Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kecil Itu Indah

Dwiki Dharmawan berkolaborasi dengan Jogya String Quartet dan Donny Sundjoyo. Bermain dengan formasi kecil bukan orkestra, terasa lebih imajinatif.

11 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGEPOK kertas partitur itu diangkatnya tinggi-tinggi. Dikibas-kibaskan supaya muncul suara gemeresak. Lalu partitur itu dihamburkannya. Kertas berserakan di mana-mana. Tak lama kemudian terdengarlah suara cit-cuit-cericit-cuit, suaranya mirip sekali burung-burung yang sedang gusar di tepi pantai. Mencicit bersahut-sahutan dan mengabarkan tanda bahaya. Suara angin terdengar berat, lalu ombak datang bergulung-gulung menimbulkan gemuruh.

Penonton yang memenuhi ruang pertunjukan Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis malam dua pekan lalu, mendengarkan dengan saksama. Suara-suara itu tercipta dari gesekan instrumen string dan piano.

Inilah pertunjukan menarik. Dwiki Dharmawan, yang biasanya memboyong orkestra atau big band, hadir dengan formasi yang lebih mampat. Dwiki memilih berkolaborasi dengan Jogya String Quartet dan Donny Sundjoyo, pencabik kontrabas. Meski lagu yang diusung dari deretan album Dwiki Dharmawan World Peace Orchestra, mereka mengubah performanya. Lebih eksploratif, lebih imajinatif memanfaatkan nada.

Lagu Arafuru misalnya. Dwiki menambahkan suasana pantai dengan ombak, angin, dan burung yang saling melengkapi. Eko Balung, Fafan Isfandiar, dan Adi Nugroho (viola) memainkan suara burung yang mencicit dari gesekan violinnya. Sedangkan Dimawan Kresno Adji (cello) dan Donny memainkan peran yang berbeda. Instrumen mereka menjadi suara angin. Lalu piano Dwiki dalam ambitus rendah menjelma ombak bergulung-gulung.

Dengan formasi kecil, semua instrumen mau tak mau bergantian menjadi alat ritmis. Dwiki membebaskan semua pemain mengeksplorasi nada. Dalam lagu Numfor, misalnya, ada dialog antar-instrumen. Tanya-jawab antara piano dan string atau sesekali kontrabas yang memimpin. Mereka tak lagi bersetia pada partitur. ”Partitur hanya memandu. Saya membebaskan mereka,” ujarnya.

Tak banyak pemain string di Indonesia yang mampu mengolah warna jazz. Kecenderungannya, pemain string selalu bersetia pada klasik Barat. Sangat patuh pada partitur. Tak bisa dimungkiri, loncatan seperti ini masih diyakini akan mengobrak-abrik intuisi permainan klasik.

Simaklah komposisi berjudul Gunungan, hasil karya Dwiki dengan I Nyoman Windha. Awalnya, lagu ini dipentaskan pertama kali dalam Java Jazz Festival 2009 dengan seperangkat lengkap gamelan Jegog dan orkestra. Tapi malam itu spirit gamelan Bali pada Semar Pegulingan dimainkan dalam piano dan string. Idiom gamelan diterjemahkan oleh piano dan kontrabas. Sedangkan kuartet gesek menjembatani rentetan warna Barat, yang diwakili oleh jazz, dan warna Timur, yaitu tangga nada pentatonis itu.

Dwiki memberi sela kejutan kecil untuk membangkitkan mood dalam pertunjukan ini. Lagu rakyat Cik-Cik Periuk dimainkan dalam ritme keroncong. String secara bergantian berperan menjadi cak dan cuk yang tak lagi digesek, tapi dimainkan pizzicato. Melodi lagu justru dipegang oleh kontrabas dengan sangat manis. Pendengar larut dalam ritme itu.

Ismi Wahid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus