Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggusur Becak Dari Bumi Betawi

Pemda DKI Jakarta menargetkan penghapusan becak sampai akhir 1990. Pendapat beberapa pihak tentang becak. Kisah becak di Jakarta dari masa ke masa. Tukang becak disalurkan ke berbagai pekerjaan.

3 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERMINAL bis Manggarai, di Jakarta Selatan, pagi Sabtu pekan lalu tampak meriah. Sebuah tenda besar terpasang di sana, melindungi ratusan hadirin dari ancaman hujan. Di situ hadir Gubernur Jakarta Wiyogo Atmodarminto. Lapangan terminal itu dipenuhi oleh 50 mikrolet yang masih baru. Haji Rachmad, seorang bekas juragan becak, menyerahkan sebuah bendera kuning pada Wiyogo. Bendera itu bergambar becak. Lalu Wiyogo membalas memberikan bendera biru, yang bergambar sebuah mikrolet, kepada sang haji. Memang sebuah acara simbolis. Hari itu Gubernur Wiyogo meresmikan pembukaan trayek baru 50 mikrolet tersebut untuk kawasan Jakarta Selatan. Ini adalah pelaksanaan dari program Pemda DKI untuk mengalihkan profesi pengusaha atau tukang becak menjadi pemilik, sopir, dan kernet mikrolet. Buat Gubernur Wiyogo, yang belakangan banyak disorot karena tindakan drastisnya menggusur becak dari Jakarta, acara itu jadi penting buat menjawab suara-suara yang menentangnya. Sekitar dua bulan yang lalu, program yang sama telah dilaksanakan di empat wilayah Ibu Kota lainnya -- Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Timur -- yang masing-masing dapat jatah 100 mikrolet dengan trayek baru. Semua mikrolet baru itu dikelola oleh bekas pemilik dan penarik becak. Sebagai contoh, Basir Haryanto, yang hadir dalam acara itu, adalah bekas pemilik 150 becak. Kini pensiunan letnan satu TNI-AD itu mendapat enam mikrolet dengan cara mencicil. Uang muka tiap mobil Rp 5,5 juta. "Nggak tahu, deh, apa cicilannya nanti bisa dibayar," katanya. Bagi Wiyogo, program itu membuktikan bahwa tindakannya menghapus becak dilakukannya secara konsepsional, tidak asal main hantam kromo. "Kami tidak sekadar menghapus becak. Yang terkait juga diselesaikan sebaik-baiknya," kata Gubernur Wiyogo kepada wartawan TEMPO, Linda Djalil. Artinya, Pemda DKI berusaha menekan sebisa mungkin berbagai dampak penghapusan becak. "Ya tukang becaknya, becaknya sendiri, pemilik, dan konsumennya," tambah Wiyogo. Yang dimaksudkannya adalah pengangguran yang diakibatkan penghapusan becak, pemilik becak yang kehilangan usaha, serta konsumen yang kehilangan angkutan. Maka, sejak program alih profesi tukang becak digencarkan dua tahun lalu, banyak juga tukang becak atau pemilik becak yang sudah berganti kerja. Pada 1988, misalnya, 500 bekas tukang becak beralih profesi menjadi tukang sayur keliling. Tahun berikutnya, 75 orang jadi tukang sayur, 400 orang jadi penjaja roti keliling, 125 orang menjadi sopir mikrolet, 368 orang jadi sopir bajaj, 50 orang tukang las dan listrik, 50 orang bekerja di bengkel karoseri mobil, dan 32 orang bekerja di bengkel bubut. Sebelum disalurkan ke berbagai bidang pekerjaan tadi, Pemda lebih dulu mendidik mereka di BLK (balai latihan kerja) Depnaker, dengan berbagai keterampilan sesuai dengan bidang pekerjaan yang mereka pilih. Untuk menjadi pedagang sayur, misalnya, mereka cukup dikursus enam hari. Tapi, untuk jadi montir mobil atau pekerja bengkel karoseri, bisa dibutuhkan waktu tiga bulan. "Setiap hari mereka kami beri ongkos jalan Rp 2.000 sampai Rp 3.000," kata Eddy Ruchiyat Saleh, Asisten Sekwilda Bidang Kesra DKI, yang menjadi ketua Tim Penyelesaian Masalah Becak DKI. Bila mereka menamatkan kursus dan mulai terjun ke dunianya yang baru, Pemda memberi modal Rp 50.000 per orang. "Jadi, kurang apa lagi?" kata Eddy Ruchiyat. Memang, untuk program penanggulangan becak ini Pemda DKI menganggarkan biaya -- sebagian dari APBD -- Rp 2,1 milyar. Jumlah itu termasuk untuk mengongkosi bekas tukang becak yang akan pulang kampung. Soalnya, dalam penelitian yang dilakukan Biro Statistik DKI, 97% tukang becak yang ada di Jakarta bukanlah pemilik KTP DKI. Mereka berasal dari Tegal, Brebes, Cirebon, dan Indramayu, atau berbagai daerah lainnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Nah, tawaran menjadi tukang sayur, sopir mikrolet, dan semacamnya itu diprioritaskan untuk 3% bekas tukang becak ber-KTP DKI. Sedang bagi "kaum imigran" yang mayoritas, ditawarkan ikut program transmigrasi atau pulang ke kampung masing-masing. Sampai kini Pemda sudah berhasil memulangkandangkan sekitar 1.500 "imigran" itu, dengan perincian: 750 dari Jakarta Timur, 205 dari Jakarta Pusat, 400 dari Jakarta Utara, dan 200 orang dari Jakarta Selatan. Mereka diberi bekal oleh Pemda, setiap orang Rp 5.000, dan dikawal oleh polisi sampai ke kampungnya masing-masing. "Agar mereka benar-benar sampai ke tempat tujuan," kata Eddy Ruchiyat. Satu paket dalam program ini, mulai Februari 1989, penguberan terhadap becak di Jakarta digencarkan. Menurut Gubernur Wiyogo dalam berbagai kesempatan, Pemda menargetkan: 1 April 1990, kota metropolitan ini sudah bersih dari becak. "Kami memang tak mungkin lagi menundanya. Tak bisa lagi cuma kecil-kecilan. Tapi Gubernur DKI tak pernah menegaskan soal tanggal 1 April itu," ujar Wagub Basofi Soedirman. Memang, dalam buku program penyelesaian masalah becak yang dikeluarkan Pemda DKI, target penghapusan becak di Jakarta disebutkan akhir 1990. Untuk mencapai target membebaskan Jakarta dari becak pada 1990, Pemda DKI mengerahkan petugas keamanan dan ketertiban Pemda DKI siang-malam untuk memburu angkutan beroda tiga itu. Perburuan becak itu kabarnya tak cuma dilakukan petugas kamtib di jalan-jalan saja -- disebut-sebut ada becak yang disimpan pemiliknya di pekarangan rumah juga dibawa mereka. Hasil penangkapan sampai minggu ketiga Januari saja, kata Frans Ratag, Kepala Gudang Penampungan Becak di Cakung, sebanyak 6.000 buah. Becak-becak hasil operasi ini nanti juga akan dirumponkan sebagaimana becak-becak tangkapan sebelumnya. Menurut Ratag, selama periode 1985-1989, becak yang sudah dirumponkan di Teluk Jakarta tercatat 73.715 buah. Tak diketahui berapa jumlah penarik becak beralih profesi akibat perumponan itu. Maka, tak heran reaksi terhadap kebijaksanaan pemerintah Ibu Kota tersebut cukup keras. Itu tercermin dari surat pembaca di koran dan pernyataan dari tokoh masyarakat, politikus, pemilik dan penarik becak, serta konsumen becak (terutama ibu-ibu), bahkan menteri. Anwar Datuk, anggota DPR dari Fraksi PDI, misalnya, bisa memahami. Sebagai kota metropolitan, Jakarta perlu menyesuaikan alat transportasinya. Tapi tokoh partai kepala banteng yang banyak mengandalkan penarik becak dalam kampanye Pemilu yang lalu itu menentang penghapusan becak, karena becak merupakan upaya rakyat kecil untuk mencari nafkah, dan konsumennya pun kebanyakan rakyat kecil. Selain itu, alat transportasi pengganti becak sulit ditemukan. Misalnya, untuk digunakan di jalan-jalan perkampungan Jakarta, atau jalan kecil proyek MHT itu, juga kompleks-kompleks perumahan yang tak dilalui sarana transportasi umum. "Nah, kalau tak ada becak di sana, mereka mau naik apa? Mana alternatifnya?" ujarnya. Datuk setuju becak dikurangi, tapi tidak dihapuskan sama sekali. Sekretaris F-KP Benyamin Messakh sependapat. Ia mengimbau Gubernur Wiyogo, agar dalam kebijaksanaannya menghapus becak itu memberi kelonggaran pada daerah-daerah tertentu yang belum dijangkau kendaraan umum. "Coba, kalau ibu-ibu mau melahirkan, apa bisa diangkut pakai bajaj?" tanyanya. Pendiri Lembaga Studi Pembangunan, Adi Sasono, malah menuduh tindakan Pemda DKI itu bertentangan dengan konstitusi. "UUD 45 menyebutkan setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan. Pak Wiyogo malah membunuh pekerjaan orang," katanya. Bukankah pengharaman becak di Jakarta itu sesuai dengan Perda? "Peraturan daerah kok bisa lebih tinggi dari konstitusi," jawabnya, sembari mengingatkan bahwa becak adalah masalah lapangan pekerjaan dan pencarian nafkah, bukan sekadar mencari alat transportasi baru sebagai pengganti becak. Memang di sinilah inti soalnya. Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Wiyogo menyebutkan bahwa menarik becak itu tidak manusiawi, penghisapan manusia atas manusia, dan sebagainya. Tapi, kalau becak dilarang sehingga para tukang becak itu menganggur, apakah itu manusiawi? Di lokasi penimbunan becak Pemda DKI di Cakung, Jakarta Utara, kini terdapat 49.000 lebih becak yang sedang menunggu giliran untuk dibuang ke perairan di sekitar Kepulauan Seribu, dan akan menjadi rumpon, tempat ikan-ikan bermain. Konon, produksi ikan di sekitar rumpon itu kini meningkat. Ditambah 73.000 lebih yang sudah dirumponkan sejak 1985, dan sejumlah lainnya yang dijadikan cendera mata untuk turis, dialihkan menjadi gerobak sampah, dan sebagainya, seperti yang dicatat Pemda DKI, sampai sekarang sudah 129.000 lebih becak yang digaruk dari jalan-jalan atau pekarangan rumah juragan becak oleh para petugas ketertiban umum (tibum) Pemda. Artinya, bisa dibayangkan berapa banyak tukang becak yang kehilangan pekerjaan. Belum lagi, sebetulnya, tak sedikit becak yang ditarik oleh dua orang bergantian -- seorang menariknya siang, dan malamnya ditarik oleh orang lain sehingga jumlah tadi bisa lebih menggelembung. Padahal, yang bisa dialihkerjakan oleh Pemda DKI menjadi tukang sayur, sopir bajaj, kernet mikrolet, dan sebagainya, sesuai dengan catatan Pemda tersebut, cuma 2.200 mantan tukang becak. Dari angket TEMPO, yang khusus disebarkan di kalangan penarik becak, diketahui bahwa rata-rata setiap becak menghidupi hampir 5 mulut, termasuk si penarik becak sendiri selaku kepala keluarga. Betapa besar ketergantungan terhadap kereta angin beroda tiga itu. Menurut Tjokropranolo, Gubernur DKI Jakarta 1977-1982, perihal becak bukan soal manusiawi atau tidak. Betapapun tak manusiawinya pekerjaan itu, menurut Tjokro, tetap lebih baik daripada mereka menganggur. "Mereka umumnya tak punya keahlian, karena itu sulit beralih profesi. Kalaupun mereka dilatih dulu, setelah beralih profesi, apakah kesejahteraan mereka meningkat? Kalau tidak, buat apa mereka beralih profesi?" kata Bang Nolly (begitu ia dipanggil semasa gubernur), yang kini beralih profesi jadi pengusaha. Bang Nolly mengingatkan pula kondisi ekonomi konsumen becak. "Apakah kesejahteraan mereka sudah meningkat, sehingga mampu naik bajaj atau taksi, yang jelas ongkosnya lebih mahal dari becak, atau mereka sudah bisa beli kendaraan pribadi?" katanya. Yang jelas, akhir-akhir ini sering terdengar keluhan bekas konsumen becak tentang mahalnya ongkos bajaj. Rupanya, sopir bajaj memasang tarif sesuka hati. Maklum, saingannya, becak, sudah kian langka. Penghapusan becak, pada gilirannya, akan menimbulkan dampak beruntun. "Bagaimana dengan warung-warung Tegal dan pemilik rumah sewa murah yang selama ini konsumennya adalah tukang becak?" tutur Tjokropranolo. Di zaman Tjokropranolo, becak memang mendapat angin. Pada masa itu ekonomi Indonesia sedang meleset, setelah anjloknya harga minyak dan resesi datang menohok. Akibatnya, banyak terjadi PHK. Maka, bagi Bang Nolly, becak adalah alternatif untuk mengatasi pengangguran. Banyak tukang becak yang mungkin masih ingat pada masa kampanye menjelang Pemilu 1982, ketika tukang becak dikumpulkan Tjokropranolo di Balai Sidang Senayan Jakarta. Bang Nolly bersama istri sengaja menghadiri acara itu dengan naik becak. Ia pun jadi pahlawan para abang becak ketika dalam pidatonya ia tegaskan: Pemda DKI tak akan menghapuskan becak di Jakarta. Tepuk sorak pun membahana. Bukan cuma Nolly yang berpendapat begitu. Seusai rapat koordinasi Polkam Senin pekan lalu, Menko Polkam Sudomo mengatakan kepada wartawan bahwa penghapusan becak di Jakarta menimbulkan keresahan di kalangan pengemudi dan konsumen becak. Ia mengatakan, penghapusan becak memerlukan pola yang menyeluruh dan persiapan yang matang: bukan cuma mengejar-ngejar tukang becak atau tindakan represif lainnya, tapi harus dipikirkan pula alih lapangan kerja bagi bekas penarik becak. Apakah Sudomo menentang penghapusan becak? "Bukan. Kami setuju saja cuma ini ada problem, to? Lapangan kerja, itu pertama. Apa benar yang dialihkan itu keadaannya lebih baik? Harus dicek dulu. Lalu yang kedua, bagaimana dengan angkutan kecil penggantinya?" ujar Sudomo kepada wartawan TEMPO Nanik Ismiani, seusai peresmian Museum Rekor Indonesia di Semarang, Sabtu pekan lalu. Sudomo memang sudah mendengar bahwa Pemda DKI punya konsep untuk menghapuskan becak. Tapi, katanya, "Soalnya mengalihkan itu kan dengan fase-fase, dengan tahapan, yang tak bisa sekaligus. Lagi pula, kalau saya, kalau ada rencana, jelaskan saja pada masyarakat. Ini kan tak pernah orang tahu. Jadi, mungkin ada rencana tapi masyarakat nggak tahu." Rakor Polkam waktu itu, menurut Sudomo, memintanya untuk menghubungi Gubernur Wiyogo. "Barangkali saya bisa membantulah," kata "bapak" para pedagang asongan ini. Sedang Menteri Dalam Negeri Rudini mendukung penuh kebijaksanaan Pemda DKI, karena ia sudah mengerti konsep menyeluruh dari Gubernur Wiyogo. Setiap konsep, menurut Rudini, harus punya tahapan dan punya masa transisi yang harus dilewati. "Bahkan Gubernur DKI sudah melapor kepada Bapak Kepala Negara," kata Rudini. Di Indonesia, becak sudah punya sejarah panjang. Kendaraan ini dipercayai sebagai modifikasi dari rickshaw, semacam kereta yang dihela manusia, yang dikenal di Hong Kong, Singapura, dan sejumlah kota di negara Asia lainnya, sebelum Perang. Sebuah versi mengatakan, pada 1930-an -- versi lain 1940-an -- becak mulai diperkenalkan di sini. Dan jumlahnya terus menanjak, mencapai puncaknya pada 1970. Ketika itu jumlah becak di Jakarta mencapai 160.000-an, bebas berkeliaran ke seantero pelosok Jakarta. Tapi, sementara itu, becak mulai dimusuhi para pejabat kota, terutama karena dianggap sebagai penyebab kesemrawutan lalu lintas. Waktu itu, Presiden Soekarno, dengan semangat nasionalismenya yang berapi-api, amat benci pada profesi tukang becak. Berkali-kali dalam pidatonya yang bergemuruh Bung Karno mengecam tukang becak, dengan mengatakan, "Kamu boleh jadi kuli, tapi jangan jadi tukang becak. Sebab, itu pekerjaan hina." Becak mulai terancam setelah 3 Mei 1967 DPRD-GR Jakarta mengesahkan perda tentang pola dasar dan rencana induk Jakarta 1965-1985, yang antara lain tak mengakui becak sebagai kendaraan angkutan umum. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966-1977, adalah pionir dalam mengusir becak dari kota metropolitan ini. "Jangan mau jadi kuli becak begitu, kalau kita mau mempertahankan kehormatan bangsa ini," katanya, mengulangi sikapnya dulu kepada TEMPO, pekan lalu. Selain itu, becak membuat lalu lintas macet dan semrawut. Dalam masa jabatannya, Bang Ali (panggilan populer Ali Sadikin) mengaku berhasil mengempiskan jumlah becak dari 160.000 menjadi hanya 38.000-an. Caranya dengan mengeluarkan sejumlah peraturan untuk menghantam becak: mulai perda tadi, lalu 16 Mei 1970 ia mengeluarkan instruksi yang melarang memproduksikan dan memasukkan becak ke Jakarta. Ia juga menetapkan rayonisasi becak (becak dari daerah tertentu dilarang beroperasi di daerah lain). Tahun berikutnya, Ali Sadikin menetapkan sejumlah jalan protokol dan jalan lintas ekonomi (seperti Jalan Thamrin ) diharamkan untuk becak. Ada berbagai kebijaksanaan Ali Sadikin lain, yang pokoknya mempersempit terus ruang gerak becak. Sampai kemudian disahkan Perda Nomor 4/1972, yang antara lain menetapkan becak -- sama dengan opelet -- bukan jenis angkutan yang layak untuk Jakarta. Tapi, setelah masa jabatan Ali Sadikin selesai, dan digantikan oleh Tjokropranolo, becak kembali dapat angin. Sampai 1980, diperkirakan, jumlahnya sudah 55.000. Makanya, Ali Sadikin berkata, "Kalau waktu itu saya langsung digantikan Pak Wiyogo, soal ini saya kira sudah beres." Setelah Tjokropranolo digantikan R. Soeprapto, pengganyangan becak mulai lagi. Malah keputusan rapim di kantor Gubernur DKI, Februari 1984: Mulai 1 Januari 1985, Jakarta sudah bebas dari becak. "Zaman Pak Prapto, penertiban becak memang keras, tapi perakitan becak di Jakarta juga jalan terus," ujar Muchrodji Sutomo, Sekretaris Tim Pengendali Program Penyelesaian Masalah Becak DKI. Menurut Muchrodji, pada 1985 jumlah becak di Jakarta sudah mencapai 75.000. Setelah operasi gercar yang dilakukan Wiyogo sejak dua tahun lalu, dalam taksiran Eddy Ruchiyat Saleh, sekarang di Jakarta masih tersisa sekitar 11.000 becak. "Pemda DKI mengharapkan, akhir Maret ini yang tersisa itu sudah rampung," kata Asisten Sekwilda DKI itu. Artinya: Jakarta bebas becak. Untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan becak, sudah disiapkan 600 mikrolet dengan trayek baru -- milik eks juragan becak itu -- ditambah hampir 15.000 bajaj dan 1.750 bemo yang ada sekarang. Dalam masa transisi ini, memang baru mikrolet tadi yang efektif mengganti becak, selain ojek (sepeda motor yang dipakai membawa penumpang) yang untuk sementara ini diizinkan beroperasi. Bajaj dan bemo, yang selamanya bebas berkeliaran, kini sedang dalam proses dirayonisasikan. Bajaj untuk Jakarta Pusat kelak diberi logo warna abu-abu, Jakarta Utara biru, Jakarta Barat merah, Jakarta Selatan kuning, dan Jakarta Timur hijau. Sementara itu, untuk persiapan masa mendatang, sedang dipikirkan suatu bentuk kendaraan yang ideal: kendaraan mini bermotor dengan bahan bakar gas. Sebuah perusahaan swasta di Jakarta, PT Sri Murni Mandiri, memang sudah menyiapkan kendaraan model itu, yang dijuluki kancil (disingkat dari kendaraan angkutan kecil). Besarnya seperti bajaj tapi beroda empat, dengan harga cuma Rp 6 juta. Proposal sudah dikirimkan perusahaan ini pada Pemda. "Tapi belum ada tanggapan, mungkin karena becak belum habis," ujar Amir Citrawidya, direkturnya. Menghapuskan becak memang bukan masalah sederhana di negeri ini. Ahli sosiologi terkemuka, Profesor Selo Soemardjan, yang sering dimintai saran oleh Gubernur Ali Sadikin tentang soal becak, berpendapat bahwa untuk menghapuskan becak diperlukan waktu yang panjang. "Nasib tukang becaknya dan pemilik becak, serta pengganti becak, mesti diselesaikan dulu, baru becak bisa dihapuskan," kata guru besar Sosiologi Universitas Indonesia yang mengaku sering naik becak itu. Di luar Jakarta, becak tampaknya masih aman. "Bagaimana kami mau main hapus, padahal mereka butuh makan. Mau dikemanakan perut mereka?" kata Wali Kota Surabaya Poernomo Kasidi. Wali kota itu menduga, Surabaya termasuk kota yang aman dari copet dan rampok karena, "Tukang becak di sini turut membantu keamanan," katanya. Setelah beberapa bulan diburu, jumlah becak di Jakarta memang jelas berkurang, meski mereka masih ditemui di sekitar Hotel Indonesia. Namun, jumlahnya membingungkan. Coba, sampai Agustus 1988, dalam data yang ada di Pemda, becak di Jakarta tinggal 22.856. Anehnya, razia sampai 20 Januari lalu sudah menyita jumlah yang jauh lebih besar: 36.488 becak. Dalam program Pemda DKI, penghapusan becak tak boleh ditunda lebih dari 1 Januari 1991. Tapi, suasananya dianggap kurang menguntungkan, karena Pemilu sudah dekat. Lalu, siapa yang tidak akan bilang bahwa becak memang punya nyawa sembilan? Amran Nasution, Ahmadie Thaha, Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus