Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERAH-terima jabatan itu dilakukan mendadak. Senin pekan lalu, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Indarto mencopot Kepala Kepolisian Resor Nunukan Ajun Komisaris Besar Tajuddin dan Kepala Polres Kutai Timur Ajun Komisaris Besar Bambang Sukardi. Menurut kabar yang beredar, keduanya terkait dengan pembalakan liar.
Masih tiga lagi polisi Nunukan yang diberhentikan: Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Ajun Komisaris Imam Muhadi, Wakil Kasat Reskrim Inspektur Dua Bambang, dan Kepala Satuan Intelijen Ajun Komisaris M. Amin. Tapi Indarto mengelak ketika pencopotan itu dikaitkan dengan pembalakan liar di Kalimantan Timur. ”Saya tidak bisa mengatakannya,” ujarnya.
Juru bicara Polda Kalimantan Timur, Komisaris Besar I Wayan Tjatra, membenarkan para polisi itu diganti karena bermasalah. ”Status mereka kini non-job, menunggu hasil sidang Mabes Polri,” katanya. Sepekan sebelumnya, Tajuddin, bersama Kepala Polres Ketapang Ajun Komisaris Besar Sun’an, sudah dipanggil ke Mabes Polri. Keduanya diperiksa dalam kaitan dengan para pelaku pembalakan.
Sun’an dinyatakan bersih karena baru dua pekan menduduki posnya, sedangkan Tajuddin belum diputuskan. Begitu Tajuddin balik ke Nunukan, Indarto menerima pesan pendek dari Mabes Polri: akan ada operasi antipembalakan liar di daerahnya. ”Kapan dan di mana, ketika itu hanya Kapolda yang tahu,” kata I Wayan Tjatra.
Operasi ternyata digelar dua pekan lalu. Tujuh polisi dari Mabes Polri, yang dipimpin Wakil Direktur IV Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Komisaris Besar Hadi Atmoko, ”mengobok-obok” Tarakan dan Nunukan. Polda setempat mengerahkan 30 anggota Brimob ditambah helikopter. Tim itu menemukan beberapa lokasi penebangan liar di kawasan hutan Simenggaris, Nunukan, dekat perbatasan dengan Malaysia.
Pasukan Brimob yang berhasil masuk ke Simenggaris mendapat sekitar 20 ribu meter kubik kayu olahan. Meskipun tak menemukan para pembalak, kata I Wayan Tjatra, polisi sudah mengantongi nama sejumlah tauke. Satu per satu disergap di rumahnya. Empat orang yang ditangkap, M. Idris, Mama Rambo, Manak, dan Herman, langsung diterbangkan ke Jakarta. Dua nama lain yang diincar, Anas dan Asbar, dilepaskan karena tak cukup bukti. ”Sejumlah cukong lain kabur ke Malaysia,” kata seorang polisi.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Nunukan Abdul Wahab membeberkan modus operandi para penyelundup ini: kayu jarahan itu diselundupkan ke Tawau, Malaysia, lewat jalan sungai dan laut. Biasanya kayu diangkut sekitar pukul 20.00 dengan kapal dan tiba di Tawau esok paginya. Jika merasa aman, para penyelundup mulai bergerak pukul enam sore dan sampai di perbatasan Malaysia pukul satu dini hari.
Sebagian besar kayu diambil dari hutan di wilayah Simenggaris, Sebakis, dan hutan lindung Pulau Nunukan. Setiap kapal biasanya mengangkut 50-200 meter kubik kayu. Para tauke kayu ini, ujar Abdul Wahab, setiap tiga bulan membayar upeti ke aparat keamanan, masing-masing sekitar 10 ribu ringgit atau Rp 250 juta.
Di Nunukan, ujar Abdul Wahab, ada sekitar 30 tauke yang bergerak di bisnis kayu haram. Artinya, tiap tiga bulan dari mereka bisa terkumpul duit suap sekitar Rp 7,5 miliar. Dari ”nyanyian” para tauke di depan pemeriksa itulah sejumlah nama polisi yang menikmati uang kayu muncul.
Dua bulan lalu, sepuluh tentara anggota Satuan Tugas Perbatasan dari Batalion Infanteri 611/Awanglong, Samarinda, disel di markasnya. Mereka ditengarai mendapatkan keuntungan dari penyelundupan kayu di Nunukan. ”Mereka sudah diberi sanksi disiplin,” kata Komandan Distrik Militer 0911/Nunukan Letnan Kolonel Taufik Budilukito.
Dalam beberapa operasi terakhir, rupanya polisi tidak melibatkan Dinas Kehutanan Kalimantan Timur. Hal ini dibenarkan kepala instansi itu, Budi Prasnowo. ”Dinas kehutanan kami libatkan nanti, sebagai saksi ahli,” kata I Wayan Tjatra.
Menurut Yayat Avianto dari Yayasan Telapak Indonesia, sulit memberantas pembalakan di Kalimantan karena kuatnya keuangan para cukong. Yang terkuat adalah Geng Sabah, gabungan 5-7 cukong kayu yang dalam sepuluh tahun terakhir mengendalikan bisnis itu. Kelompok ini meminjamkan modal bagi para penebang liar. Ditambah lagi, polisi Malaysia pun seperti memberi angin. ”Mereka selalu membiarkan kayu selundupan itu melewati perbatasan,” kata seorang perwira polisi penghubung (liaison officer) di Tawau kepada Tempo.
Keuntungan kejahatan yang satu ini memang menggairahkan. Satu meter kubik kayu meranti berbentuk bantalan sepanjang empat meter, misalnya, dibeli Rp 200 ribu. Oleh para cukong di Malaysia, kayu ini dilempar ke pasar seharga Rp 5,2 juta per meter kubik.
Selain di Nunukan, operasi serupa digelar di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, dengan mengerahkan 60 anggota Brimob. Aparat membekuk empat tersangka pelaku penebangan liar, di antaranya Tony Wong, yang kini mendekam di tahanan Polda Kalimantan Barat.
Di kalangan ”rimbawan”, Tony terbilang pemain lama. Ia sudah beroperasi sejak 1975, lewat dua kilang kayunya di Ketapang. Kini ia menghadapi tuduhan korupsi lantaran dituding mengemplang dana provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi Rp 4,8 miliar.
Kepada Tempo, Tony menduga penangkapannya tak lepas dari ulah sejumlah mafia kayu di Kalimantan Barat karena laporannya kepada Markas Besar Polri tentang praktek illegal logging di Ketapang. ”Mafia kayu itu lalu mencari-cari kesalahan saya,” ujarnya.
Dari operasi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat selama tiga pekan terakhir, polisi menyita lebih dari 50 ribu meter kubik kayu olahan, 40 ribu meter kubik kayu gelondongan, 45 truk, 6 kapal motor, beberapa kompresor, dan dua kilang kayu (sawmill). Sebanyak 12 orang sudah dinyatakan sebagai tersangka.
Kendati digeber sana-sini, operasi ini ternyata tak menyurutkan nyali pencuri kayu di Kalimantan Barat. Di Ulu Ketungau, Sintang, misalnya, kayu haram masih terlihat mengalir ke pelabuhan Ketapang. Di Nunukan, dalam dua pekan terakhir memang tak terlihat perahu menghela kayu. ”Mereka tiarap, menunggu Nunukan dingin dulu,” kata seorang polisi.
I G.G. Maha Adi, Sanny Febiana,S.G. Wibisono (Balikpapan), Harry Daya (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo