Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ke Mana Lagi Gajah ?

Ancaman terhadap kelestarian gajah, karena hutan suaka yang diharapkan menampung gajah semakin menciut karena di rongrong oleh konsesi hutan dan peladang liar a.l: hutan suaka way kambas, kerumutan baru. (ling)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGHILANGNYA gajah merupakan tragedi besar," ujar John Blower, ahli konservasi alam yang diperbantukan pada Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA). Tapi menghllangnya jenis binatang ini dari bumi Indonesia tampaknya tak bisa dicegah lagi. Berapa kini jumlahnya? "Pasti tidak melebihi 400 ekor," jawab Blower. Gajah di Riau teruuma sekali paling cepat musnah. Kalau 3 - 4 tahun lalu jumlahnya masih tercatat 200 ekor, sekarang "paling-paling 100 ekor saja," cerita Harun, Kepala Kantor-PPA Riau. Kenapa susut? Penduduk Riau ternyata menjerat dan membunuh gajah sesukanya. Pekan lalu Menteri Negara PPLH Emil Salim, meminta perhatian serius Gubernur Riau dalam hal ini. Dalam suatu suratnya, misalnya, diperincinya peristiwa pem- bunuhan gajah sejak Agustus. Ketika itu dibunuh satu ekor, kemudian 9 Oktober seekor lagi, dan paling akhir, 21 Oktober, dua ekor sekaligus dibantai penduduk. Memang sering kawanan gajah masuk ke ladang penduduk, melumatkan tanaman. Terutama di Kabupaten Kampar dan Bengkalis, penduduk menyebut "gajah ngamuk" atau "gajah gila". Akibat habitat alamiahnya makin lenyap, tidak mustahil bahwa kelompok gajah itu sewaktu-waktu melintasi ladang penduduk. "Ga]ah suka berpindah-pindah," cerita Blower. Dalam usaha mencari makanan, kelompok binatang itu bahkan "mencapai 150 km bila tak terdapat rintangan." Kini habitat alarniah itu sudah porakporanda akibat usaha penebangan kayu, pembukaan ladang minyak, areal transmigrasi bahkan juga karena peladangan liar oleh penduduk yang berpindah-pindah. Terpaksa kawanan gajah melintasi daerah yang sudah dibuka, dan dengan demikian menghancurkan tanaman dan ladang penduduk. Bila ada makanan yang menarik seperti padi menguning, tebu dan pisang," tentu saja dimakannya," ujar Blower. "Tapi sangat tidak lazim bagi gajah untuk dengan sengaja menyerang pemukiman penduduk atau pun merusak ladangnya." Areal suaka margasatwa di Sumatera --yang diharapkan bisa menampung gajah -- semakin menciut pula. Di Lampung, misalnya, hutan suaka Way Kambas, sudah dikepung areal transmigrasi dan perkebunan. Dari luas hutan sekitar 6 juta hektar di Riau, tersedia hanya sekitar 100 ribu hektar untuk suaka margasatwa, yaitu di Kerumutan Baru. Daerah sekitar Teluk Kuantan dan per-, batasan Riau-Sumatera Barat yang pernah diusulkan untuk hutan suaka, kini sudah dibedah untuk areal transmigrasi tanah kering. Hutan suaka Sikundur di Sumatera Utara dan daerah pegunungan Leuser-Aceh juga dirongrong oleh konsesi hutan dan peladang liar, Blower menjelaskan bahwa suatu suaka alam baru di daerah Kerinci, sekitar 1,5 juta hektar, kini tersedia bagi gajah. Tapi, karena sisa kelompok gajah terpencar, "tetap bakal ada konflik dengan penduduk." Langsung Dibantai Pembantaian gajah terakhir terjadi di km 131, 4 km dari pinggir jalan besar yang menghubungkan Pakanbaru dengan Dumai. Masih di kawasan kontrak kerja PT Caltex Pacific Indonesia (CPI), terdapat sebuah perkampungan di Desa Sebanga, Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis. Kampung itu, Duri 13, dihuni oleh suku bangsa Sakai yang kini mulai menetap dan hidup berladang. Mereka menjerat dua gajah betina yang sedang beranjak dewasa. Seekor di antaranya langsung dibantai dengan tombak dan parang. Seekor lainnya baru tiga hari kemudian mati -- "mungkin lukanya di kaki, akibat kawat jerat itu, dimasuki kuman tetanus," cerita Harun. Yang seekor ini masih hidup ketika Kepala Desa Sebanga, yang juga jadi pegawai kehutanan, tiba di tempat penjeratan itu. Kejadian itu ia laporkan ke kantor PPA di Pakanbaru. Namun Harun dan stafnya agak kewalahan untuk menyelamatkan gajah itu. Kalau Jeratnya dilepas, pasti gajah itu mengamuk. Seharusnya ia dibius dulu, tapi tak seorang pun yang berpengalaman membius gajah. Sementara menunggu petunjuk PPA Pusat, mereka membuat sebuah kerangkeng besi yang tingginya sampai 5 m. Sponsor adalah PT CPI, yang juga menyediakan makanan bagi gajah itu serta mengerahkan peralatan derek dan angkutan lainnya. Kebun Binatang Surabaya yang dihimbau telah menyatakan tidak sanggup menerima gajah itu. Para penyelamatnya bingung. Dan ajalnya tiba, masih dengan kaki terjerat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus