Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Proyek intake Sungai Sepaku menyengsarakan masyarakat adat suku Balik di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Air sungai yang menjadi sumber air masyarakat menjadi keruh.
Situs sejarah suku Balik yang ada di badan Sungai Sepaku serta di sepanjang daerah aliran sungai juga turut hilang.
RAUNGAN mesin truk pengangkut material dan ekskavator proyek intake Sungai Sepaku seolah-olah beradu nyaring hingga menembus ke dalam rumah Pandi, 55 tahun. Ketua Rukun Tetangga 03 di Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, itu baru terbebas dari suara bising setelah pukul 22.00. "Pengerjaannya pas di belakang rumah. Paling berjarak 50 meter," kata Pandi saat ditemui pada Selasa, 10 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberadaan proyek yang membendung aliran Sungai Sepaku untuk memasok air baku bagi instalasi pengolahan air Ibu Kota Nusantara (IKN) itu benar-benar telah menyengsarakan Pandi dan warganya, masyarakat adat suku Balik. Betapa tidak, sejak pinggiran Sungai Sepaku di belakang rumah mereka itu dibangun tanggul beton, air hujan terus tergenang. Banjir yang biasanya hanya datang setahun sekali, kini bisa 4-5 kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Air sungai pun sudah berubah menjadi sangat keruh. Padahal sungai itu merupakan sumber air bagi 89 keluarga atau 346 jiwa warga RT 03 untuk kebutuhan setiap hari, dari mencuci, mandi, hingga konsumsi. Biasanya, air sungai memang keruh ketika turun hujan. Tapi, bila tak ada hujan, air kembali jernih dalam dua-tiga hari. Sekarang air sungai harus ditampung dulu di dalam drum dan dibiarkan mengendap berhari-hari sebelum bisa digunakan.
Tak hanya menjadi sumber air, sungai Sepaku juga tempat masyarakat adat suku Balik mencari bahan makanan dan lauk-pauk. Di pinggiran sungai, biasanya warga bisa mendapatkan daun nipah dan rumbia, juga ikan dan siput, tapi kini semua sudah sulit didapatkan.
Pandi mengatakan, pada 28 Februari 2021, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, dan dirinya sebenarnya telah membuat surat penolakan atas rencana pembangunan bendungan dan intake. Ada delapan butir alasan penolakan itu. Selain karena merupakan sumber kehidupan masyarakat lokal dan masyarakat adat, Sungai Sepaku, baik di badan air maupun di sepanjang daerah aliran sungai, menyimpan banyak situs sejarah.
Pandi menyebutkan pembangunan intake Sungai Sepaku telah menghancurkan beberapa situs sejarah milik suku Balik. "Tempat keramat milik suku kami sudah ada beberapa yang tenggelam dan dihancurkan," tuturnya. Misalnya, Batu Sekiur atau batu pemandian Jaya Kerkasa. “Lokasinya sudah tenggelam karena ada proyek bendungan dan intake.”
Merujuk pada Mini Ensiklopedi Masyarakat Adat Suku Balik yang diterbitkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Batu Sekiur terletak tepat di hulu Sungai Sepaku bagian tengah. Batu Sekiur diyakini sebagai tempat membersihkan diri leluhur suku Balik yang bernama Jaya Kerkasa. Pandi menyebutkan salah satu inisiatif masyarakat adat untuk mengingat Batu Sekiur adalah memasang bendera berwarna kuning. “Kami pasang bendera kuning di sana sebagai penanda,” ucapnya.
Situs tradisi lain yang ikut terkena dampak pembangunan IKN adalah Batu Badok (batu badak). Pandi mengatakan Batu Badok adalah tempat penyambung sejarah bagi masyarakat adat suku Balik. Ia menyebutkan tadinya Batu Badok berdampingan dengan Batu Bawi (batu babi), yang dipercaya sebagai jelmaan badak dan babi yang melompat ke sungai karena dikejar petir setelah melanggar hukum alam.
Badan Otorita IKN (OIKN) tak menampik ihwal adanya situs sejarah milik suku Balik yang hilang akibat pembangunan intake atau pengendali banjir Sungai Sepaku. Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat OIKN Alimuddin mengatakan hilangnya beberapa tempat sakral itu merupakan dampak yang tidak terhindarkan dari pembangunan megaproyek ibu kota negara. “Membangun ibu kota negara itu tidak main-main,” kata Alimuddin melalui sambungan telepon pada Selasa, 17 Desember 2024.
Menurut dia, membangun ibu kota baru bukan sekadar membangun gedung perkantoran, tapi juga menyiapkan infrastruktur dasar, seperti sekolah, listrik, dan air bersih. Jadi, kata Alimuddin, membendung Sungai Sepaku merupakan langkah yang harus dilakukan untuk menyiapkan kebutuhan air bersih bagi IKN. “Tentu ada efek pembangunan yang harus sama-sama kita perhatikan. Bukan berarti yang disakralkan masyarakat lokal itu kami ambil saja, tidak seperti begitu juga,” ujarnya.
Alimuddin menyebutkan ada manfaat lebih besar jika di Sungai Sepaku dibangun intake dan instalasi pengolahan air bersih. Menurut dia, permasalahan tentang bakal menghilangnya situs sejarah Batu Sekiur dan Batu Badok sudah dibahas sejak dua tahun lalu.
Apalagi, Alimuddin mengatakan, Sungai Sepaku sudah menjadi jalur transportasi untuk kayu dari hutan tanaman produksi yang berada di hulunya sejak 1970-an. Hal ini, kata dia, membuat permukiman di sepanjang daerah aliran sungai menjadi rawan banjir. Alimuddin menyebutkan, dengan membangun intake, ancaman banjir bisa teratasi. Ia juga mengatakan produksi air bersih yang bakal dihasilkan dari Sungai Sepaku akan disalurkan kepada masyarakat adat yang berada di RT 03.
“Air bersih yang diproduksi intake Sungai Sepaku itu bukan sekadar dibawa ke IKN, tapi juga dipastikan akan dinikmati oleh masyarakat setempat. Yang sampai hari ini tidak pernah menikmati air bersih, kami akan siapkan itu,” kata Alimuddin.
Intake Sungai Sepaku dibuat dengan konsep bendung gerak atau obermeyer. Mulai dibangun pada Oktober 2021, intake sungai tersebut memiliki lebar bendung 117,2 meter serta tinggi bendung 2,3 meter. Pembangunan intake Sungai Sepaku meliputi tubuh bendung, dinding bendung, saluran pengumpan, kantong lumpur, dinding hilir dan hulu, apron, serta kolam olak. Intake Sungai Sepaku berjarak 15,8 kilometer dari IKN dan berkapasitas 3.000 liter per detik.
Alimuddin melanjutkan, selama ini masyarakat suku Balik memang memanfaatkan Sungai Sepaku sebagai sumber air bersih. Namun, kata dia, masyarakat perlu menyaring dan mengendapkan dulu air yang telah diambil, baru bisa menggunakannya. “Kami ingin menyiapkan dan memproduksi air bersih yang bisa dinikmati masyarakat,” ucapnya.
Menurut Alimuddin, awalnya konsep pembangunan intake itu bakal menggusur seluruh permukiman warga di sepanjang DAS Sepaku. Namun, kata dia, terjadi perubahan desain dengan tetap mengakomodasi kehadiran warga asli dari suku Balik yang banyak bermukim di RT 03 Kelurahan Sepaku. “Sampai hari ini kawasan di RT 03 dipertahankan dan tidak dibongkar, tidak digusur,” katanya.
Warga adat suku Balik melakukan aksi menolak penggusuran, di Kelurahan Sepaku Lama, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 13 Maret 2024. Dok. AMAN
OIKN, Alimuddin menambahkan, juga berkomitmen mengembangkan kearifan lokal. Ia menyebutkan pihaknya tengah merancang museum hidup. “Kami ingin mengangkat kembali kearifan lokal masyarakat yang mungkin sudah ditinggalkan atau tidak dibina lagi dengan baik,” ujarnya. “Justru kami ingin membuatkan sebuah tempat untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat seperti apa, bisa menjadi tempat wisata.”
Ia menyebutkan beberapa warga suku Balik sudah diajak melihat langsung pengelolaan Samsara Living Museum di Karangasem, Bali. Alimuddin juga mengatakan warga Karangasem pun sudah diajak ke Sepaku untuk berbagi pengalaman tradisi atau budaya yang bisa dikembangkan menjadi tempat wisata. “Nanti masyarakat bisa mengembangkan kearifan lokal yang tentu kita sesuaikan dengan kebutuhan zaman hari ini,” tuturnya.
Selain hilangnya situs sejarah suku Balik, tokoh pemuda Sepaku, Arman Jais, mengatakan keberadaan bako lemit atau bakau kuning di muara Sungai Terunen terancam hilang. Menurut Arman, kawasan bakau kuning ini dipercaya sebagai tempat yang baik untuk melaksanakan nazar (beniat) dan membayar hajat (mayar niat).
“Wilayah ini sempat terancam ketika perusahaan logistik menebang banyak mangrove untuk membangun pelabuhan logistik bagi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan Ibu Kota Nusantara,” kata Arman saat ditemui di Sepaku pada Selasa, 10 Desember 2024.
Arman menuturkan ritual beniat di kawasan bakau kuning dilakukan dengan memotong ayam berwarna hitam dan putih serta mengikatkan kain bendera berwarna kuning. “Lokasi itu begitu sakral bagi kami, masyarakat suku Balik. Apalagi bakau kuning hanya bisa tumbuh di lokasi itu,” tuturnya.
Jika masyarakat tidak bersuara ketika pembukaan kawasan mangrove di sekitar Teluk Balikpapan, menurut Arman, bisa jadi bakau kuning bernasib seperti Batu Sekiur dan Baku Badok yang hilang. “Waktu itu Pokja Pesisir sempat mengecam pembukaan mangrove. Masyarakat suku Balik juga ikut merespons terancamnya bakau kuning yang sakral,” ucapnya.
Menanggapi perihal terancamnya bakau kuning, Alimuddin mengatakan permasalahan itu telah rampung. Menurut dia, masyarakat suku Balik, perusahaan logistik, dan OIKN telah duduk bersama untuk mencari penyelesaiannya. “Memang ada miskomunikasi di awal. (Bakau kuning) itu akan kami pertahankan dan kami jaga.”
Bahkan, kata Alimuddin, penyelesaian untuk permasalahan bakau kuning telah dilakukan dengan menjalankan ritual adat. Dia mengatakan ritual itu sebagai bentuk komitmen untuk menyelamatkan dan melestarikan bakau kuning. “Bahkan, saat rapat, masyarakat meminta, kalau ada tempat bagus, kami akan pindahkan dan jadikan itu sebagai tempat wisata,” ucapnya.
Ketua AMAN Kalimantan Timur Saiduani Nyuk meminta pembangunan IKN tidak mengorbankan tradisi dan budaya masyarakat adat yang telah berumur ratusan hingga ribuan tahun. “Tradisi dan budaya itu tidak bisa ditukar dengan gedung mewah dan infrastruktur yang megah,” kata pria yang akrab disapa Duan ini saat ditemui di Samarinda, Kalimantan Timur, Senin, 16 Desember 2024.
Menurut Duan, AMAN Kalimantan Timur pernah membantu pengajuan untuk pengakuan terhadap masyarakat adat suku Balik Sepaku. Namun, kata dia, pengajuan itu terhambat pengalihan wilayah administrasi Kecamatan Sepaku dari Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara ke Badan Otorita IKN. "Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara mengaku tidak lagi mempunyai kewenangan, sedangkan Badan Otorita belum memiliki mekanisme untuk pengakuan masyarakat adat," tuturnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo