Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kekayaan Hayati Kita Menakjubkan

Sebuah buku yang dikeluarkan Conservation International membuktikan keanekaragaman hayati Indonesia kedua terbesar di dunia setelah Brasil. Mampukah negara mengelola karunia ini?

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUMAN di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat. Pepatah kuno ini bisa juga menggambarkan betapa ironisnya kehidupan manusia. Orang telah sampai ke bulan, tapi ribuan spesies hewan dan tumbuhan di bumi sendiri, tak semuanya dikenali. Bahkan, tanpa disadari, manusia telah memusnahkan keanekaragaman makhluk hidup itu untuk kepentingan sesaat bernama ekonomi. Kesadaran tentang betapa kayanya planet hijau bernama bumi inilah yang dicoba dibangun oleh buku Megadiversity: Earth's Biologically Wealthiest Nations, yang peluncurannya dilakukan Desember lalu. Buku setebal 503 halaman yang digarap bersama di bawah koordinasi lembaga Conservation International (CI) itu berhasil memetakan secara rigid kekayaan flora dan fauna bumi dengan basis negara. Dari 17 negara yang diamati (Amerika, Meksiko, Kolombia, Ekuador, Peru, Venezuela, Brasil, Kongo, Afrika Selatan, India, Madagaskar, Malaysia, Indonesia, Cina, Filipina, Papua Nugini, dan Australia), Indonesia menduduki tempat ketiga setelah Brasil dan Kolombia dalam hal keragaman flora dan fauna. Tapi, dalam hal endemisitasnya (jenis spesies yang khas) Indonesia boleh bangga karena menempati posisi teratas. Jika dua tolok ukur ini digabungkan, Indonesia berada di tempat kedua setelah Brasil. Kekayaan itu sungguh luar biasa kalau dibandingkan dengan luas wilayah. Soalnya, dalam hal yang satu ini Indonesia hanya menempati posisi kedelapan, dengan luas yang kurang dari 2 juta kilometer persegi. Bandingkan dengan negara paling luas, yakni Cina, yang luasnya hampir 10 juta kilometer persegi, tapi hanya berada di tempat kedelapan dalam keanekaragaman dan endemisitas. Kalau diperiksa per subkategori, Indonesia juga masih bisa besar hati. Untuk jenis tumbuhan berpembuluh dan hewan bertulang belakang atau vertebrata, misalnya, negeri kita berada pada urutan pertama dengan skor koleksi 19.300 jenis. Jumlah total keanekaragaman hayati mencapai 325.350 jenis flora fauna. Kekayaan ini pun sebenarnya belum tergali semua karena miskinnya database biota yang dimiliki Indonesia. Untuk kategori mamalia, misalnya, Indonesia harus ''kalah" dengan Brasil. ''Padahal pada database tahun 1982 koleksi mamalia Indonesia nomor satu di dunia," kata Jatna Supriatna, Direktur Conservation International Indonesia. Pemetaan keanekaragaman hayati dalam buku Megadiversity ini memang bukan karya yang pertama. Birdlife International, misalnya, pernah melakukannya dalam proyek Endemic Bird Area (EBA) untuk memetakan prioritas konservasi burung-burung endemik. Selain itu WWF juga pernah membuat Conservation Potential Threat Index (CPTI) untuk mengukur potensi ancaman terhadap flora dan fauna. Yang baru dari Megadiversity adalah pendekatan keanekaragaman hayati berbasiskan negara dengan menggabungkan tolok ukur keanekaragaman dan endemisitas. Sebelumnya, pemetaan yang dilakukan CI adalah dengan menggunakan pendekatan hotspot dan wilderness area. Pada hotspot, wilayah tidak dibagi berdasarkan negara melainkan kawasan, dengan tolok ukur endemisitas dan ancaman. Jadi, dunia dibagi menjadi 17 kawasan hotspot, dengan dua di antaranya berada di Indonesia, yakni Wallacea (Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku), dan kawasan Sunda (Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Semenanjung Malaysia). Sedangkan pada wilderness area, dunia dibagi berdasarkan kawasan yang memiliki blok hutan yang sangat luas. Wilayah Indonesia yang masuk kategori ini adalah Irianjaya. Melalui pendekatan Megadiversity, tekanan terhadap pentingnya negara sebagai pengelola lingkungan lebih diutamakan. Dengan kata lain, secara politis negara bertanggung jawab terhadap hidup matinya ribuan spesies yang hidup di negara tersebut. Masalahnya sekarang tentu saja berpulang ke pengelola negara tersebut. Adakah ia serius menjaga kekayaan alam bernama keanekaragaman hayati? Atau adakah kekayaan itu hanya pelengkap hidup manusia yang bisa dimusnahkan kapan saja? Arif Zulkifli, I G.G. Maha S. Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus