DIBANDING daerah-daerah lainnya di Indonesia, harga-harga di
Jayapura lebih mahal. Begitu pula umumnya di ibukota kabupaten
di seluruh Irian Jaya. Bahkan lebih mahal dibanding harga-harga
di Jakarta. Tak terkecuali harga sembilan bahan pokok, kebutuhan
sehari-hari. Menurut catatan Kantor Sensus dan Statistik Ir-Ja,
sampai minggu ketiga bulan ini harga sebutir telur ayam di sana
antara Rp 125 Rp 150.
Itu berarti sudah dua kali lipat lebih dibanding harga sebutir
telur di Jakarta yang rata-rata hanya Rp 60 sebutir. Dan harga
semahal itu tak kunjung berubah selama hampir setahun ini.
Karena itu seorang staf di Kantor Sensus & Statistik Ir-Ja
menyebutnya sebagai "sudah stabil". Sebab menjelang hari-hari
raya, biasanya melonjak sampai Rp 20 sebutir.
Harga beras lokal (eks Ujungpandang) juga sangat mahal, Rp 450
seliter, tiga kali lipat dibanding harga beras di Pasar Induk
Cipinang, Jakarta. Di Cipinang, harga beras yang hampir sejenis
dengan itu pekan lalu tercatat Rp 150 seliter.
Bagi penduduk asli Ir-Ja, betapa tinggi pun harga beras,
bukanlah soal. Sebab makanan pokok mereka bukan beras, melainkan
sagu atau ubi. Dan makanan pokok seperti itu bisa mereka
usahakan scndiri secara berkebun. Hasilnya pun lumayan, bahkan
ada di antara mereka yang menjualnya di pasar.
Di Atas HPS
Di Pasar Sentral dan Pasar Ampera di Jayapura, banyak dijumpai
penduduk asli yang berjualan pisang, ubi, sayur bayam, kangkung
atau sawi, hasil kebun mereka sendiri. Tapi dagangan mereka
biasanya jatuh ke tangan tengkulak asal Ujungpandang. Pedagang
Ujungpandang juga umumnya menguasai perdagangan barang-barang
kelontong dan kebutuhan dapur.
Mahalnya harga barang-barang di Ir-Ja sempat mengejutkan Menmud
Koperasi Bustanil Arifin ketika berkunjun ke sana baru-baru
ini. Nampaknya ia berpendapat, kenaikan itu lantaran. Sulitnya
pengangkutan. Karena itu ia berjanji akan memberi subsidi
pengangkutan. Tapi nlenurut Kepala Bidang Perdagangan Luarnegeri
Kanwil Perdagangan Ir-Ja Aruan, "masalah angkutan hanya salah
satu penyebab."
Penyebab lain, kata Aruan, misalnya keengganan para pedagang
membuat stock barang di gudang. Tapi hal ini disebabkan
fasilitas gudang di Ir-Ja memang terbatas. Sehingga kalau
barang yang dipajang habis, mereka terpaksa menunggu kiriman
baru dari luar Ir-Ja. Sebab itulah, tambah Aruan, habisnya
persediaan itu, membikin harga barang melonjak.
Tapi seringkali pedagang sendiri sengaja "melenyapkan" barang
dari tokonya. Barang yang hilang dari pasaran itu biasanya akan
muncul kembali dengan harga baru naik 15-25%. Mengenai kosongnya
persediaan semen sejak Februari hingga bulan ini, menurut Ka
Kanwil Perdagangan Ir-Ja, Drs. M. Gultom, "bukan permainan
asosiasi penyalur semen."
Selama ini di Ir-Ja harga semen sampai di tangan konsumen lebih
tinggi dari HPS (harga patokan setempat). Menurut Gultom, hal
itu merupakan kebijaksanaan Menteri Perdagangan. "HPS-nya memang
Rp 2.885, tapi harga di pasaran Jayapura Rp 3.200 per zak. Itu
sudah disepakati antara pihak Departemen Perdagangan dan
penyalur semen," kata Gultom.
Di Jayapura bukannya tak ada tim pengendali harga. Tim ini
terdiri atas Dinas Perekonomian, Dinas Perdagangan, Dolog,
Kantor Statistik dan Laksusda. Tapi tim ini, menurut pengamatan
beberapa pedagang di Jayapura, biasanya baru bertindak kalau
barang-barang mulai hilang dari pasaran -- dan tidak melakukan
pencegahan sebelumnya.
Tingkat hidup yang mahal seperti itu tentu saja menggencet
pegawai negeri golongan rendah yang bergaji pas-pasan. Misalnya
Antonius Laly, 28 tahun, asal Kampung Ayapo, Sentani. Karena
kantornya, di salah satu instansi di lingkungan Pemda Ir-Ja,
tidak menyediakan angkutan, ia harus naik taksi dari Sentani ke
Jayapura Pulang-pergi, rata-rata Rp 800. "Itulah sebabnya
gaji yang saya terima, tidak cukup untuk sebulan," kata Laly
kepada Dalhar T. Umar dari TEMPO. Karena itu ia memutuskan
membolos 15 hari setiap bulan untuk mengerjakan kebunnya.
Dari hasil kebunnya, Laly mendapat tambahan penghasilan Rp 16
ribu sebulan. "Nah, dengan begitu baru cukuplah keperluan dapur
dan sekedar pengganti ongkos taksi ke kantor," katanya. Karena
itu pegawai kecil di kantor-kantor instansi pemerintah, seperti
Laly tak berani berjalan-jalan di Jalan Ahmad Yani, pusat
pertokoan di Jayapura.
Di Jalan Yani, juga di Jalan Irian, banyak dijumpai toko-toko
memamerkan segala macam barang. Mulai dari kebutuhan dapur,
kaset, kamera, televisi sampai piano dan organ.
Namun di depan toko-toko yang menjual barang-barang mewah setiap
malam mobil berderet parkir. Banyak diantaranya yang berplat
merah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini