 40.000 buruh di Riau menyedihkan keadaannya upahnya antara Rp 200 - Rp 300 sehari." Begitu kata koran Maret tahun ini, berbulan-bulan setelah Kenop 15, setelah harga-harga naik. Mereka ini para buruh lepas, bertebaran di Riau, sebagian terisolir di hutan. Keadaan mereka sangat menyedihkan. Saya ceritakan kisah tak sedap ini pada seorang ahli dan peneliti pedesaan. Namun dia punya simpanan cerita yang lebih memilukan. Dia baru saja pulang dari lapangan di Jawa Timur dan Madura. Di sana ditemukannya banyak buruh dengan upah Rp 150 per hari atau seputar Rp 3.750 sebulan. (Karena itu dia setuju kebijaksanaan upah minimum Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 200 sehari realistis walau tidak enak). Bagaimana mereka bisa hidup dengan Rp 150? "Tidak tahu," jawab sang ahli. "Sukar dibayangkan. Jelas tidak bisa beli beras secukupnya. Dan Bulog memang membiarkan harga beras menaik hingga ke tingkat yang diinginkan." Dalam wawancara mereka bilang lebih suka jadi buruh tetap bergaji Rp 150 daripada jadi buruh tani. Buruh tani bisa dapat Rp 400 sampai Rp 500 sehari, tapi berapa minggu dapat pekerjaan dalam setahun? Hitung punya hitung lebih untung upah Rp 150. Habis mau apa lagi? Apa pilihan lain? Dengan gaji yang begitu rendah mereka berhadapan dengan harga-harga yang tinggi dan menanjak. Semuanya menanjak, kecuali upah. Beras sudah Rp 200 sekilo gula pasir Rp 260 sekilo minyak goreng Rp 495 seliter minyak tanah Rp 40 seliter sabun cuci cap tangan Rp 160 sebatang mori putih dalam negeri Rp 340 semeter batik kasar Rp 1.200 sepotong. Telur dan daging jelas jauh di luar jangkauan mereka. Telur Rp 850 sekilo, daging sapi Rp 1.500 sekilo. *** "Menghadapi bulan puasa dan Lebaran persediaan bahan pokok cukup." Demikian kata koran awal Juli 1979. "Kepala Bulog (Badan Urusan Logistik) meminta kepada masyarakat agar dalam menghadapi bulan puasa dan Lebaran mendatang tidak perlu gelisah, karena pemerintah menjamin tersedianya semua kebutuhan bahan pokok seperti beras, gula, terigu, kedelai, daging dan jagung." Nah, persediaan pangan memang cukup, untuk yang punya uang. Cukup, melalui kacamata Herman Kahn. Melalui kacamata Margaret Mead?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus