Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejak Revolver Dokter kecantikan

Seorang dokter menembak mati istrinya karena tak mau diceraikan. Akibat maraknya penjualan senjata api ilegal.

19 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDENGAR istrinya, Letty Sultri, mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada pertengahan tahun lalu, Ryan Helmi langsung naik pitam. Pria yang berprofesi sebagai dokter kecantikan itu langsung sibuk mencari informasi pembelian senjata api untuk menghabisi nyawa sang istri.

"Dokter Helmi mulai mencaricari senjata, di bulan yang sama," kata Kepala Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Ajun Komisaris Besar Hendy Febrianto Kurniawan, Rabu pekan lalu.

Melalui seorang kawannya, Helmi disambungkan ke tiga orang hingga bertemu dengan S, yang menjual senjata rakitan. Helmi bertemu dengan S di sebuah tempat di Jakarta "Helmi tidak mau membeli karena rakitan," ujar Hendy.

Karena belum mendapat senjata yang cocok, Helmi mengontak lagi penjual senjata rakitan itu dan meminta agar dicarikan senjata pabrikan. Mereka kembali bersua pada bulan yang sama. "Sama S dikasih lagi, jenis Makarov," katanya.

Pistol Makarov juga termasuk rakitan. Jenis senjata yang dulu sering digunakan petinggi Rusia itu diganti larasnya dengan kaliber 32. Helmi merogoh kocek Rp 20 juta untuk memiliki airsoft gun tersebut. "Makarov ini diyakini Helmi sebagai pabrikan, halus rakitannya, makanya mau dibeli," ujar Hendy.

Meski sudah mengantongi Makarov, Helmi mencari senjata api lagi. Sekitar Agustus, Helmi melalui akun Facebooknya menghubungi seorang kawan lama guna menanyakan senjata pabrikan. Orang ini tinggal di luar Jakarta. Pria berinisial Y ini menawarkan senjata api jenis revolver, dan Helmi langsung kepincut. Keduanya bertemu di sebuah tempat di Jakarta untuk bertransaksi. Menurut pengakuan Helmi, kata Hendy, sepucuk revolver beserta peluru dibeli seharga Rp 40 juta.

Senjata itulah yang digunakan Helmi untuk menembak Letty, 46 tahun, di Azzahra Medical Centre, Jakarta Timur, pada Kamis siang dua pekan lalu. Enam peluru memberondong dada dan perut dokter umum itu sehingga tewas seketika. "Penembakan karena Helmi tidak mau cerai dari Letty," ujar Hendy.

Penembakan oleh sipil bukanlah kejadian pertama penggunaan senjata api ilegal. Awal September lalu, seorang pegawai Badan Narkotika Nasional, Indria Kameswari, tewas ditembak suaminya, Abdul Malik, di kediaman mereka di Perumahan River Valley, Bogor, Jawa Barat. Indria tewas setelah peluru yang ditembakkan suaminya dari belakang mengenai paruparu. Senjata api Abdul Malik juga dibeli secara ilegal.

Pada awal Oktober lalu, dokter Anwari Kertahusada menodongkan senjata api kepada petugas parkir mal Gandaria City, Jakarta Selatan. Ia cekcok dengan petugas itu karena menolak membayar biaya parkir Rp 5.000. Setelah ditangkap polisi, aksi koboi dokter yang pernah bekerja di Rumah Sakit Angkatan Darat ini ternyata sudah terjadi beberapa kali. Senjata yang dipakainya itu juga ilegal.

Maraknya senjata api ilegal turut menjadi perhatian polisi. "Kami melakukan penyelidikan dan penindakan terhadap jaringannya," ucap Hendy.

Polisi akan berangkat dari kasus Helmi untuk kembali menelusuri jejak penjualan senjata ilegal. Hendy mengklaim sudah mengantongi identitas penjual senjata kepada Helmi dan mengetahui keberadaan dia. Timnya juga berhasil menyisir akun Facebook milik orang tersebut. Menurut Hendy, pria ini tak vulgar dalam berdagang pistol. "Kalau kita cek di pesan pribadi, baru ketahuan ada pembahasan jualbeli senjata," tuturnya.

Hendy belum bisa memastikan penjual senjata itu merupakan bagian dari mafia perdagangan senjata ilegal atau bukan. "Kami dalami. Tim bergerak secepatnya."

Adapun Helmi bungkam saat ditanya asal senjatanya. Ia malah melantur ketika ditanya motif membunuh istrinya. "Reinkarnasi. Semua yang mati akan pindah ke tubuh lain. Aku mau mengejar dia," ujar pria 41 tahun itu.

Hari yang dinantikan Helmi untuk me­ngejar istrinya akhirnya tiba. Dari Klinik Bidan Estin Pondok Ungu Permai, Bekasi, Jawa Barat, tempat kawannya, Helmi memesan ojek dari aplikasi online sekitar pukul 12.00, Kamis dua pekan lalu. Di aplikasi itu, tercatat tujuan Helmi ke Azzahra Medical Centre, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur.

Si pengemudi, Rahmatsyah Nasution, mengatakan Helmi tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Saat gerimis tiba, Helmi minta singgah sebentar di sebuah warung dekat kantor Wali Kota Jakarta Timur. "Dia beli rokok dulu," kata Rahmat.

Tak cuma membeli rokok, Helmi juga meminta sebuah plastik kepada pedagang. Sesaat kemudian, ia menuju gang sepi tak jauh dari warung itu. Di sana, Helmi memasukkan peluru ke revolver dan membungkusnya di plastik tadi. "Dia khawatir pistol tidak bisa berfungsi kalau kena hujan," ujar Hendy.

Beres urusan peluru, Rahmat mengantar Helmi ke klinik, sesuai dengan tujuan awal, yang masih berjarak 14 kilometer. Di bawah pohon depan klinik, Helmi berpesan agar Rahmat menunggu. Ia mengaku sebagai polisi dan sedang ada urusan sebentar di klinik tersebut. "Dia minta ditunggu untuk diantar ke Polda setelahnya," tutur Rahmat.

Helmi buruburu masuk ke klinik tiga lantai tersebut. "Di mana Letty, mana Letty," ujar Helmi. Ia menyelonong masuk ke ruangan Letty di ujung bangunan lantai dasar. Kuasa hukum Letty, Ori Rahman, mengatakan Helmi dan kliennya sempat cekcok di ruang praktik seluas 3 x 6 meter tersebut.

Tapi Letty tungganglanggang ke ruangan administrasi, yang terletak di sebelah ruang praktiknya. "Bu Letty ketakutan karena sudah ditunjukin pistol," ujar Ori. Letty mengunci pintu ruangan seluas 2 x 3 meter itu. Helmi beberapa kali mendobrak, tapi pintu gagal terbuka.

Tepat di sebelah pintu, Helmi melihat lubang kaca yang biasanya digunakan untuk pembayaran ke kasir. Dari lubang itulah ia memberondongkan tembakan ke tubuh istrinya. Hetty bersembunyi di balik kursi kantor. Hanya kepalanya yang terlindungi. Dari hasil autopsi, diketahui dua peluru bersarang di jantung dan dada, satu peluru berada di perut. Adapun tiga peluru lain diduga menembus badannya.

Menurut Ori, saat Helmi baru memberondongkan dua tembakan, Kepala Azzahra Medical Centre, Abdurrahman, menegur dari tangga. Helmi lalu menodongkan pistol ke arah Abdurrahman. Kepala klinik itu lari ke lantai atas untuk menghindari letusan peluru. Helmi beraksi lagi membidik Letty.

Setelah membunuh Letty, Helmi bergegas keluar. Ori mengatakan sejumlah warga di luar klinik hendak mengeroyok Helmi. Namun sang tukang ojek berceletuk bahwa Helmi adalah polisi. Warga pun mengurungkan niat mereka. Dua jam kemudian, Rahmat dan Helmi tiba di markas Polda, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Helmi menyerahkan diri ke Direktorat Kejahatan dan Kekerasan.

Adik Letty, Very Bahtiar, mengatakan Helmi pernah mengancam kakaknya dan dirinya saat akan menjalani sidang keempat perceraian sekitar dua bulan lalu. Sebelum sidang dengan agenda pembacaan replik itu dimulai, kata Very, Helmi menemui Letty di ruang tunggu. Sambil menunjukkan foto pistol, Helmi mengancam akan menghabisi Letty dan Very beserta keluarganya. "Kamu kalau macammacam saya habisi juga," ujar Very menirukan ucapan Helmi.

Menurut Very, kakaknya ngotot meminta cerai karena sudah tidak tahan dengan perangai buruk Helmi sejak awal pernikahan pada 12 Desember 2012. Mereka berkenalan lewat Facebook dan tak lama setelah itu menikah.

Belum genap satu tahun usia pernikahan, Very mengatakan prahara rumah tangga HelmiLetty berkecamuk. Pria asal Pasuruan, Jawa Timur, itu pernah membentak ibu Letty. Masalahnya sepele: ibu mertuanya itu ingin menggunakan mobil Daihatsu Xenia putih milik Letty. "Kakak saya diancam akan digunting," tuturnya.

Very juga hampir adu pukul dengan Helmi. Setelah kejadian itu, ia menasihati Letty agar tak melanjutkan biduk rumah tangganya dengan Helmi. Namun Letty memilih bertahan. Ia dan Helmi memutuskan keluar dari rumah sang ibu di Jalan Kemuning 3 Utan Kayu, Jakarta Timur, dan mengontrak di daerah Dewi Sartika, Jakarta Timur.

Selama di kontrakan, kata Very, Helmi kerap menghajar Letty hanya karena hal sepele. Ucapan kasar juga tak sungkan keluar dari mulut Helmi. Puncaknya pada saat Ramadan tahun ini. Helmi, yang berencana membuka klinik kecantikan di kontrakannya, meminta sang istri mengambilkan sesuatu. Letty yang lelah karena seharian bekerja di klinik menolak permintaan Helmi.

Merasa diabaikan, Helmi meluncurkan bogem ke arah Letty. Bahkan ia sempat akan membakar Letty dengan menyulut kain yang sudah dilumuri tiner di kamar. Letty berhasil memadamkan api itu. Semua pintu ditutup Helmi. Namun Letty berhasil ke luar rumah dengan melompat dari jendela kamar.

Upaya Letty ketahuan sehingga Helmi mengejar. "Kakak saya diseretseret di jalanan, makanya kakinya luka," ujar Very.

Helmi juga menyembunyikan barangbarang Letty. Bukan cuma barang pribadi dan alat rumah tangga, mobil Daihatsu Xenia putih Letty juga dalam penguasaan Helmi.

Komisaris Besar Hendy Febrianto Kurniawan mengatakan mobil Letty telah dijual Helmi seharga Rp 80 juta. "Uang hasil penjualan mobil itu untuk membeli senjata api yang digunakan buat membunuh Letty," katanya.

Atas perbuatannya itu, Helmi dijerat pasal pembunuhan dan pasal pembunuhan berencana Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Polisi juga menjerat tersangka dengan undangundang darurat terkait dengan penyalahgunaan senjata api. Ancamannya hukuman mati atau paling lama 20 tahun penjara.

Linda Trianita, Chitra Paramaesti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus