SIAPA syekh?" Begitu biasanya seorang berjubah dan berkopiah
haji, dalam bahasa Indonesia asal jadi, menyapa jamaah kita yang
melewati Babus Sual (Pintu Pertanyaan) -- sebelum ia keluar dari
bandar udara Jeddah, Arab Saudi.
Dan 51 jamaah memang harus menyebut nama seorang syekh. Bila
tidak? Jangan harap ia lolos--apapun jabatannya di Tanah
Air--meski sebelumnya sudah lulus dari pemeriksaan imigrasi.
Syekh berarti ketua, atau tuam Dan syekh haji terbukti punya
kekuasaan lumayan di kalangan jamaah. Padahal mereka umumnya
bukan orang Saudi asli. Sebagian berasal dari atau bernenek
moyang Indonesia, sebagian lagi dari negeri lain.
"Kami hanyalah seorang khadam untuk dbuyufur-Rahman, " kata
salah seorang syekh, Abdul Hamid Mukhtar Sedayu. Tentu ia hanya
berformalitas para jamaah haji memang dalam agama dianggap tamu
Tuhan (dhuyufur-Rahman).
Abdul Hamid Sedayu lahir di Desa Sedayu. Gresik, Jawa Timur.
Sebagai pelayan atau khadam, apalagi untuk tamu Tuhan, Syekh
Abdul Hamid mengaku tak hanya bertanggung jawab mengenai
keberesan tempat tinggal jamaah di Mekah dan tempat-tempat
peribadatan lain seperti Arafat, Mina, Muzdalifah-dengan segala
kebutuhan mereka sehari-hari. Tapi juga pelaksanaan ibadat haji
mereka.
Manasik
"Saya akan merasa sedih dan berdosa kalau jamaah saya sampai
mengeluh kekurangan air. Atau saya mendengar mereka kurang
sempurna dalam melaksanakan manasik," kata syekh berumur 46
tahun dan sudah berprofesi tersebut sejak usia 16 tahun itu.
Karena itu katanya selain ia sendiri membimbing para jamaah
dalam melaksanakan manasik (tatacara ibadat haji), Syekh Hamid
Sedayu mengangkat Kiai Thohir asal Malang, Ja-Tim, dan 18
mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di berbagai negara Arab,
untuk jadi pembimbing pula. Karena Syekh Hamid (tamatan Madrasah
Shalatiah Mekah) seperti umumnya orang Indonesia peng anut
mazhab hukum Syafi'i, manasik yang diberikannya pun berdasar
penyimpulan hukum Syafi'i. Ini penting, sebab orang Saudi
sendiri misalnya lebih banyak mempraktekkan mazhab hukum
Hambali. Bagi orang kita bisa kurang sreg.
Musim haji tahun pertama abad ke-15 Hijri ini Syekh Sedayu
mengurus 3000 jamaah Indonesia. Ia membagibagi jamaahnya
berdasar daerah asal. Dan setiap kelompok mendapat seorang
pembantu syekh yang sedapatdapatnya berasal pula dari daerah
kelompok itu, sehingga para jamaah tak mengalami kesulitan
bahasa dengan si pembimbing.
Untuk itu Syekh Sedayu menyediakan 5 gedung bertingkat 5
hingga 8, miliknya sendiri, plus sekitar 20 rumah yang disewa.
Di Mina ia juga punya satu gedung bertingkat lima yang mampu
menampung seluruh jamaahnya sekaligus Gedung-gedung milik Syekh
Sedayu adalah warisan almarhum ayahnya, Syekh Mukhtar Sedayu,
yang kemudian disempurnakan. Begitu juga jabatan syekhnya.
Sedang Syekh Mukhtar menerima jabatan itu dari ayahnya pula,
Syekh Abdul Hamid juga namanya, yang datang ke Saudi di zaman
Syarif Husein memerintah negeri itu --sebelum Tanah Hijaz (Mekah
dan sekitarnya) dikuasai Dinasti Saud yang berpangkalan di Nejd,
bagian timur SemenanJung.
Waktu itu jamaah Indonesia masih sedikit -- cukup ditampung
di kemah-kemah. Di Mekah.masih banyak tanah kosong. Suasananya
masih sangat miskin dan kumal. Dolar belum menyembur dari
ladang-ladang minyak, dan air zamzam di Masjidil Haram masih
ditimba dengan ember kulit yang diseret seekor onta. Wak.tu
itulah Syekh Abdul Hamid Sedayu Sr., sang kakek, datang ke sana
-- mula-mula dengan maksud belajar agama untuk menjadi kiai
dikampungnya. Tak tahunya kemudian menetap dan akhirnya dapat
penghasilan sebagai syekh.
Berbeda dengan asal "dinasti" Syekh Sedayu adalah Syekh
Muhammad Ramli Musthafa Gusti. Ayah Syekh Ramli, Syekh Musthafa
Gusti, adalah keturunan para pangeran dari Kalimantan Selatan.
Karena selalu membikin huruhara dan dianggap membahayakan
pemerintah Belanda waktu itu, ia dibuang -dan boleh memilih: ke
Batavia atau Singapura. Gusti Musthafa memilih Singapura,
untungnya. Dari Singapuralah kemudian ia berangkat menunaikan
ibadat haji, seperti sudah ditebak. Dan disana, karena kesulitan
alat angkutan di zaman itu, Gusti Musthafa harus tinggal lama di
Mekah - dan akhirnya menetap saja sekalian.
Di Singapura sendiri Syekh Musthafa Gusti tadinya terkenal
sebagai guru fiqh, hukum agama. Di Mekah pun ia aktif mengajar
fiqh, misalnya kepada para jamaah Malaysia (sekarang), Singapura
dan Indonesia yang sebagian lantas menetap. Dan seperti
pertumbuhan profesi syekh lainnya, Musthafa Gusti dari tahun ke
tahun berubah jadi pengurus jamaah setelah banyak bergaul dengan
jamaah. Jabatan itulah yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad
Ramli Gusti, kelahiran Mekah, 77 tahun lalu, sampai
sekarang--semula bersama almarhum kakaknya Syekh Said Gusti.
Menurut Syekh Ramli, dulu jabatan syekh boleh dipegang siapa
saja. Tapi kemudian karena banyak persaingan, Syarif Husein yang
memerintah Mekah waktu itu menentukan syarat-syarat. Antara
lain: orang yang akan jadi syekh (orang Turki memaka nama
dalil, orang Arab sendiri menyebur muthawwif), harus mendapat
rekomendasi dari sedikitnya 12 syekh lain.
Dan dulu seorang syekh juga boleh menampung jamaah dari
bangsa apa saja. Dan kalau sekarang ada persatuan syekh bernama
Al Wukalaa Al Muwahhidah (The Unified Agents), dulu syekh-syekh
dikepalai seorang Syekh Besar. Syekh Besar yang pertama adalah
Jamal Jabidi dari Yamari, sedang wakilnya yang berkedudukan di
Madinah adalah Syekh Bakar Khomais, ayah Dubes Arab Saudi di
Indonesia sekarang. Syekh Musthafa Gusti, menurut Syekh Ramli,
pernah mengasuh Dubes Khomais tersebut.
Tapi Syekh Ramli tak semujur Syekh Sedayu. Kepada kedua
anaknya, Syekh Said Gusti dan Syekh Ramli Gusti Syekh Musthafa
hanya mewariskan 1 rumah bertingkat 4 saj a. Hingga untuk musim
haji kemarin ini Syekh Ramli, yang mendapat jamaah "cuma" 281
(biasanya sekitar 500-1000), harus menyewa 5 rumah lagi. "Tahun
ini tahun mahal," katanya kepada DS Karma yang sedang berhaji
atas undangan Dirjen Perhubungan Udara. "Apa boleh buat, saya
rugi 20-30.000 rial." Sewa rumah saja, katanya, sekarang ini
sekitar 40-50 ribu rial di Mekah (1 rial sekitar Rp 200) di
musim haji. Sedang di Mina 115 ribu rial. "Tapi ada pepatah
Arab: jangan marah, dagang tempo-tempo rugi," kata Syekh Ramli
menghibur diri.
Ada pengalaman Syekh Muhammad Ramli Gusti di Mina,
misalnya. Karena menjaga agar air tetap cukup untuk para jamaah
selama 3 hari, Syekh Ramli terpaksa bertengkar dan nyaris
bakuhantam dengan pemilik rumah tempatnya menyewa--yang suka
"menyerbu" air. "Dan saya sedih kalau membanding kan jamaah
sekarang dengan jamaah dulu di zaman Belanda," tuturnya. Pulu,
jamaah haji uangnya cuma sekitar 200 gulden (1 gulden sekitar
12,5 uang Mekah) dan uangnya masih bisa dibawa pulang dengan
oleh-oleh yang cukup. Sekarang?....
Syekh Ramli ini tak beranak--baik dari istrinya pertama,
orang Banjarmasin almarhumah, maupun dari yang sekarang, orang
Turki. Tapi dengan mengangkat anak, ia sekarang memiliki 2 cucu.
Ia punya pedoman: "Engkau langkahkan kakimu sepanjang dapat
engkau langkahkan, maka . . . " dan seterusnya. Bagi syekh ini,
sebenarnya ketentuan biaya mondok yang 1100 rial bagi tiap
jamaah sekarang ini, amat kurang.
Tentang yang terakhir itu, keluhan juga diajukan oleh Syekh
Nuri Arif Semarang, yang tahun ini menampung 117 janaah. "1100
rial itu sama sekali tidak cukup," keluh syekh berumur 80 tahun
ini. Sebab katanya sewa tenda saja sudah 100 rial sebuah dan
harus menjamu jamaah tak kurang dari 300 rial tiap
orang.Belumsewa kendaraan dan keperluan lain. Pendeknya, kalau
keluhan syekh yang sudah tiga keturunan maupun para syekh lain
sampai meng gema ke tanah air, bisa-bisa ONH tak bisa
dipertahankan seperti tarif tahun ini--Rp 1,5 juta lebih. Jadi,
diam-diam sajalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini