Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Nun di Irian Jaya, harga-harga serba...

Harga barang kebutuhan sehari-hari & 9 bahan pokok pangan di ir-ja mahal. karena pengangkutan sulit. penduduk asli tidak terpengaruh. tim pengendali harga bertindak setelah gejala kenaikan nampak. (dh)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIBANDING daerah-daerah lainnya di Indonesia, harga-harga di Jayapura lebih mahal. Begitu pula umumnya di ibukota kabupaten di seluruh Irian Jaya. Bahkan lebih mahal dibanding harga-harga di Jakarta. Tak terkecuali harga sembilan bahan pokok, kebutuhan sehari-hari. Menurut catatan Kantor Sensus dan Statistik Ir-Ja, sampai minggu ketiga bulan ini harga sebutir telur ayam di sana antara Rp 125 Rp 150. Itu berarti sudah dua kali lipat lebih dibanding harga sebutir telur di Jakarta yang rata-rata hanya Rp 60 sebutir. Dan harga semahal itu tak kunjung berubah selama hampir setahun ini. Karena itu seorang staf di Kantor Sensus & Statistik Ir-Ja menyebutnya sebagai "sudah stabil". Sebab menjelang hari-hari raya, biasanya melonjak sampai Rp 20 sebutir. Harga beras lokal (eks Ujungpandang) juga sangat mahal, Rp 450 seliter, tiga kali lipat dibanding harga beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta. Di Cipinang, harga beras yang hampir sejenis dengan itu pekan lalu tercatat Rp 150 seliter. Bagi penduduk asli Ir-Ja, betapa tinggi pun harga beras, bukanlah soal. Sebab makanan pokok mereka bukan beras, melainkan sagu atau ubi. Dan makanan pokok seperti itu bisa mereka usahakan scndiri secara berkebun. Hasilnya pun lumayan, bahkan ada di antara mereka yang menjualnya di pasar. Di Atas HPS Di Pasar Sentral dan Pasar Ampera di Jayapura, banyak dijumpai penduduk asli yang berjualan pisang, ubi, sayur bayam, kangkung atau sawi, hasil kebun mereka sendiri. Tapi dagangan mereka biasanya jatuh ke tangan tengkulak asal Ujungpandang. Pedagang Ujungpandang juga umumnya menguasai perdagangan barang-barang kelontong dan kebutuhan dapur. Mahalnya harga barang-barang di Ir-Ja sempat mengejutkan Menmud Koperasi Bustanil Arifin ketika berkunjun ke sana baru-baru ini. Nampaknya ia berpendapat, kenaikan itu lantaran. Sulitnya pengangkutan. Karena itu ia berjanji akan memberi subsidi pengangkutan. Tapi nlenurut Kepala Bidang Perdagangan Luarnegeri Kanwil Perdagangan Ir-Ja Aruan, "masalah angkutan hanya salah satu penyebab." Penyebab lain, kata Aruan, misalnya keengganan para pedagang membuat stock barang di gudang. Tapi hal ini disebabkan fasilitas gudang di Ir-Ja memang terbatas. Sehingga kalau barang yang dipajang habis, mereka terpaksa menunggu kiriman baru dari luar Ir-Ja. Sebab itulah, tambah Aruan, habisnya persediaan itu, membikin harga barang melonjak. Tapi seringkali pedagang sendiri sengaja "melenyapkan" barang dari tokonya. Barang yang hilang dari pasaran itu biasanya akan muncul kembali dengan harga baru naik 15-25%. Mengenai kosongnya persediaan semen sejak Februari hingga bulan ini, menurut Ka Kanwil Perdagangan Ir-Ja, Drs. M. Gultom, "bukan permainan asosiasi penyalur semen." Selama ini di Ir-Ja harga semen sampai di tangan konsumen lebih tinggi dari HPS (harga patokan setempat). Menurut Gultom, hal itu merupakan kebijaksanaan Menteri Perdagangan. "HPS-nya memang Rp 2.885, tapi harga di pasaran Jayapura Rp 3.200 per zak. Itu sudah disepakati antara pihak Departemen Perdagangan dan penyalur semen," kata Gultom. Di Jayapura bukannya tak ada tim pengendali harga. Tim ini terdiri atas Dinas Perekonomian, Dinas Perdagangan, Dolog, Kantor Statistik dan Laksusda. Tapi tim ini, menurut pengamatan beberapa pedagang di Jayapura, biasanya baru bertindak kalau barang-barang mulai hilang dari pasaran -- dan tidak melakukan pencegahan sebelumnya. Tingkat hidup yang mahal seperti itu tentu saja menggencet pegawai negeri golongan rendah yang bergaji pas-pasan. Misalnya Antonius Laly, 28 tahun, asal Kampung Ayapo, Sentani. Karena kantornya, di salah satu instansi di lingkungan Pemda Ir-Ja, tidak menyediakan angkutan, ia harus naik taksi dari Sentani ke Jayapura Pulang-pergi, rata-rata Rp 800. "Itulah sebabnya gaji yang saya terima, tidak cukup untuk sebulan," kata Laly kepada Dalhar T. Umar dari TEMPO. Karena itu ia memutuskan membolos 15 hari setiap bulan untuk mengerjakan kebunnya. Dari hasil kebunnya, Laly mendapat tambahan penghasilan Rp 16 ribu sebulan. "Nah, dengan begitu baru cukuplah keperluan dapur dan sekedar pengganti ongkos taksi ke kantor," katanya. Karena itu pegawai kecil di kantor-kantor instansi pemerintah, seperti Laly tak berani berjalan-jalan di Jalan Ahmad Yani, pusat pertokoan di Jayapura. Di Jalan Yani, juga di Jalan Irian, banyak dijumpai toko-toko memamerkan segala macam barang. Mulai dari kebutuhan dapur, kaset, kamera, televisi sampai piano dan organ. Namun di depan toko-toko yang menjual barang-barang mewah setiap malam mobil berderet parkir. Banyak diantaranya yang berplat merah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus