TIGA futuris terkemuka mencoba untuk memproyeksikan keadaan
tahun 2000 tapi ternyata mereka tidak bisa," demikian judulnya
dalam Horizons USA no. 32. Langsung di bawah judul terpasang
sebuah gambar, melukiskan suasana diskusi panel yang serius.
HK: "Saya pikir beberapa kecenderungan tertentu merupakan
momentum yang penting dan amat sulit merobahnya. Ambil,
umpamanya, masalah pangan. Kini terdapat surplus pangan di dunia
. . . "
MM: "Maksud anda kita tidak dapat menjual gandum kita, lalu kita
kurangi produksi gandum walaupun 40 persen penduduk dunia
kekurangan makanan. Itu jahat!"
HK: "Itu tepat sekali. Tidak ada masalah pangan, kalau semua
orang mampu membelinya."
MM: "Itu benar jika anda berpikir bahwa makanan mengangkut uang
dan bukan menyangkut manusia yang butuh makanan."
Begitulah kedua tokoh besar tersebut -- futuris Herman Kahn (HK)
dan ahli antropologi mendiang Margaret Mead (MM) -- tangkis
menangkis ketika panel membahas soal pangan. William Thompson
(WT), Ketua Lindisfarne Associaion, yang merupakan panelis
ketiga juga tidak bisa menerima pendapat Kahn. Thompson
menyingkapkan betapa gagalnya revolusi hijau di India.
"Pengalaman yang mengerikan," katanya.
HK: "Itu bukan pengalaman yang mengerikan! Sukses ,al Kini
India mengalami surplus pangan dan diekspor , hlal . Mereka
bayar hutangnya pada Rusia .... "
WT: "Yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah skin di
Kalkuta dan Bombay."
HK: "Itu tidak betul. Yang kaya tambah kaya tapi kiranya separoh
dari yang miskin tambah kaya, dan kurang lebih separoh tidak
berobah nasibnya."
WT: "Saya ke Kalkuta dan Bombay dan melihat neraka sana . . . "
***
"Sebagian besar buruh/pegawai berpendapatan kurang dari Rp
400/hari." Begitu kata koran Nopember tahun lalu. 61,1 persen
buruh/pegawai Indonesia punya pendapatan 10.000 per bulan atau
Rp 400 perhari. Jumlah mereka mendekati 10 juta jiwa. Hampir
seluruh buruh berpendapatan rendah itu (8,45 juta), menghuni
pedesaan. Demikian Hasil Surai Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas) 1976.
Yang merisaukan, bergentayangan pula berita yang lebih tidak
sedap didengar. Konon datangnya dari Sumatera, Pulau Harapan
itu. "Lebih 40.000 buruh di Riau menyedihkan keadaannya
upahnya antara Rp 200 - Rp 300 sehari." Begitu kata koran Maret
tahun ini, berbulan-bulan setelah Kenop 15, setelah harga-harga
naik. Mereka ini para buruh lepas, bertebaran di Riau, sebagian
terisolir di hutan. Keadaan mereka sangat menyedihkan.
Saya ceritakan kisah tak sedap ini pada seorang ahli dan
peneliti pedesaan. Namun dia punya simpanan cerita yang lebih
memilukan. Dia baru saja pulang dari lapangan di Jawa Timur dan
Madura. Di sana ditemukannya banyak buruh dengan upah Rp 150 per
hari atau seputar Rp 3.750 sebulan.
(Karena itu dia setuju kebijaksanaan upah minimum Daerah
Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 200 sehari realistis walau tidak
enak). Bagaimana mereka bisa hidup dengan Rp 150? "Tidak tahu,"
jawab sang ahli. "Sukar dibayangkan. Jelas tidak bisa beli
beras secukupnya. Dan Bulog memang membiarkan harga beras menaik
hingga ke tingkat yang diinginkan."
Dalam wawancara mereka bilang lebih suka jadi buruh tetap
bergaji Rp 150 daripada jadi buruh tani. Buruh tani bisa dapat
Rp 400 sampai Rp 500 sehari, tapi berapa minggu dapat pekerjaan
dalam setahun? Hitung punya hitung lebih untung upah Rp 150.
Habis mau apa lagi? Apa pilihan lain?
Dengan gaji yang begitu rendah mereka berhadapan dengan
harga-harga yang tinggi dan menanjak. Semuanya menanjak, kecuali
upah. Beras sudah Rp 200 sekilo gula pasir Rp 260 sekilo
minyak goreng Rp 495 seliter minyak tanah Rp 40 seliter sabun
cuci cap tangan Rp 160 sebatang mori putih dalam negeri Rp 340
semeter batik kasar Rp 1.200 sepotong. Telur dan daging jelas
jauh di luar jangkauan mereka. Telur Rp 850 sekilo, daging sapi
Rp 1.500 sekilo.
***
"Menghadapi bulan puasa dan Lebaran persediaan bahan pokok
cukup." Demikian kata koran awal Juli 1979. "Kepala Bulog (Badan
Urusan Logistik) meminta kepada masyarakat agar dalam menghadapi
bulan puasa dan Lebaran mendatang tidak perlu gelisah, karena
pemerintah menjamin tersedianya semua kebutuhan bahan pokok
seperti beras, gula, terigu, kedelai, daging dan jagung."
Nah, persediaan pangan memang cukup, untuk yang punya uang.
Cukup, melalui kacamata Herman Kahn. Melalui kacamata Margaret
Mead?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini