DI Indonesia komik lahir dari bungkus ikan asin, kata pengarang
Arswendo Atmowiloto dalam Seminar Komik Rabu pekan lalu di
Yogya.
Sungguh, redaktur majalah remaja Hai itu tak bergurau. Komik
pertama Indonesia -- yang dibuat oleh antara lain Kho Wang Gie,
Zam Nuldyn, Abdul Salam, Taguan Hardjo--memang didorong oleh
komik-komik luar negeri yang ditemukan mereka sebagai kertas
bungkus.
Meski begitu, membandingkan karya komik dari akhir tahun
40-an sampai tahun 60-an, dengan komik periode sesudahnya, yang
awal ternyata lebih memberi kesan kecermatan dalam menggarap
gambar. Itu bisa disaksikan di Pameran Komik, 6-12 November lalu
di Seni Sono, Yogya.
Karya Abdul Salam misalnya. Gambar figur secara anatomis
bisa dipertanggungjawabkan. Suasana jelas: siang, malam, di
dalam atau di luar ruangan. Dari gambar adegan satu ke
berikutnya, cerita terjalin jelas. Dan yang penting, Abdul Salam
mencoba sungguh-sungguh untuk menggambar sesuai dengan
kenyataan.
Bandingkan dengan komik-komik silat periode 70-an--entah
karya Ganes Th atau Djair. Gambar figur ditampilkan menghindari
detil-- impresif saja. Juga, berbeda dari zaman Abdul Salam yang
setia membagi per halaman komik menjadi kotak-kotak secara sama,
komik tahun 70-an melanggar pembagian batas. Sering gambar
tangan seorang figur dari satu kotak nyelonong saja ke kotak
berikutnya.
Belum lagi cara pengambilan gambar. Sulit ditemukan gambar
satu adegan yang diambil dari atas misalnya, pada komik periode
tahun 50-an itu. Sementara pengambilan adegan dari sudut yang
'muskil' banyak bisa dilihat dalam komik-komik roman muda-mudi
karya angkatan Jan Mintaraga.
Hasilnya, komik-komik dahulu lebih rapi, sementara yang
mutakhir lebih ekspresif. Seakan membaca buku komik mutakhir
bisa dengan hanya menyapu sekilas halaman -- sementara yang dulu
perlu dengan membaca kotak demi kotak.
Lebih lagi karena sikap terhadap teks pun berbeda. Gambar pada
komik tahun 50-an perlu didukung teks yang baik. Bahkan hanya
dengan membaca teks sebetulnya telah bisa ditangkap
ceritanya--baca saja misalnya Mahabharata atau Ramayana R.A.
Kosasih itu. Tapi pada periode 70-an gambar menjadi dominan:
mereka benar-benar mencoba bercerita lewat gambar. Bahkan peng
gambaran teriak kesakitan orang yang dipukul misalnya, pada
angkatan J an Mintaraga sering dilakukan dengan membentuk
huruf-huruf menjadi gambar. Ada eksesnya: banyak komik silat
scperti tanpa cerita: melulu gambar orang berkelahi. Sayang.
Maka tetap menarik mengikuti kembali komik Diponegoro Abdul
Salam. Ada gambar-gambar yang dikomposisikan dengan enak dan
realistis, ada cerita yang jelas perkembangannya. Toh, memang
ada yang terasa layu. Mungkin karena profil figurnya--tapi lebih
tepat karena cara penyajian adegan yang boleh dibilang kurang
dinamis. Bak sebuah film, kamera hanya duduk, tak lebih.
Tapi zamannya juga berbeda. Zaman Abdul Salam, Zam Nuldyn
atau Taguan, adalah priode kisah sejarah, cerita rakyat dan
dongeng. Kemudian menyusul lahirnya tokoh-tokoh superhero yang
di ilhami superhero Barat tentu saja: Sri Asih, Puteri Bintang,
misalnya.
Perbedaan yang tiba-tiba muncul-dan terasa begitu kontras
dengan zaman komik tahun 50-an--terlihat akhir tahun 60-an.
Mengambil tema percintaan muda-mudi, dengan gambar-gambar yang
lebih menjotos dan dengan profil yang 'Barat'. Gambar-gambar
adegan kiranya sangat terpengaruh cara kamera film mutakhir
bekerja.
Menyusul kemudian munculnya komik silat. Yang terkenal,
hingga diangkat ke layar putih, Si Buta dari Gua Hantu karya
Ganes Th. Dan akhir akhir ini muncul pula komik sciencefiction,
plus tokoh-tokoh superhero yang sekarang bulat-bulat Barat:
Superman, Batman atau Spiderman. Ini memang berkait erat dengan
jenis film yang sedang populer. Ingat saja film Star Wars atau
Superman tbe Movie.
Kawanku
Tapi bermunculannya pelukis kOmik kini--sekitar 200 orang
menurut catatan Arswendo -- tak menjamin lahirnya komik yang
baik. Sejumlah besar buku komik sekarang kalau tidak menyajikan
cerita silat yang asal saling bunuh, dengan bumbu seks, adalah
cerita percintaan yang cengeng. Sejumlah tokoh memang tetap
bertahan Teguh Santosa, Ratmoyo. Juga Jan dan Ganes Th.
Sementara itu banyak pelukis yang kemudian juga membuat
komik. Mereka memang tak produktif, juga mung kin kurang
populer--tapi dari segi cerita dan artistik gambar sesungguhnya
merekalah yang mestinya dikemukakan. Komik-komik untuk anak-anak
di majalah Kawanku misalnya, yang dibuat Isnaeni Mh. atau
Muljadi W. adalah contoh yang artistik itu.
Mereka yang berhubungan erat dengan Kawanku memang boleh
merasa beruntung. Media massa yang lain biasanya lebih suka
memuat komik luar negeri. Alasannya gampang saja: biayanya jauh
lebih murah--menurut perhitungan hanya setengah dari biaya komik
dalam negeri. Perlukah dicari sponsor komik bermutu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini