BEKAS Menpen dan Dubes RI di Spanyol, Marsekal (purnawirawan)
Boediardjo kini pulang ke kampungnya, Desa Tingal, sekitar 2 km
dari Candi Borobudur. Ia buka praktek. Praktek apa? "Saya
menampung segala macam keluhan dan kegelisahan rakyat berkenaan
dengan proyek Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan," kata
Boediardjo.
Sebagai pengelola proyek itu, PT (Persero) Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan (TWCBP) telah dibentuk pemerintah. Dan
Boediardjo menjadi direktur utamanya.
Suatu Jumat malam, datang ke rumahnya seorang juru potret
amatir. Mewakili Bina Wisata, organisasi pemotret di candi itu,
ia meminta agar tenaga mereka tetap ditampung setelah Borobudur
dikelola PT TWCBP. Tentu saja Boediardjo mengabulkannya, malah
ia meminta bantuan juru potret itu mendokumentasikan penggusuran
rumah rakyat nantinya.
Tapi kemudian 5 pemuda Ngaran dan Kenayan mengancam si juru
potret. Ia segera meminta perlindungan Koramil. Ternyata ia
disangka mendukung gagasan Taman Wisata itu. Padahal sang
pemotret tidak mendukung siapa-siapa.
Ini adalah satu dari sekian kejadian yang sepele, tapi cukup
memanaskan situasi masyarakat sekitar Borobudur. Lurah
Borobudur, Sarwoto, mengakui daerahnya begitu "panas belakangan
ini," terutama Dukuh Ngaran dan Kenayan. "Saya sampai rakut
melakukan pendekatan. Situasi agak gawat," kata Sarwoto pekan
lalu.
Dan Ramil Kec. Borobudur, Sersan Mayor Dumadi sependapat. "Soal
proyek Taman Wisata itu, soal hidup matinya rakyat Ngaran dan
Kenayan," katanya.
Berpenduduk padat, dua dukuh tadi akan ditelan lenyap oleh taman
wisata yang direncanakan seluas 85 ha. Tujuan proyek ini ialah
melestarikan Borobudur.
Candi Borobudur -- diperkirakan selesai dipugar akhir 1982 --
"dengan rencana pemerintah membuat taman wisata itu,
mudah-mudahan masih bisa dinikmati 1000 tahun lagi," kata
Boediardjo. Tapi Aggi Tjetje, Ketua Umum Musyawarah Kekeluargaan
Budhis Seluruh Indonesia, berkata "Kami menentang keras
Borobudur dijadikan taman wisata." Bila dikomersialkannya
Borobudur sebagai sarana wisata, katanya lagi, "jangan-jangan
upacara agama seperti Waisak dan Ashada tak boleh lagi di sana."
Ia curiga, seperti masyarakat setempat yang gelisah, justru
karena kehadiran PT itu.
"Rencana yang terperinci sedang digarap oleh PT ini," sebut
Soeparto, Direktur Bidang Teknik PT TWCBP kenada TEMPO. Rencana
itu diduga akan selesai dalam waktu 1« tahun. "Pelaksanaannya
tentunya setelah semua (penggusuran beres dulu," tandas
Boediardjo.
Taman wisata ini, menurut rencana, selesai dalam waktu 10 tahun,
dan akan menelan biaya Rp 15 milyar (untuk Borobudur dan
Prambanan). Ini "jelas untuk menjaga lingkungan candi supaya
didapat iklim sejarah, iklim kebudayaan," tambah Soeparto. Jadi,
"kita ingin kembalikan keaslian Borobudur, " kata Boediardjo.
Pihak perencana membayangkan bahwa arus wisata tidak terus
menuju ujung tombak candi, tapi menyebar dulu di taman. "Maka
raman bisa mencari uang untuk memelihara candi," ujar Boediardjo
lagi.
Seorang penduduk Janan, ketika bertemu muka dengan Boediardjo,
bertanya "Apakah taman wisata itu berbentuk taman bunga? Adakah
fasilitas untuk ibadah?"
Boediardjo menjelaskan, taman itu berbentuk seperti taman
umumnya. Di situ diusahakan tumbuh banyak pohon tradisional,
yang biasanya rindang di sekitar candi, seperti pohon Bodhi yang
punya nilai agama.
Tempat ibadah, kata Boediardjo, pasti akan disediakan dalam
bentuk Musolla, bukan masjid atau surau atau langgar. Musolla
ini konon nantinya tidak menyolok.
Dan menurut Soeparto, di taman itu nantinya ada tempat parkir,
pusat informasi, laboratorium untuk batu candi, tempat seminar
tapi khusus menyangkut kebudayaan dan kepurbakalaan. Juga akan
disediakan beberapa kios untuk hasil kerajinan rakyat.
Mungkinkah taman itu digunakan untuk tempat pacaran? Boediardjo
menjawab pacaran tidak hanya di taman, tapi di mana-mana bisa.
"Yang jelas di dalam taman nanti tidak ada penginapan, dan pada
malam hari taman ditutup."
Untuk itu sedikitnya 350 keluarga di Ngaran Krajan dan Kenayan
harus indah. Ditambah lagi 1 keluarga di Dukuh Sebrangrowo dan
6 keluarga di Gopalan akan tergusur. Juga akan lenyap, menurut
Burah Sarwoto, 2 masjid 2 langgar, 1 TK, 3 SD, 2 SMP, 1 SMA
dan 1 SPG dan 2 pasar -- selain perumahan.
Rencana itu ternyata tidak selancar yang diharapkan.
Tak Akan Terulang
Menurut Dumadi, sersan mayor itu, rakyat desa sudah kapok dengan
praktek penggusuran selama ini. Sering berkedok untuk
kepentingan pemerintah, tapi pihak swasta ternyata kemudian
menguasai hasil penggusuran. Tahun 1972/1973 misalnya, dengan
alasan pemerintah daerah akan mendirikan motel, tanah penduduk
seluas 1 hektar di Bukit Dagi, sisi utara candi, harus
dikosongkan. Rakyat hanya menerima ganti rugi Rp 125 untuk
bagian muka dan Rp 60 per mÿFD untuk belakang. Padahal harga umum
waktu itu sudah sepuluh kali lipat. Tanah yang dilepas penduduk
dengan berat hati itu ternyata dipakai oleh Hotel Ambarukmo
untuk membuka usaha restoran yang dikelola oleh PT Pura Bukit
Dagi. Dan bukit itu sering dijadikan arena motorcross.
Di selatan Candi Borobudur -- juga dengan dalih untuk pemerintah
-- tanah milik rakyat pernah dibebaskan. Sekarang di situ
berdiri penginapan dan restoran milik swasta.
Penduduk yang dulunya punya rumah dan tanah, sekarang tidak
punya apa-apa," kata Dumadi. Dengan pengalaman itu, penduduk
Borobodur pantas emoh dipindahkan.
Boediardjo mengakui proyek lagi meninggalkan kesan yang tidak
baik. "Praktek Dagi tidak akan terulang, malah Dagi akan kita
beli," katanya.
"Kami tetap bertahan jangan sampai digusur," ujar Muhdi (60
tahun), penduduk Ngaran. Kasus ini masih ditangani Tim DPRD
Ja-Teng bersama Pemda Ja-Teng. Belum pasti, siapa yang kalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini