Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kini, Tanpa Menu Kodok

Masyarakat Eropa & WWF memprotes pemusnahan satwa kodok. Negara pengekspor di Asia melakukan pengetatan. Indonesia turut dituding sebagai pembantai. Budi daya kodok sebagai alternatif penyelamat populasi.(ling)

1 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"STOP makan daging kodok". Ini adalah bunyi poster yang diacung-acungkan barisan demonstran para pelindung lingkungan di Jerman Barat. Perkumpulan Pelindung Binatang di sana, belum lama ini, memprotes kemusnahan kodok di beberapa negara pengekspor kodok. Jerman Barat sendiri, di tahun 1983 telah mengimpor 538 ton daging kodok dari Asia. Kampanye anti perdagangan daging kodok ini ternyata mendapat reaksi luas di beberapa negara Eropa. Mereka bahkan menuding petani Asia sebagai tukang bantai kodok. Gelombang protes anti pemusnahan kodok kini mendesak WWF (World Wildlife Fund) untuk mengambil sikap (protes) terhadap kemungkinan musnahnya kodok. Akibatnya, di Prancis misalnya, kini semakin banyak restoran Prancis tak mencantumkan la grenouille (kodok saus mentega) dalam daftar menunya. Padahal, sebelumnya, Prancis mengimpor 1.381 ton daging kodok dari India, Bangladesh, dan Indonesia. Pemakan daging kodok, demikian kata seorang pencinta lingkungan, adalah manusia barbar. Tampaknya, gerakan antikodok ini bisa dipahami oleh negeri-negeri pengekspor binatang itu. Misalnya di RRC, yang sebelumnya santapan kodok goreng adalah makanan tradisional, kini diadakan larangan penjualan daging satwa akuatik ini. Alasannya, untuk menjaga keseimbangan ekologis dari hama. Di Bangladesh, yang menjadi pengekspor daging kodok terbesar, pemerintahnya kini melarang pemburuan kodok di musim bertelur, yaitu bulan April sampai Juli. Di India, setop ekspor memang tidak ada. Tapi beberapa tindakan pengetatan telah dikeluarkan oleh pemerintahnya. Antara lain eksportir yang mempunyai lisensi saja yang boleh berdagang daging kodok. Lisensi dimiliki kalau perusahaan itu telah lulus uji bagaimana cara menangkap dan mematikan binatang yang hidupnya di rawa atau sawah ini. Dan bagaimana dengan kodok Indonesia? Penangkapan kodok dilakukan sepanjang masa sebagai mata pencaharian tetap. Sehingga sebagian besar kodok tak sempat mencapai ukuran maksimal. Di Indonesia sendiri secara umum larangan menangkap kodok itu bukan tak ada. "Ada larangan untuk menangkap kodok dari bulan November hingga Januari. Tapi pada prakteknya peraturan itu sulit dilaksanakan," ucap Prof. Dr. Nawangsari Sugiri, Ketua Jurusan Biologi Famipa IPB. Ekspor kodok Indonesia di tahun 1983 pernah mencapai 3.296 ton, jumlah tertinggi selama 5 tahun terakhir. Tapi sekitar 1978, Amerika Serikat pernah menolak paha kodok Indonesia (dan India) karena mengandung kuman salmonella, yang bisa bikin muntah-muntah dan kram. Selain itu, ukuran kodok Indonesia jarang yang bisa memenuhi syarat. Seharusnya, demikian Vincent Wijaya, eksportir kodok dari Medan, setiap kilo hanya boleh 16-20 pasang paha kodok. "Berarti kodok itu cukup berdaging dan tidak tulang melulu," ujar Vincent. Hanya, seperti juga dikeluhkan oleh beberapa penangkap kodok, kini sulit sekali mencari kodok yang berukuran besar. "Penangkapan yang intensif tentu saja menurunkan populasi kodok," kata Prof. Dr. Nawangsari Sugiri. Misalnya jenis Rana alfaki di Irian Jaya, eksistensinya mencemaskan. Konon, karena orang-orang Irian juga menangkap kecebongnya untuk dijadikan lauk pauk. Sehingga bisa dimengerti, menurunnya populasi kodok bukan hanya karena musuh alamiah kodok (ular, bebek, atau burung elang). "Tapi musuh utama ialah manusia," kata Nawangsari. Belum terhitung insektisida mudah sekali mematikan telur dan kecebong. Kendati setiap bertelur seekor katak menghasilkan sampai 15 ribu butir cuma sekitar 10% yang berhasil menjadi kodok dewasa. Sisanya gugur sebelum berganti menjadi katak. "Kalau kodok tak ada lagi," kata Nawangsari, "keseimbangan alam akan terganggu." Kodok adalah pemakan serangga termasuk berbagai jenis nyamuk. Peranannya cukup penting untuk mengecek populasi serangga yang pada waktunya bisa menjadi hama. "Wereng akan berkembang pesat, itu sudah pasti," tambah Nawangsari lagi. Dari sekitar 800 spesies satwa dari keluarga Ranidae ini, ada sekitar 200 saja yang terdapat di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya sekitar 10 jenis yang bisa dijadikan konsumsi lauk pauk. Sayangnya, yang ditangkap itu justru satwa pembantu pemusnah hama d sawah-sawah. Setiap malam, lebih-lebih di musim penghujan seperti sekarang ini, tukang tangkap kodok menyemut mulai dari Pulau Bali, Jawa, sampai di Sumatera Utara. Kodok sawah (Rana cancrivora) dan kodok batu (Rana macrodon) adalah dua jenis yang sangat dicari di antara sawah dan ladang. Vincent Wijaya misalnya, setiap musim penghujan ratusan kilo paha kodok siap dipak di pabriknya, PT Juta Jelita Coldstorage. Menurut Vincent, paha kodok itu diantarkan para agen dari para petani di Lubukpakam, 25 km dari Medan, atau Stabat, desa yang lebih jauh. Vincent membeli daging kodok lewat agen Rp 2.500 setiap kilo. Harga ekspor sekitar Rp 4.500 per kilo. Sebetulnya, yang diminta Vincent adalah kodok sungai karena lebih besar. Tapi yang didapat pemburu kodok hanyalah kodok sawah. Cara memperoleh kodok tanpa mempertimbangkan populasinya itu yang sebenarnya kini diprotes orang-orang di Eropa atau WWF itu. Nawangsari sendiri memberikan alternatif lain kalau mau mengekspor komoditi nonmigas ini. Yaitu budi daya kodok dengan beternak. Fakultasnya pun tampaknya sudah siap. Dia menawarkan agar pembuahan dan okulasi buatan -- yang kini sudah dilakukan -- diajarkan pada orang-orang perikanan yang kemudian menebarkan ilmu ini ke para petani. Kini, yang mulai dibiakkan adalah jenis bullfrog (Rana catesbiana). Menurut dosen zoologi dan biologi ini, dalam sebulan bisa disiapkan bibit sebanyak 400 ribu ekor. Bahkan bisa lebih, tergantung besar kecilnya lokasi pembuahan. Tantang Nawangsari lagi, "Kalau pemerintah, atau siapa saja, mau, bisa saja mengadakan restocking dengan menebar kecebong di sawah-sawah." Hasilnya, bisa bagi hasil dengan petani atau pemilik lahan. Jadi, kodok tak musnah, hama jadi hilang, dan duit pun bisa masuk. Toeti Kakiailatu Laporan Biro Jakarta, Bandung, dan Medan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus