Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Nasib Tak Semanis Tebu

Penduduk desa rojopolo turun temurun menjadi kuli pabrik gula (jatiroto), nenek moyang mereka datang menebang hutan untuk mendirikan pabrik gula jatiroto & sampai kini nasib keturunan tak berubah.(ds)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Nasib Tak Semanis Tebu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
NASIB buruh kecil Pabrik Gula Jatiroto di Kabupaten Lumajang (Ja-Tim) selama puluhan tahun tak banyak berubah. Turun-temurun7 jumlah mereka kini sekitar 29.000 jiwa, ratarata keluarga tinggal di gubuk sempit di Kampung Rojopolo. Mereka tak punya keahlian lain kecuali menanam, menebang dan membersihkan kebun tebu. Mereka merupakan generasi ketiga buruh-buruh yang berdatangan dari berbagai kawasan di Jawa Tengah dan Jawa Timur di awal abad ke-19. Nenek moyang mereka datang menebas hutan bukan atas kemauan sendiri. Tapi dikerahkan Pemerintah Hindia Belanda. "Kami dikumpulkan dalam satu rumah besar beratap kajang, yaitu atap dari anyaman daun kelapa," tutur H. Djamaluddin Malik, 54 tahun, mengenang cerita embahnya, H. Hasan Ali. Hasan Ali pada 1901 diseret Belanda dari Bojonegoro, 350 km sebelah utara Jatiroto. Selama beberapa tahun, sebelum pabrik berproduksi, Hasan Ali dkk. diizinkan bertanam padi, jagung dan palawija di tanah hutan yang barusan dibabat. Setelah roda pabrik mulai berputar, sekitar 1908, para buruh mendapat perumahan kecil dan resmilah mereka menjadi buruh pabrik. Yang sedikit punya kemampuan diangkat jadi juru tulis atau mandor Selebihnya buruh kasar. Sebagai imbalan, selain menerima upah, mereka boleh menggarap tanah selain (yang tidak ditanami tebu), ditambah pinjaman 2 ekor sapi untuk membajak. Mandor dan juru tulis mendapat 3 ha (untuk ditanami padi) sedang buruh biasa 0,1 ha (untuk jagung). Bila panen, mereka harus menyetor 1/3 hasilnya ke pabrik. Romusha Meskipun hanya penggarap mereka, boleh dikata merupakan golongan elite di Jatiroto. "Soalnya mereka lebih mampu dibandingkan penduduk di luar desa," kata H. Basyuni, 50 tahun, bekas penghuni rumah kajang Seperti halnya Basyuni, kini sebagian besar penduduk yang mampu di sekitar Jatiroto memang keturunan para mandor atau juru tulis. Mereka keluar dari perkampungan, lantas membeli sawah di sekitar perkebunan, dan menetap di situ. Yang masih tinggal di Rojopolo hingga sekarang adalah para buruh kecilyang tetap saja bekerja sebagai kuli pabrik. Nasib mereka merosot dari tahun ke tahun. Di zaman penjajahan Belanda, mereka masih mendapat imbalan atas tanaman tebu mereka. Kini mereka tak lagi terikat oleh pabrik. Artinya, mereka boleh bekerja untuk pabrik, boleh juga tidak. Pihak pabrik pun tidak lagi menyediakan tanah sela (1973) meskipun mereka masih tinggal di perkampungan. Maka mulailah tingkat kehidupan mereka memudar. Apalagi setelah Pabrik Gula Jatiroto dinasionalisasi pada tahun 60-an. "Sekarang penduduk Rojopolo termasuk yang miskin di desa ini," kata H. Djamaluddin Malik, eks penghuni persil yang kini jadi Kepala Desa Rojopolo. Penghasilan mereka rata-rata berkisar antara Rp 250-Rp 400 sehari. Kalau pabrik lagi tidak giling, pada Februari dan Maret, buruh-buruh itu pun mulai melilitkan pinggangnya dengan utang. Begitu seperti dialami Munadji alias Ramelan, 56 tahun, ayah dari 9 anak. Untunglah Munadji masih bisa bertukang. Dari penghasilannya sebagai tukang itulah ia menyekolahkan anakanaknya. Ada anaknya, tamatan SD, yang kini sudah bekerja di luar desa. Tapi pondoknya yang masih saja berukuran 3 x 9 meter itu kini penuh sesak dihuni anak dan cucunya. Nasib Dirah alias Kenek, 60 tahun, setali tiga uang. Orang tua ini sudah 37 tahun tinggal di Rojopolo la melarikan diri dari Sampang (Madura), karena diuber Jepang untuk dijadikan tenaga kerja paksa atau romusha. Ketika itu sudah ada saudaranya yang tinggal di Rojopolo. Dulu, ketika pabrik masih memberi kesempatan pada Dirah bertanam jagung di tanah sela seluas 0,1 ha, lumayanlah. "Kalau badan sakit ya masih bisa makan dari jagung simpanan," katanya. Tapi sekarang? "Kalau tidak ada yang kasih utang ya tidak makan," tambahnya memelas Keempat anaknya meneruskan nasib sebagai buruh pabrik. Satu-satunya harapan sisa-sisa keturunan para kuli itu ialah: tidak digusur dari kampung persil. Sebab memang tinggal itulah sandaran hidup mereka. Tak seorang pun tahu sampai kapan bisa tinggal di sana. Kelak, kalau pabrik memperluas areal tanaman tebu, ya . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus