NARAPIDANA bisa lari dari bui karena ada bumbu cinta di balik terali. Kejadian terbaru di lembaga pemasyarakatan (LP) Pekanbaru. Empat napi kabur, pertengahan Januari lalu. Mereka adalah Suwarni, 24 tahun, Mardiana, 30 tahun, Marni, 34 tahun, dan Erniwati, 18 tahun. Namun, Suwarni menyanggah tuduhan adanya skandal seks seperti diberitakan surat kabar. "Saya memang pacaran dengan Oskar Sitorus, tapi hubungan kami tidak sejauh itu," katanya. Oskar adalah sipir LP Pekanbaru, katanya, yang memberi duplikat kunci sel hingga mereka bisa kabur. Peristiwa yang mirip dengan itu terjadi di Bandung, pertengahan Desember 1989. Inggit, 28 tahun, tertuduh kasus jambret yang ditangkap massa ketika sedang beroperasi di daerah Padalarang, ditahan di Polres Bandung. Ia dapat memperdaya penjaganya, Kopda Ruhiyat, 31 tahun. Bukan hanya menjanjikan uang serta info tentang kawanan penadah mobil curian, Inggit juga bersedia dikawini. Ia pun dibimbing meloloskan diri. Setelah berkelana menghindari pengejaran, tak sampai seminggu Ruhiyat kembali ke Bandung menyerahkan diri. Inggit ditangguk kembali, sementara janjinya ternyata sekadar angin surga. Dalam sidang terakhir, pertengahan Januari lalu, Majelis Hakim Mahmil II-09 Bandung memvonis Ruhiyat 10 bulan penjara -- sesuai dengan tuntutan Oditur Letkol. Abdul Sjirod. Akan halnya napi yang buron dari penjara Pekanbaru tadi, dua dibekuk di Bandung, yaitu Marni dan Erni. Keduanya diserahkan Kapolres Bandung Tengah, Letkol. Timbul H. Sianturi, kepada polisi penjemput dari Pekanbaru, Kamis pekan lampau. Di Jakarta Suwarni dan Mardiana pun diringkus. Mereka inilah otak pelarian. "Awal Januari saya dan Mardiana dipanggil kepala LP. Katanya, kami mau dipindahkan ke LP Medan karena napi yang masa tahanannya lebih dari sembilan tahun harus ditahan di Medan," cerita Suwarni kepada Bambang Sujatmoko dari TEMPO. Suwarni gelisah. Pindah ke Medan tak ada sanak saudara yang menjenguk. Mereka minta tetap di Pekanbaru. Ditolak. Timbul rencana lari. Dua kawan satu sel, Marni dan Erniwati, mereka beri tahu. Keduanya malah ingin ikut. Lalu Suwarni memberi tahu Oskar. Menurut Suwarni, seminggu sebelum hari-H, Oskar memberinya duplikat kunci sel. "Dipesannya supaya lari pada saat dia cuti," katanya. Cerita ini diragukan Kepala LP Pekanbaru, Muhammad Sukri, 54 tahun. "Karena masih dalam pemeriksaan, saya belum bisa memastikan cara mereka lari," katanya kepada Sarluhut Napitupulu dari TEMPO. Namun, diakuinya bahwa kunci pintu empat sel yang harus dilewati para buron itu tak ada yang rusak. Mereka mulus kabur, seperti cerita Suwarni, saat malam mulai sunyi di tengah hujan yang mengguyur Pekanbaru. Tembok penjara setinggi lima meter itu enak saja dilompati. "Saya dan Mardiana mau ke Jakarta karena dia banyak saudara dan teman di sini," kata Suwarni. Sedangkan Marni dan Erniwati ke Bandung, kota asal Erni. Lewat jalan darat, mereka mendapatkan omprengan sampai di Jakarta. Menjelang subuh, mereka tiba di rumah suami Mardiana, bilangan Jalan Percetakan Negara. Mardiana bertangis-tangisan dengan kelima anaknya. Tapi suaminya, pensiunan polisi, tak mau menerima. Mereka berlalu dari situ. Marni dan Erniwati ke Cililitan, mau ke Bandung. Suwarni dan Mardiana ke rumah teman Mardiana di dekat pintu rel kereta di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Menginap semalam di sini, paginya mereka siap ke Bandung. Tapi, belum jauh berjalan, di depan Hotel Kencana Puri mereka disergap petugas reserse Polres Jakarta Pusat. "Karena laporan dari masyarakatlah kami tahu posisi mereka," kata Mayor Oegroseno. Menurut Kasatserse Polres Jakarta Pusat itu, kaburnya mereka dari Pekanbaru sudah disebarkan, termasuk foto mereka. Suwarni, Mardiana, dan Marni masuk bui dengan perkara yang sama. Sedangkan Erniwati adalah tahanan titipan Polsek Timur Pekanbaru. Tiga napi ini bersekongkol membunuh Syaifuddin, suami Suwarni. "Suami saya itu sering main pukul," kata Suwarni. Ibu satu anak ini pernah keguguran dianiaya suaminya. Tak sanggup lagi menahankan derita, timbul niat untuk membuat suaminya cacat. Niat itu disampaikannya pada Mardiana, sejawatnya di Diskotek Indrapura. Ia minta dicarikan orang yang bisa melakukannya. "Saya tadinya tidak mau membantu. Tapi Marni melihat kami berbisik-bisik. Dia mendesak saya menceritakan apa bisikan Suwarni," kata Mardiana. Marni pun solider, dan memberi tahu suaminya, Ridwan. Sang suami mengontak Rafles. Temannya yang masih menganggur ini lalu dihubungkan dengan Suwarni. Cocok tarif, Suwarni membayar Rp 1,5 juta. Maka, suatu malam saat Syaifuddin nyenyak, Rafles menghanjut kepalanya dengan balok. Tewas. "Waktu itu saya tanya, kenapa dimatiin, saya kan hanya minta dibikin cacat. Rafles bilang dia salah pukul," ujar Suwarni mengenang. Saat kejadian itu, ia dikawani Mardiana dan Marni. Mayat Syaifuddin lalu dipotong enam oleh Rafles. Dibungkus dalam dua karung, jenazah berkeping itu ditanam dekat kandang ayam di belakang rumah. "Saya membantu karena diancam Rafles," kata Mardiana. Rafles diberi Rp 500 ribu, dan sisanya dilunasi Suwarni seminggu kemudian. Kejahatan mereka terbongkar. Rafles, Suwarni, Mardiana, Marni, dan Ridwan diadili. Rafles divonis 12 tahun, Suwarni 12 tahun, Mardiana 12 tahun, Marni 6 tahun, dan Ridwan 4 tahun. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini