Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ketika produksi tembaga meningkat

Tambang tembaga freeport tiap hari membuang tailing ke sungai aykwa sebanyak 56 ribu ton. sungai pun mendangkal. adakah hubungannya dengan wabah diare yang menyerang penduduk?

19 Juni 1993 | 00.00 WIB

Ketika produksi tembaga meningkat
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BILA saja erosi bermuatan 50 ribu ton tailing itu terjadi di Pulau Jawa, pastilah seantero negeri gempar. Tapi musibah lingkungan ini melanda Sungai Aykwa, Timika, Irian Jaya. Gemanya terdengar sayup-sayup sampai. Yang pertama-tama harus disimak adalah keluhan akibat erosi. Kini aliran Sungai Aykwa dipenuhi pasir dan tanah, bahkan di beberapa bagian, tanah sudah muncul di permukaan. Air sungai terlihat keruh kehitaman, lalu melebar dan membentuk cabang-cabang. Sungai pun mendangkal sepanjang 50 kilometer, pohon-pohon di pinggirnya langsung diterjang oleh luapan pasir dan tanah. Diperkirakan ada 30 km tanah yang hutannya kering dan meranggas. Sekelompok orang yang menamakan diri Simpatisan Masyarakat Mimika Amungme (SMMA) mengadu ke DPRD Irian Jaya akhir Mei lalu. Kebetulan para wakil rakyat ini akan berkunjung ke tambang tembaga PT Freeport Indonesia (FI). Menurut SMMA, FI yang beroperasi di hulu Sungai Aykwa itu (Tembagapura) bertanggung jawab atas erosi tersebut. Kuat dugaan, air sungai telah pula tercemar, hingga menyebarkan wabah diare dan menyebabkan tingginya prevalensi ibu-ibu yang keguguran di Timika. SMMA lalu mengusulkan agar dibentuk badan independen untuk meneliti erosi dan limbah FI. ''Mungkin saja orang sakit perut karena meminum air Kali Pika yang merupakan rembesan Sungai Aykwa,'' ujar seorang peserta SMMA. Salah seorang tokoh LSM di Timika, Tom Beanal, mengisahkan bahwa tahun lalu serangan diare mulai melanda Timika. Lebih dari seribu pasien datang ke puskesmas waktu itu. Dan hingga Mei tahun ini, 300 orang sudah pula terserang diare. Adapun 10 wanita yang keguguran, seluruhnya berasal dari suku Komoro yang berdiam di muara Sungai Aykwa. Namun Kepala Puskesmas Timika meragukan adanya pencemaran di Aykwa. Ia menduga, tingginya angka keguguran disebabkan oleh gizi makanan yang buruk dan usia ibu hamil yang begitu muda. Adapun diare, mungkin sekali disebabkan kebiasaan penduduk yang masih sering menimum air yang belum dimasak. Yang juga dipertanyakan ialah, apa mungkin Sungai Aykwa tercemar oleh bahan kimia yang ditambahkan dalam proses penambangan? ''Mungkin saja limbah yang dibuang mengandung bahan kimia. Tapi bahan kimia yang dikandungnya kecil sekali, '' ujar Warjono Soemodinoto, ahli tambang dan metalurgi dari Institut Teknologi Bandung. Atas nama LIPI, Warjono pernah meneliti FI pada tahun 1989. Menurut penelitiannya, bahan kimia yang ditambahkan hanya sekitar 0,3 kilogram per ton. Bahan itu tak beracun, karena sebagian besar melekat pada konsentrat. ''Dari hasil penelitian saat itu, unsur-unsur logam berat masih di bawah ambang batas. Itu data empat tahun lalu, saat produksi Freeport baru 30.00040.000 ton per hari,'' kata Warjono lagi. Nah, sekarang produksi FI telah menjadi 60.000 ton biji tembaga per hari. Bukan mustahil unsur logam berat sudah melampaui ambang batas. Tapi pihak FI meyakinkan bahwa karakter limbahnya mempunyai keasaman normal, sekitar 89. Bahan kimia yang ditambahkan pun hanya kapur dan alkohol. Dugaan bahwa unsur logam berat bisa menyebabkan keguguran, juga ditampik. ''Angka recovery yang kami dapat tinggi sekali. Lebih dari 95 persen, '' kata Presiden Direktur FI Hoediatmo Hoed. Sisa produksi tembaga FI justru berupa tanah dan pasir halus yang disebut tailing, rata-rata 56.000 ton per hari. Tailing ini dibuang ke Sungai Wagawangon, lalu menyatu ke Sungai Aykwa dan menyebabkan erosi. Di samping tailing, tingkat erosi alamiah di Irian Jaya juga sangat tinggi. Curah hujan di Irian pun tinggi: 5.00010.000 mm per tahun (bandingkan dengan kota hujan Bogor yang 2.500 mm per tahun). Terlepas dari kondisi alam di Irian, tetap saja tak tertutup kemungkinan bahwa tambang tembaga FI membawa dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Paling tidak, bisa mempercepat pendangkalan sungai. Hal itu bukan tak diperhitungkan oleh FI. Perusahaan yang tahun lalu membayar pajak dan royalti lebih dari US$ 492 juta itu telah mengantisipasi dalam Amdal (Analisa Dampak Lingkungan) yang dibuat sejak tahun 1984. Karena itu, jauh-jauh hari FI telah membangun tanggul sepanjang 22 kilometer. Gunanya agar air sungai yang terhambat oleh sedimen baik dari erosi alamiah maupun dari tailing tak menyerbu kawasan penduduk. ''Itu salah satu bentuk manajemen sungai yang kami lakukan, '' ujar Hoediatmo Hoed. Tapi agar lebih efektif, dari dana lingkungan US$ 40 juta per tahun, FI lebih banyak mewujudkannya dalam program peningkatan kualitas hidup penduduk. Bahwa mereka masih diserang wabah diare sementara pendangkalan sungai kian gawat, mungkin sebab-musababnya harus ditelusuri lagi. Anggaran sebesar Rp 80 miliar itu kan tidak sedikit? G. Sugrahetty Dyan K., Mochtar Touwe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus