Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang Cermat, Yang Ekspresif

Pameran & seminar komik di Yogya, suatu perbandingan komik lama dari zaman abdul salam (alm) sampai komik baru. disiplin pengkotaan perhalaman mulai dilanggar.

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Indonesia komik lahir dari bungkus ikan asin, kata pengarang Arswendo Atmowiloto dalam Seminar Komik Rabu pekan lalu di Yogya. Sungguh, redaktur majalah remaja Hai itu tak bergurau. Komik pertama Indonesia -- yang dibuat oleh antara lain Kho Wang Gie, Zam Nuldyn, Abdul Salam, Taguan Hardjo--memang didorong oleh komik-komik luar negeri yang ditemukan mereka sebagai kertas bungkus. Meski begitu, membandingkan karya komik dari akhir tahun 40-an sampai tahun 60-an, dengan komik periode sesudahnya, yang awal ternyata lebih memberi kesan kecermatan dalam menggarap gambar. Itu bisa disaksikan di Pameran Komik, 6-12 November lalu di Seni Sono, Yogya. Karya Abdul Salam misalnya. Gambar figur secara anatomis bisa dipertanggungjawabkan. Suasana jelas: siang, malam, di dalam atau di luar ruangan. Dari gambar adegan satu ke berikutnya, cerita terjalin jelas. Dan yang penting, Abdul Salam mencoba sungguh-sungguh untuk menggambar sesuai dengan kenyataan. Bandingkan dengan komik-komik silat periode 70-an--entah karya Ganes Th atau Djair. Gambar figur ditampilkan menghindari detil-- impresif saja. Juga, berbeda dari zaman Abdul Salam yang setia membagi per halaman komik menjadi kotak-kotak secara sama, komik tahun 70-an melanggar pembagian batas. Sering gambar tangan seorang figur dari satu kotak nyelonong saja ke kotak berikutnya. Belum lagi cara pengambilan gambar. Sulit ditemukan gambar satu adegan yang diambil dari atas misalnya, pada komik periode tahun 50-an itu. Sementara pengambilan adegan dari sudut yang 'muskil' banyak bisa dilihat dalam komik-komik roman muda-mudi karya angkatan Jan Mintaraga. Hasilnya, komik-komik dahulu lebih rapi, sementara yang mutakhir lebih ekspresif. Seakan membaca buku komik mutakhir bisa dengan hanya menyapu sekilas halaman -- sementara yang dulu perlu dengan membaca kotak demi kotak. Lebih lagi karena sikap terhadap teks pun berbeda. Gambar pada komik tahun 50-an perlu didukung teks yang baik. Bahkan hanya dengan membaca teks sebetulnya telah bisa ditangkap ceritanya--baca saja misalnya Mahabharata atau Ramayana R.A. Kosasih itu. Tapi pada periode 70-an gambar menjadi dominan: mereka benar-benar mencoba bercerita lewat gambar. Bahkan peng gambaran teriak kesakitan orang yang dipukul misalnya, pada angkatan J an Mintaraga sering dilakukan dengan membentuk huruf-huruf menjadi gambar. Ada eksesnya: banyak komik silat scperti tanpa cerita: melulu gambar orang berkelahi. Sayang. Maka tetap menarik mengikuti kembali komik Diponegoro Abdul Salam. Ada gambar-gambar yang dikomposisikan dengan enak dan realistis, ada cerita yang jelas perkembangannya. Toh, memang ada yang terasa layu. Mungkin karena profil figurnya--tapi lebih tepat karena cara penyajian adegan yang boleh dibilang kurang dinamis. Bak sebuah film, kamera hanya duduk, tak lebih. Tapi zamannya juga berbeda. Zaman Abdul Salam, Zam Nuldyn atau Taguan, adalah priode kisah sejarah, cerita rakyat dan dongeng. Kemudian menyusul lahirnya tokoh-tokoh superhero yang di ilhami superhero Barat tentu saja: Sri Asih, Puteri Bintang, misalnya. Perbedaan yang tiba-tiba muncul-dan terasa begitu kontras dengan zaman komik tahun 50-an--terlihat akhir tahun 60-an. Mengambil tema percintaan muda-mudi, dengan gambar-gambar yang lebih menjotos dan dengan profil yang 'Barat'. Gambar-gambar adegan kiranya sangat terpengaruh cara kamera film mutakhir bekerja. Menyusul kemudian munculnya komik silat. Yang terkenal, hingga diangkat ke layar putih, Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes Th. Dan akhir akhir ini muncul pula komik sciencefiction, plus tokoh-tokoh superhero yang sekarang bulat-bulat Barat: Superman, Batman atau Spiderman. Ini memang berkait erat dengan jenis film yang sedang populer. Ingat saja film Star Wars atau Superman tbe Movie. Kawanku Tapi bermunculannya pelukis kOmik kini--sekitar 200 orang menurut catatan Arswendo -- tak menjamin lahirnya komik yang baik. Sejumlah besar buku komik sekarang kalau tidak menyajikan cerita silat yang asal saling bunuh, dengan bumbu seks, adalah cerita percintaan yang cengeng. Sejumlah tokoh memang tetap bertahan Teguh Santosa, Ratmoyo. Juga Jan dan Ganes Th. Sementara itu banyak pelukis yang kemudian juga membuat komik. Mereka memang tak produktif, juga mung kin kurang populer--tapi dari segi cerita dan artistik gambar sesungguhnya merekalah yang mestinya dikemukakan. Komik-komik untuk anak-anak di majalah Kawanku misalnya, yang dibuat Isnaeni Mh. atau Muljadi W. adalah contoh yang artistik itu. Mereka yang berhubungan erat dengan Kawanku memang boleh merasa beruntung. Media massa yang lain biasanya lebih suka memuat komik luar negeri. Alasannya gampang saja: biayanya jauh lebih murah--menurut perhitungan hanya setengah dari biaya komik dalam negeri. Perlukah dicari sponsor komik bermutu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus