Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Penghuni pasar seni

Seniman-seniman di pasar seni ancol, berdagang dan berkarya barang-barang seni. mereka dilarang malas-malasan, membawa pacar nginap & berambut gondrong. (sd)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASAR Seni di bilangan Taman Impian Jaya Ancol tak terasa telah berusia 6 tahun. Kompleks yang didirikan Februari 1975 itu, kini menjadi sebuah model yang sering ditontonkan kepada wisata asing, sebagai sebuah kekayaan ibukota yang orisinal, sebagaimana juga TIM. Unik, didukung oleh biaya besar dan memiliki idealisme untuk mengawinkan seniman dengan masyarakat banyak. Dan tampaknya cukup berhasil. Bermula para seniman maupun pengrajin di sana tercampak dekat pantai, di seberang tempat pertunjukan Lumba-Lumba, di bawah lindungan gubuk-gubuk tidak permanen. Sejak 1978 menetap di sebelah Drive In, dengan bangunan-bangunan menarik, pepohonan yang rancak dan kebersihan yang terpuji. Penghuninya adalah para pelukis, pengrajin, pematung, kios-kios barang souvenir dan tukang jual makanan, mulai pecel sampai hotdog. Malam hari ditambah dengan acara kesenian berupa lawak, musik jazz sampai keroncong dan kelenengan hingga subuh. Menyeret, menampung, membuat para seniman yang suka hura-hura menjadi "tertib", merupakan kerja tersendiri. Sebaliknya bagi para seniman itu, proses menjinakkan diri dengan beberapa pegangan pokok, seperti tak boleh berambut gondrong, merupakan peperangan batin yang unik. Banyak di antaranya yang tak tahan, kemudian angkat pantat tapi tak sedikit yang bertahan selama 6 tahun dengan segala suka maupun duka. "Fasilitas di sini cukup, lebih dari cukup," kata RW Mulyadi, pelukis usia 33 tahun jebolan LPKJ. Di samping melukis, ia juga main drama. Belum lama ini ia menjadi pemenang kedua kontes merias muka lucu yang diselenggarakan dalam rentetan ulang tahun Pasar Seni. Kios yang ditempatinya pindah-pindah. Bukan karena orangnya mudah bosan tapi karena ini memang salah satu taktik Pasar Seni untuk menyegarkan wajah. "Sampai soal promosi kami diperhatikan, sehingga kami merasa tertolong," kata Mulyadi memuji kandangnya. Potret Silhuet Pasar Seni punya banyak ketentuan ketat. Misalnya para penghuni dilarang malas-malasan, membawa pacar, keluarga, atau istri menginap di kios. Bahkan diharapkan semua berpakaian sopan. Tidak boleh main catur dan sebagainya, karena yang terpenting adalah menunjukan aktivitas kesenian menurut profesinya. "Tapi saya tidak merasa terganggu oleh segala ketentuan itu, lagi pula tak mengganggu kreativitas saya," tambah Mulyadi yang biasa disebut Yadi oleh teman-teman dekatnya. Ketika mulai menjadi warga "pasar" itu, Yadi membuat barang-barang sovenir kecil. Kemudian dari seorang kawannya, ia mendengar banyak orang Afrika menjual potret-potret silhuet di sepanjang kaki lima Kota Paris, Prancis. Artinya setiap pemesan bisa dibuatkan gambar silhuetnya dengan memakai gunting dan kertas hitam. Cerita itu ditiru Yadi. Waktu itu ia menjadi orang pertama di Pasar Seni yang menjual potret silhuet dengan tarif Rp 750. Belakangan melonjak jadi Rp 3.500. "Tapi kerja itu sekarang sudah saya hentikan, sejak 1979 yang lalu," ucapnya. Di samping terus melukis, Yadi menekuni kerajinan kulit. Dengan beberapa orang tukangnya, ia membuat tas, dompet, gantungan kunci dan sebagainya dari kulit. Empat kali ia pindah kios dan mendapat lokasi yang kadang kurang menguntungkan. Karena itu persoalan yang dihadapinya adalah sepi pengunjung yang sering datang beruntun. Suatu saat ia terlempar ke daerah baru (Blok C) yang sepi pembeli. Akibatnya Yadi menunggak sewa kios sampai beberapa ratusan ribu. Untuk 2 buah kios ia harus membayar sewa Rp 80.000 sebulan. Status Mulyadi adalah seniman dan pengusaha. Status lain yang ada dalam urusan kepenghunian Pasar Seni adalah pengrajin. "Saya tak memilih status pengrajin, karena nantinya akan terbatas. Sebagai pengrajin kulit misalnya, saya akan dibatasi hanya membikin kerajinan dari kulit tok," kata Yadi. Sekarang Yadi yang hanya menempati satu kios di Blok B 24, juga mengembangkan kerajinan etsa di atas kuningan, berwujud gantungan kunci dan plaket. Di blok ini pengunjung ramai, sehingga segala tunggakan sewa kios bisa ia lunasi. Ia tak mau membocorkan berapa pendapatan totalnya sebulan. "Saya pernah dapat ratusan ribu rupiah," katanya. Yang jelas banyak order datang. Apalagi kini ia tidak hanya menunggu, tapi juga memasarkan barangnya ke luar Pasar Seni. Walhasil, ia memang sudah dilahirkan oleh Pasar Seni jadi pengusaha. "Begitulah, kalau jadi pelukis nggak mungkin seperti ini. Yang datang berbelanja ke mari juga bukan orang yang punya apresiasi seni tinggi," katanya. Sejak 2 bulan yang lalu, ada usaha untuk melindungi seniman pengrajin Pasar Seni. "Ada tawaran untuk memperoleh kredit dari satu bank, lewar pengelola yang diumumkan kepada kami," kata Yadi. KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) itu plafonnya Rp 10 juta. Beberapa orang telah memanfaatkannya. "Saya cuma mengajukan kredit Rp 500 ribu, tapi sangat berarti bagi saya," katanya lebih lanjut. Amrus Natalsya Amrus Natalsya, pematung terkenal, juga menghuni Pasar Seni. Kini ia sedang kebanjiran order sepasang patung marmer ukuran besar, 3 patung kayu lebih dari satu meter tingginya, serta 2 patung semen ukuran 2,5 meter. "Berdasarkan pengalaman, kalau ada order memang beruntun," ujarnya di kios Blok C. Bekas pimpinan Sanggar Bumi Tarung, Yogya, ini bergabung di Pasar Seni sejak 1978. Sebelumnya ia berkarya di rumah. Waktu itu katanya, cara kerjanya sangat melelahkan, karena selesai satu lukisan, harus memburu-buru pembeli. Tenaga dan waktu banyak terbuang karena itu. Di Pasar Seni lain. Setiap hari rasanya seperti pameran, jadi bukan hanya relasi dan tetangga saja yang melihat karyanya. "Ini penting bagi seniman seperti saya, meskipun tidak membeli, saya bisa mendengar langsung pendapat dan apresiasi orang banyak," lanjutnya. Berbagai peraturan yang ada di Pasar Seni bagi Amrus adalah semacam usaha untuk, "menempatkan seniman sebagai anggota masyarakat biasa." Peraturan itu juga dibuat berdasarkan persetujuan bersama. "Biar jangan ada image bahwa seniman tidak bisa menjaga norma-norma umum yang berlaku di masyarakat," katanya dengan serius. Semula diharapkan perbandingan antara seniman (termasuk pengrajin) dengan pengusaha (pedagang) di Pasar Seni adalah 3:1. Tapi menurut pihak pengelola bila perbandingan itu diterapkan, sewa kios seniman harus dinaikkan Rp 25 ribu per kios tiap bulan. Sebab biaya pengelolaan Pasar Seni antara 6-7 juta per bulan. Dari para seniman hanya terkumpul Rp 1,6 juta, selebihnya digaet dari kantung pedagang. Akibatnya kini memang banyak kios untuk seniman dimanfaatkan oleh pedagang. "Karena itu kita harus menerima kenyataan tersebut," kata Amrus. Ada perasaan dari beberapa seniman, menghuni Pasar Seni tak ubahnya seperti satwa di Kebun Binatang Ragunan jadi tontonan orang. Amrus beranggapan lain. Justru karena merupakan tontonan tetap, akan ada proses pameran terus menerus. "Bahkan lebih human dibandingkan dengan sebuah galeri. Di sini karya yang konyol juga bisa dilihat. Di galeri yang muncul yang terpilih baik saja," katanya. Sebagaimana juga Yadi, Amrus mengaku tidak lepas kontak dengan dunia luar. Tahun lalu misalnya ia sempat menyelenggarakan pameran 'lukisan kayu" -- salah satu penemuannya di Balai Budaya. "Dalam pameran itu hampir 40 buah lukisan saya laku, antara Rp 60 ribu sampai Rp 800 ribu per buah," katanya. Dua tahun pertama di Pasar Seni, memang dimulainya dengan suasana sepi pembeli. Tapi ia menganggapnya sebagai masa tanam. Waktu itu payah-payah membangun, kini sudah mulai memetik hasil. Istri dan 7 orang anaknya yang tinggal di Grogol (Jakarta Barat), ikut menikmati jerih payah itu. Seminggu sekali ia pulang. Satu kali sebulan, kadang-kadang mengadakan acara rekreasi dengan keluarga. Kalau ia repot, istri dan anak-anaknya datang ke Pasar Seni. "Kalau saya sudah kuat seperti Affandi atau populer seperti Amri Yahya, mungkin saya tidak di sini lagi," kata Amrus. Namun ia sudah dapat membayangkan, betapa berat perasaannya meninggalkan kandang yang sekarang dihuninya. Kenapa? "Kalau saya pergi dari sini, mungkin saya tak akan bisa kontak lagi dengan banyak orang, seperti sekarang," gumamnya. Indros BS, jebolan ASRI, pelukis anggota Sanggar Bambu 59, juga warga Pasar Seni. Ia mengusahakan Bengkel Keramik dan patung. Bengkel keramiknya di Blok 55 disewanya Rp 95 ribu per bulan. Tiap bulan baru berhasil meraih sekitar Rp 300 ribu. "Jadi untuk sekios saja megap-megap," katanya. Ia baru bisa mengatakan untung kalau omset yang dicapainya setiap bulan sampai Rp 1 juta. Unruk membiayai bengkelnya, Indros memanfaatkan kios kerajinannya di Blok C 71 yang mengerjakan barang-barang souvenir dan sudah mencapai omzet Rp 600 ribu per bulan. "Bengkel akan saya pertahankan sampai pertengahan tahun ini. Kalau tetap begini keadaannya, saya akan kontak dengan sponsor lain," katanya. Sebagaimana juga Amrus, Indros menganggap Pasar Seni banyak membantu penjualan karya-karyanya. Dibandingkan dengan Pasar Seni gaya gubuk dulu, kini ia merasa banyak kemajuan. Selain segi fisiknya. Segi pengelolaannya juga lebih mantap." ujarnya. Tetapi ia tidak hanya memuji. "Kepuasan-kepuasaan batin seharusnya bisa digarap lebih baik," katanya lebih lanjut. Ia menunjuk ketidakjelasan perbedaan antara acara-acara yang bersifat semata-mata hiburan dan yang mengandung nilai apresiasi kesenian. Mengenai segala peraturan yang ada, ia melihat tidak semuanya dipatuhi. Misalnya ketentuan yang mengharuskan para pelukis potret mengadakan pameran bersama tiap tahun, sampai sekarang tak terlaksana. Ia juga mengeluh banyak seniman yang masuk ke Pasar Seni langsung hanya meniru apa yang sudah ada di situ. Jadi tidak memberikan kesegaran. "Selama ini kalau yang hendak masuk ke mari pengrajin, yang dilihat adalah mutu karyanya. Yang baik, masuk," kata Indros. Ia sendiri mengaku, selama di sar Seni ia menjadi kelihatan lebih lamban, karena tenaganya dikerahkan untuk mencari yang baru terus-menerus. Akibatnya belum sempat menonjol dalam satu hal. Mbah Broto Subroto TH alias Mbah Broto juga sudah menghuni Pasar Seni selama 6 tahun. Orang tua ini (60 tahun) sempat menggegerkan karena pernah mengaku bertemu dengan Mariam -- wanita gaib penghuni Ancol. Ia sempat melukisnya pada 1978. Lukisan tersebut dipamerkan di Pasar Seni dan dapat kunjungan melimpah. Kejadian yang sama berulang pada 1979. Lukisan yang dibuatnya kemudian disimpan di rumah seorang rekan, karena yang boleh dilihat orang banyak hanya reporduksinya. "Mariam bilang akan reinkarnasi lagi tahun 1984," kata Mbah Broto. Lelaki tua yang semula adalah seorang pembuat relief ini, sekarang menyebut dirinya pelukis potret. Setiap bulan ia mendapat pesanan. Lukisannya bergerak antara Rp 50 ribu sampai Rp 300 ribu. Yang unik, dia mengaku mampu melukis potret orang yang sudah meninggal, walaupun tak ada potretnya. Asal diberitahu nama, tanggal kelahiran, segenggam tanah kubur dan jenis kelamin yang bersangkutan. "Tapi tidak bisa ditentukan kapan selesainya. Rata-rata sebulan," kata Mbah Broto. Orang tua ini menghidupi 2 istri dan 12 orang anak. Secara bergilir dan teratur ia mengunjungi kedua istrinya yang tinggal di Kuningan (Ja-Bar) dan di Karet Belakang (Jakarta Selatan). Penghasilannya rata-rata sebulan Rp 100 ribu. "Ini sebenarnya nggak cukup untuk hidup keluarga saya, tapi ya kok bisa saja hidup sampai sekarang -- ini yang tidak saya tahu" katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus