Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PREMANA Wardayanti Premadi berjalan lambat dari ruang kerjanya ke rumah berkubah putih tempat teropong ganda Zeiss disemayamkan di Observatorium Bosscha, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Direktur Observatorium Bosscha yang menjabat sejak 2018 itu menarik kakinya perlahan dengan bantuan tongkat.
Sejak divonis menyandang amyotrophic lateral sclerosis (ALS), penyakit progresif yang melumpuhkan saraf motorik, sembilan tahun lalu, Nana—demikian ia biasa disapa—tak bisa bergerak seleluasa dulu. Penyakit yang juga menyerang mendiang fisikawan Stephen Hawking tersebut melumpuhkan sebelah pita suaranya serta melemahkan kaki kiri dan pergelangan tangan kirinya. “Dulu saya bisa gantian menyetir sampai ke Bromo untuk memperkenalkan astronomi kepada anak-anak. Sekarang sudah lama saya berhenti nyetir dan tak bisa naik tangga,” kata Nana, Kamis, 5 Desember lalu.
Tapi jangan bayangkan hidup Nana selambat langkahnya. Suaminya, Yudi Soeharyadi, cuma bisa mengguguskan keseharian Nana dalam dua kategori: sibuk dan ekstra sibuk. Tahun ini, menurut dia, istrinya ekstra sibuk. “Lebih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” ujar Yudi. Ia dan istrinya sama-sama mengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung. Yudi menjadi dosen matematika, sementara Nana mengajar astronomi.
Sekitar pukul 09.00 saat baru tiba di Bosscha hari itu, Nana bertolak ke Kantor Kepala Desa Lembang untuk mempersiapkan acara menyambut gerhana matahari cincin yang bakal terjadi pada 26 Desember 2019. Warga akan menonton gerhana bersama di lapangan desa tak jauh dari kantor Bosscha.
Bosscha mengadakan acara yang sama di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, salah satu tempat terbaik untuk melihat gerhana matahari tersebut. Nana dan timnya sudah bolak-balik ke Tanjungpinang sejak pertengahan tahun lalu untuk melakukan survei, menggaet pemerintah daerah, dan melatih para guru cara melihat gerhana sehingga mereka bisa menularkannya kepada para murid.
Tim Nana memperkenalkan metode melihat gerhana dengan kacamata matahari, teleskop yang ditutupi filter, dan melalui pantulan bayangan gerhana tersebut, seperti lewat air. “Jadi, saat gerhana datang, masyarakat setempat merasa ini acara mereka,” tuturnya.
Sembari wira-wiri ke Tanjungpinang, perempuan kelahiran Surabaya 55 tahun silam itu mengerjakan proyek Pekan Kebudayaan Nasional, yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, pada Oktober lalu. Bersama kawan-kawan astronom dan seniman, ia membuat gerakan Langit untuk Semua. Mereka membuat instalasi seni tentang astronomi serta menggelar acara bincang-bincang tentang langit dan budaya Indonesia.
Perhelatan tersebut adalah langkah konkret konsep Strategi Kebudayaan Nasional yang Nana buat bersama 16 anggota tim perumus lain tahun lalu. Mereka diminta Presiden Joko Widodo membuat langkah memajukan kebudayaan nasional sampai 20 tahun mendatang. “Saya sebetulnya tidak familiar dengan pekerjaan ini. Tapi saya senang ada iktikad baik bahwa untuk memajukan kebudayaan Indonesia itu perlu science,” ucapnya.
Pada 17-19 Desember ini, ia pun mesti terbang ke Prancis untuk menjadi pembicara dalam lokakarya Astronomy for Education. Pertemuan ini digagas International Astronomical Union (IAU), asosiasi astronom profesional dunia, yang ia ikuti sejak 2001.
Itu semua proyek tambahan yang dikerjakan Nana tahun ini. Di luar menjadi dosen, ia memimpin Yayasan ALS Indonesia, yang didirikannya, mengajari para guru tentang ilmu pengetahuan alam lewat STEAM Teacher Education Program, juga mengurus kegiatan harian Bosscha. “Sebagian pekerjaan itu baru dimulai setelah saya terkena ALS.”
KETERTARIKAN Nana pada astronomi bermula sejak ia bocah. Mata kecilnya khusyuk mengamati matahari yang selalu terbit di sudut yang sama setiap hari, bulan yang berganti wajah setiap malam tapi senantiasa menampilkan rupa yang sama pada kalender bulan yang sama, juga bulan yang selalu membuntutinya ke mana pun ia pergi pada malam hari. “Bapak, bulan itu mengikuti kita,” kata Nana kecil, takjub. Ayahnya, Premadi, seorang dokter ahli bedah, hanya tersenyum simpul mendengarnya.
Nana semula berniat mengambil jurusan fisika begitu lulus sekolah menengah atas pada 1983. Namun, begitu melihat tulisan jurusan astronomi di ITB pada formulir pendaftaran kuliah, ia langsung memberikan lingkaran hitam pada tulisan tersebut. Menjelang lulus kuliah, ia diajak dosennya mengajar di kampus.
Saat melanjutkan studi doktoral bidang fisika di University of Texas di Austin, Amerika Serikat, ia mengambil jurusan fisika. Sering kali Nana menjadi satu-satunya perempuan dan orang Asia di kelas sehingga ia bertekad jangan sampai terlihat bodoh. Namun ternyata nilai ulangan pertamanya hanya 30 dari skala 100. “Saya dipanggil dosen,” ujarnya.
Dosennya menyarankan Nana memanfaatkan waktu berdiskusi dengan para pengajar. Teman-temannya pun mengajaknya belajar bersama. “Dari situ saya sadar, saya tak akan berhasil di bidang ini kalau sendirian,” ucapnya. Ia masih memanfaatkan koneksi pertemanan itu hingga sekarang. Ia juga banyak mengikuti kelompok astronom internasional, antara lain Universe Awareness (Unawe) sejak 2005.
Unawe berfokus memperkenalkan astronomi kepada anak-anak berusia 4-10 tahun, terutama dari kalangan dengan keterbatasan, baik ekonomi maupun fasilitas, di seluruh dunia. Dalam organisasi ini, Nana antara lain bekerja sama dengan Ingrid van Houten-Groeneveld, astronom dari Universiteit Leiden, Belanda.
Pada 1964, tahun yang sama dengan kelahiran Nana, Van Houten-Groeneveld dan dua rekannya menemukan benda langit yang melayang-layang di antara Planet Mars dan Jupiter. Asteroid tersebut dinamai dengan angka 12937. Belakangan, IAU menyematkan nama belakang Nana pada asteroid tersebut menjadi Asteroid 12937 Premadi karena Nana aktif di Unawe dan mendirikan Yayasan ALS Indonesia. Capaian ini pula yang membuat General Electric menganugerahi Nana sebagai salah seorang perempuan yang menginspirasi di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika pada akhir November lalu.
Unawe Indonesia didirikan Nana pada 2007. Bersama kawan-kawan astronom lain, ia berkeliling ke daerah-daerah terpencil mengajarkan astronomi dengan cara sederhana kepada guru dan anak-anak. Misalnya dengan mainan ular tangga. “Kami ingin menjadikan langit sebagai sumber imajinasi anak-anak,” tuturnya.
Namun kemudian ALS menyerangnya. Penyakit tersebut melemahkan saraf gerak kaki kirinya sehingga membuatnya tak bisa segesit dulu. Nana tak bisa ikut menyetir mobil ke daerah-daerah terpencil tersebut. Ia bahkan tak bisa masuk ke ruang kerjanya di kampus karena kantornya terletak di lantai empat. Ketika itu, kantor Jurusan Astronomi FMIPA masih terletak di gedung lama, yang belum memiliki lift.
Selama kantor jurusannya belum pindah, ia harus mengalihkan perkuliahannya ke gedung lain. Ia masih bertemu dengan para mahasiswanya. Namun, selama dua tahun tersebut, ia jadi jarang bersemuka dengan rekan-rekannya sesama dosen. Ia pun tak bisa ikut rapat atau sekadar berdiskusi dan bercanda dengan mereka. “Bayangin saja, dua tahun saya tak bisa ketemu teman-teman saya,” ujarnya.
Tapi ALS juga membuatnya menemukan keluarga baru. Gara-gara tak ada satu pun informasi yang Nana peroleh dalam bahasa Indonesia tentang penyakit itu, ia membuat blog untuk berbagi pengetahuan tentang ALS. Bersama sahabatnya sejak taman kanak-kanak, Cara Mariko Pitono alias Kiko, ia mendirikan Yayasan ALS Indonesia.
Setiap tahun, para anggota yayasan biasa berkumpul tiga-empat kali untuk saling menyemangati dan berbagi informasi cara merawat pasien ALS. Penyakit progresif ini pelan-pelan melumpuhkan sel saraf yang mengendalikan otot pernapasan. Dalam setiap pertemuan, pasti ada kabar anggota yang meninggal dan kedatangan anggota yang baru terdiagnosis. “Kami harus saling menjaga agar tetap bersemangat,” tutur Nana.
NUR ALFIYAH, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo