Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Pemimpin Wanita

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat yang mengatakan presiden dan wakil presiden haruslah seorang pria muslim, oleh sebagian kalangan, dinilai sebagai "politisasi agama" dalam rangka menjegal Mega. Namun, menurut pendapat saya, yang dijegal sesungguhnya bukanlah Megawati, melainkan Queen Maker di belakang Mega, juga interested group yang bermain di pelataran PDI Perjuangan.

Sebab, sebagai individu, Megawati sama sekali tidak mengkhawatirkan. Kelompok kepentingan di belakangnyalah yang menjadikan Megawati seperti macan betina, seperti Srikandi.

Kalau saja yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan sebagai presiden dan wakil presiden adalah wanita selain Megawati, misalnya intelektual sekaliber Dr. Sri Muljani Indrawati atau Dr. Dewi Fortuna Anwar, mungkin kontroversi lama tentang boleh-tidaknya seorang wanita menjadi pemimpin nasional tidak akan menghangat seperti saat ini.

Mengenai boleh-tidaknya seorang wanita menjadi pemimpin nasional, para sesepuh NU (K.H. Hasyim Ashari dan K.H. Wahid Hasyim) sejak awal sudah menegaskan keutamaan pria sebagai pemimpin dan cenderung mengharamkan wanita sebagai pemimpin nasional.

Bahkan, Gus Dur sendiri pernah memberikan kata pengantar (baca: dukungan) pada Ensiklopedi Ijmak karya Sa'adi Abu Habib, yang memuat kesepakatan ulama bahwa jabatan khalifah (kepala negara/pemimpin nasional) tidak boleh dipegang oleh wanita. Dengan demikian, di lingkungan NU sejak awal berdirinya, masalah ini sudah final, sebagaimana pernah ditegaskan oleh para sesepuh NU itu.

Tampaknya, tudingan melakukan "politisasi agama" juga layak ditujukan kepada mereka yang mendukung pendapat bahwa wanita boleh menjadi pemimpin nasional. Alasannya, ketika beberapa waktu lalu muncul dukungan terhadap pendapat ini, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sedang akrab-akrabnya dengan Mbak Tutut, yang kala itu diproyeksikan akan menjadi salah satu "pemimpin" kita.

Ketika Soeharto lengser dan peluang Tutut meredup, Gus Dur pun (juga PKB) kemudian kembali akrab dengan Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan. Kemudian marak kembalilah suara "vokal" yang menegaskan bahwa wanita pun boleh saja menjadi pemimpin nasional. Suara vokal itu kemudian mendapat respons dari kalangan yang selama ini tidak membenarkan wanita menjadi pemimpin nasional. Yang kemudian terdengar nyaring adalah bahasa kepentingan, bukan bahasa kebenaran, dan atraksi saling tuding melakukan politisasi agama.

Drs. H. Suratman
Kp. Babakan Cipinang RT 002/004
Cimanggis, Bogor 16953

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus