Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sisa Dendam Berkarat di Balkan

Menjelang tutup tahun, bentrokan pecah lagi di Kosovo. Penyelesaian konflik tampaknya masih panjang.

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bumi Balkan identik dengan darah. Menjelang tutup tahun, pertempuran pecah lagi di perbatasan. Tentara Pembebasan Kosovo (KLA), yang sedang menyelundupkan senjata, tampaknya tidak siap ketika disergap tentara Serbia. Akibatnya, 34 orang tewas dan sembilan lainnya ditahan. Menurut pemimpin gerilyawan yang menggunakan nama samaran Rakhman, satu dari sembilan gerilyawan yang ditangkap adalah perempun. Gerilyawan Kosovo membalasnya dengan menyergap dan menangkap delapan tentara Serbia. Nun di Pristina, ibu kota Kosovo, juru bicara KLA, Bardhyl Mahmuti, menyatakan delapan tentara Serbia tersebut akan dibebaskan untuk ditukar dengan sembilan orang gerilyawan. Tawaran itu hingga akhir pekan silam belum disetujui oleh pemerintah Yugoslavia. Bahkan Presiden Slobodan Milosevic mengancam akan melakukan penyerangan besar-besaran bila tentaranya tidak segera dibebaskan. Ancaman ini tentu membuat jalan damai semakin berliku. Kondisi ini tak tentu saja membuat pengamat PBB di kawasan ini frustrasi. November tahun lalu, titik terang perdamaian mulai terlihat. Paling tidak optimisme ini muncul dari mediator perundingan, yaitu Richard Holbrooke, utusan khusus Amerika Serikat, dan Christopher Hill, duta besar Amerika Serikat untuk Macedonia. Dua tokoh tersebut pernah memegang peranan penting dalam penandatanganan perdamaian Serbia-Kroasia-Bosnia pada 1995. "Dua pihak telah lelah dengan banyaknya darah yang mengalir," ujar Christopher Hill. Paling tidak, selama tahun 1998, dua ribu orang tewas dan 250 ribu lainnya kehilangan tempat tinggal akibat kekisruhan yang tak habis-habisnya itu. Perdamaian dalam arti sebenarnya masih akan berliku karena permasalahan yang kompleks. Syahdan, tahun 1989, Slobodan Milosevic menghapus status otonomi wilayah Kosovo dengan alasan melindungi 200 ribu etnik Serbia yang menjadi minoritas di antara 1,7 juta warga Albania. Di antara riuh-rendahnya ragam etnik yang hidup di kawasan itu, adalah etnik Serbia dan Albania yang tak putus-putusnya dilanda perselisihan Kosovo yang telah berlangsung berabad lamanya. Dengan bukti-bukti arkeologis dari abad ke-14 hingga 16, baik etnik Serbia maupun Albania mengemukakan klaim masing-masing bahwa dirinyalah yang berhak atas Kosovo karena para nenek moyang adalah penduduk asli wilayah itu. Perang Dunia II kemudian menyuburkan pertentangan ini. Etnik Albania (dan Bosnia), yang berpenduduk mayoritas muslim, dicap sebagai antek musuh. Dendam berkarat etnik Serbia inilah yang dimainkan Milosevic dalam perselisihan sepuluh tahun terakhir di Balkan. Sebetulnya pertikaian wilayah Kosovo sempat terlupakan oleh dunia ketika konflik mulai merebak di wilayah Yugoslavia lainnya. Penyebabnya adalah sosok Ibrahim Rugova. Ketika kebijakan satu partai berakhir, Rugova terpilih sebagai ketua Liga Demokratik Kosovo, partai baru yang tidak beraliran komunis. Setelah korban berjatuhan di Kroasia dan Bosnia, Rugova menolak menjadikan Kosovo sebagai medan perang baru. Rugova lantas bekerja sama dengan beberapa partai lain untuk merintis eksperimen yang terbilang unik. Setelah menyatakan kemerdekaan, mereka membentuk pemerintahan bawah tanah dan pemerintahan di pengasingan yang berbasis di Jerman, Albania, dan Swiss. Tujuannya adalah mengumpulkan dana lewat "pajak" yang dipungut dari komunitas etnik Albania Kosovo di luar negeri. Dana ini dipakai untuk membiayai pendidikan dan pelayanan masyarakat lainnya. Rugova kemudian terpilih sebagai presiden. Perlawanan damai ini ternyata harus membentur batu. Rakyat Albania Kosovo tidak percaya melihat hasil kesepakatan tahun 1995, yang ternyata tidak mengagendakan masalah Kosovo. Rugova, pemimpin flamboyan yang selalu mengenakan syal sutera itu, mulai goyah. Julukan pacifist (suka damai) berubah jadi passivist (si lembek). Dana pun berhenti mengalir. Sejak itu, KLA lahir dan melakukan perlawanan bersenjata. Gerakan inilah yang membuat Yugoslavia memperoleh legitimasi untuk melakukan aksi militernya. Sekalipun Rugova mulai kurang populer, banyak pengamat masih yakin bila berhasil memperoleh kesepakatan dengan Serbia, ia masih akan memperoleh kepercayaan rakyat. Persoalannya, maukah Serbia memberikan tuntutan Rugova yang tidak beranjak dari kemerdekaan Kosovo. Yusi A. Pareanom (sumber: BBC News & Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus