Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gories Mere membayar uang muka Rp 500 juta untuk lahan di Labuan Bajo.
Ia mengaku baru belakangan mengetahui lahan tersebut bermasalah.
Menurut Gories, ada pejabat Kejaksaan yang mengaku diminta menyelidiki perkara ini.
DITEMANI dua pengacara dan ajudan, Komisaris Jenderal (Purnawirawan) Gregorius “Gories” Mere menceritakan rencana pembelian 3 hektare lahan di Torro Lemma Batu Kallo, Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional ini berkali-kali muncul dalam perkara korupsi di atas lahan milik negara tersebut. Wawancara berlangsung selama hampir 40 menit di sebuah ruangan di hotel bintang lima di kawasan Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan, pada Jumat malam, 19 Februari lalu. Sambil sesekali menyesap teh hangat, Gories menjelaskan sejarah lahan yang tengah bermasalah itu kepada wartawan Tempo, Linda Trianita dan Riky Ferdianto.
Bagaimana awal mula Anda membeli lahan seluas 3 hektare di Labuan Bajo?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanah itu pernah ditawarkan kepada saya oleh Muhammad Achyar dan Gabriel Mahal. Lokasinya di perbukitan berbatu terjal di Toro Lema Batu Kallo, yang bersisian dengan laut. Dia bilang tanah itu bebas sengketa. Karni Ilyas dan Gabriel Mahal sudah membeli lebih dulu, jadi bagus jika kita bersama-sama.
Kapan transaksi terjadi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada dua kali transaksi pada Agustus 2017 untuk tanah seluas 0,4 dan 3 hektare. Lahan itu berdempetan dengan lahan seluas 3 hektare. Untuk yang 3 hektare saya sudah bayar uang muka Rp 500 juta. Sisanya, Rp 2,5 miliar, saya lunasi jika sertifikat lahan itu sudah terbit. Jadi itu transaksi bersyarat.
Anda sudah melunasi sisanya?
Januari 2018 saya memutuskan batal membeli. Keputusan itu saya ambil setelah bertemu dengan Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch. Dula dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Manggarai Barat. Dari keterangan mereka saya mengetahui status tanah itu bermasalah.
Mengapa disebut bermasalah?
Di atas lahan itu terbit enam sertifikat hak milik tanah. Badan Pertanahan Nasional juga mencatat klaim pemerintah daerah. Lahan yang berasal dari hibah itu bakal dibangun sekolah perikanan. Tapi batas wilayah lahan itu kabarnya juga bermasalah. Sebagian menunjuk sebidang tanah datar di area lain, bukan bukit berbatuan terjal.
Di atas lahan itu kini berdiri bangunan dari kontainer bekas yang oleh warga sekitar disebut milik Anda. Benarkah?
Saya tidak tahu. Silakan tanya orang yang mendirikan bangunan itu. Jika ada orang yang menganggap saya pemilik lahan, boleh jadi karena dulu saya sering berkunjung ke daerah itu. Daerah NTT itu sudah saya kenal sejak menjabat Wakil Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur pada awal 2000-an.
Belakangan ada pengajuan permohonan sertifikat oleh David Andre Pratama. Benarkah dia anak angkat Anda?
Saya dan Pak David baru berkenalan akhir-akhir ini saja. Saya diperkenalkan oleh Saudara Fautinus Wundu. Tapi tidak benar jika disebut dia anak angkat saya. Saya tidak pernah mengangkat anak. Sejak membatalkan transaksi dengan Muhammad Achyar, saya tak lagi banyak berurusan dengan lahan itu.
Apakah ada orang penting yang mendorong kasus korupsi tanah ini?
Saat proses penyelidikan, saya dipeluk oleh salah seorang pejabat di Kejaksaan Agung. Dia meminta maaf karena diminta menyelidiki perkara ini. Tapi saya tidak ingin menerka-nerka siapa yang mengorder penyelidikan kasus ini. Sejauh ini Kejaksaan menganggap saya calon pembeli yang memiliki iktikad baik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo