Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TURJAUL Umur, warga Desa Tigasan Wetan, Kecamatan Leces, Probolinggo, Jawa Timur, terpaksa mengungsikan anaknya yang sudah remaja ke rumah neneknya. Gara-garanya: Andika, anak itu, kaget melihat ribuan ulat merambat di dinding belakang kamarnya. Sepanjang hidup belum pernah mereka melihat ulat sebanyak itu.
Awal pekan lalu, begitu melihat ulat-ulat bulu itu, Turjaul dan anaknya segera mengambil obat nyamuk cair. Ia menyemprotkannya ke ulat-ulat itu. Bukannya mati, ulat-ulat itu malah bergerak cepat. Akhirnya dia mengguyur dinding dengan solar. ”Ulatnya melemah dan kemudian mati,” kata Turjaul.
Ternyata tak hanya di dinding rumah Turjaul ulat muncul. Binatang yang menimbulkan gatal itu menghabisi daun 25 pohon mangganya di belakang rumah. Belakangan Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo mencatat hampir 15 ribu pohon mangga di sembilan kecamatan diserang ulat bulu tersebut. ”Tidak pernah sebelumnya ada wabah ulat bulu menyerang Kabupaten Probolinggo,” kata Arif Kurniadi, Kepala Seksi Perlindungan Tanaman Dinas Pertanian.
Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, tak jauh dari Probolinggo, dibuat sibuk meneliti serbuan ulat itu. Yang membuat pusing adalah spesiesnya, yang ternyata belum tercatat. ”Hingga kini kami belum bisa menentukan jenisnya,” kata Toto Himawan, Kepala Laboratorium Hama.
Kesimpulan yang sama datang dari Profesor Aunu Rauf, guru besar ilmu hama tanaman Institut Pertanian Bogor. Rauf, yang datang ke Probolinggo, mengatakan spesies ulat yang menyerbu itu belum tercatat, ”meski ulat itu asli Indonesia”.
Sebelumnya ada beberapa dugaan spesies: ada yang menyebut Lymantria marginata, Dasychira sp., atau Euproctis virgincula. Ternyata bukan. Yang sudah dipastikan hanya satu: ulat itu imigran, bukan dari Probolinggo. Kesimpulan ini diambil karena tahap metamorfosis yang seragam. Ulat bermetamorfosis dari telur, ulat, kepompong, hingga menjadi kupu-kupu atau ngengat. Saat Rauf datang, semua sedang dalam tahap menjadi ulat. ”Ini artinya dari umur telur yang sama, dari ngengat yang umurnya sama,” kata Rauf.
Ia menyebut kondisi itu sebagai populasi yang terputus. Jika ulat berasal dari daerah setempat, dalam satu waktu akan ada berbagai tahap metamorfosis ulat. ”Kita akan ketemu telur, ketemu ulat, ketemu ngengat,” kata Rauf. Jadi tak hanya bertemu dengan ulat.
Belum jelas dari mana dan mengapa ulat-ulat itu tiba-tiba ”menyerbu” Probolinggo. Toto menduga mereka berimigrasi dari daerah kering—di sekitar Klakah, yang arahnya ke selatan—ke wilayah yang lembap di kawasan kebun mangga di Probolinggo.
Teori lain dikemukakan Hermanu Triwidodo, ahli serangga yang memimpin Pusat Pengendalian Hama Terpadu IPB. Ia menduga ulat itu berkaitan dengan letusan Gunung Bromo, November-Desember tahun lalu. Letusan ini membuat wilayah di sekitarnya panas, dan predator alami ulat—dari burung sampai serangga lain—pergi. Ulatnya tetap bertahan karena tahan udara panas.
Karena tanpa predator, ulat berkembang cepat. Seekor ulat—setelah menjadi ngengat—bisa bertelur 300 butir. Satu periode metamorfosis, dari telur sampai bertelur lagi, hanya butuh 35 hari. Kalaupun hanya 100 telur yang menetas, dari saat letusan Bromo sampai awal April sudah dihasilkan sejuta ekor ulat.
Ketika Bromo meletus, angin bergerak dari gunung itu menuju Probolinggo. ”Abunya kan bergerak ke sana (daerah Probolinggo),” kata Hermanu. Angin ini juga menerbangkan ulat bulu. ”Ulat bulu itu bisa diterbangkan sampai 34 mil (55 kilometer),” Hermanu menambahkan.
Di tempat baru, ulat bisa tumbuh subur karena musuh-musuh alaminya belum ada. ”Kan itu daerah baru,” kata Hermanu. Tanpa kedatangan ulat imigran, predator di sekitar Probolinggo juga sudah berkurang. Burung, misalnya, tak sebanyak dulu karena ditangkapi. Begitu pula semut rangrang. ”Semut rangrang dicari untuk diambil telurnya (kroto) buat pakan burung,” kata Arif.
Selain itu, ada kemungkinan hujan sepanjang 2010 tanpa henti berpengaruh terhadap kesehatan predator. ”Hujan terus-menerus menyebabkan pengaturan populasi alami tak bekerja,” kata Toto. Ia menganjurkan musuh alami ulat dihidupkan lagi untuk mengatasi serbuan. Selain itu, ulatnya dibasmi dengan pestisida agar tak berkembang biak. Ini sudah dilakukan di Probolinggo.
Untuk memperkuat tanaman agar tidak mati setelah daunnya dihabisi ulat, Hermanu menganjurkan pemberian pupuk kandang atau kompos. ”Setidaknya perbandingannya 50 : 50 dengan pupuk kimia,” katanya. Pupuk kandang membuat bagian bawah pohon tetap lembap. Menurut dia, setelah daunnya dihabisi ulat, biasanya pohon mangga akan berbuah sangat bagus.
Nur Khoiri, David Priyasidharta (Probolinggo), Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo