EKSPOR rumah? Itulah yang, sebenarnya terjadi. Seorang perajin bambu di Desa Buduk, Bali, belum lama ini berhasil mengekspor satu rumah adat Bali ke Amerika. Itu dilakukan Nyoman Wijana, 30, bersama John de Kony, orang Australia yang tinggal di Kuta dan biasa menampung hasil kerajinan Bali. Ekspor pertama, menurut Nyoman, nilainya sekitar Rp 200 juta sudah termasuk ongkos kirim dan pemasangan di Bourccen Garden (AS). Rumah model Bale Dangin, dua lantai seluas 130 m2 berikut perabot dalam dan 40 patung dekorasi halaman itU, dibuat di Bali dengan biaya sekitar Rp 30 juta. Sebagaimana biasa, rumah khas Bali itu terbuat dengan bahan utama bambu. Untuk itu UD Bali Gedeg, perusahaan Nyoman Wijana, menghabiskan 6.500 batang bambu. Selain itu dipakai juga 16 pohon kelapa untuk tiang penyangga, 500 batako untuk penguat dinding gedek, atap lalang 7.500 anyaman, dan 20 lempeng krib untuk bubungan atap. Untuk pengikat, diperlukan sekitar 1.000 m tali ijuk. Pembuatan rumah itu dilakukan oleh kurang lebih 100 tenaga -- mulai dari tukang sampai dengan undagi (tokoh paling menguasai seluk-beluk rumah adat Bali). Rumah adat yang dikirim itu sudah disesuaikan dengan selera pemesan. Misalnya, fasilitas WC, ruang ganti pakaian, dan gudang yang tak biasa ada pada rumah Bali, tapi citra Bali masih tampak menonjol. Kendati dindingnya tembok (batako), bagian luarnya dibungkus gedek. Setiap ujung gedek yang berhubungan dengan kusen bambu ditutup rapi dengan kayu jati berukiran Bali. Pemakaian kaca dihindari. Jendela dibuat dengan rangkaian bambu berbentuk matahari. Isi rumah dilengkapi dengan 16 kursi, empat meja, dan satu panggung Bale Gede yang semuanya dari bambu. Nyoman Wijana, yang mengaku berpendidikan hanya sampai kelas tiga SD itu, tak sembarangan membuat rumah adat kendati untuk orang asing. Menurut kepercayaan Bali, pembuat rumah akan terkena langsung imbas dari hasil karyanya. Peletakan arah harus sesuai dengan model. Ukuran-ukurannya juga harus tepat, lebih-lebih lagi ukuran untuk meja Bale Gede dan penutupnya (gerantang). Bila ukurannya atau peletakan salah, konon, rumah bisa berbunyi tanpa ketahuan dari mana sumbernya. Penghuni rumah itu pun tak akan betah. Karena itu, Nyoman berkonsultasi dengan undagi dan Pendeta Ida Bagus Anom. Karena rumah itu hendak didirikan di luar negeri -- dan tentu sulit mendapatkan pendeta Hindu Bali di sana, maka kesempurnaan persyaratan upacara pemakuhan dan pemelaspasan dilakukan di Bali. Soal peletakan bangunan itu di luar negeri, yang dilakukan Nyoman dengan menggunakan buruh di sana, tak menjadi masalah: Ia telah menguasai bagaimana persyaratannya. Tapi ia mengaku agak sulit juga mendapatkan tenaga di AS. Kalau di Bali ia bisa memanfaatkan puluhan tenaga yang diberi upah Rp 3.000 per hari berikut makan minum, di sana Nyoman memakai 10 tenaga lokal, yang harus dibayar minimum Rp 22.500 per hari (untuk tiga jam kerja). Pembangunan di Bali memakan waktu 75 hari, sedangkan pendirian di AS nanti memakan waktu 45 hari. Tentu saja rumah yang dibuat di Buduk itu harus dibongkar dulu untuk dikirim ke negeri si pemesan. Karena itu, sebagian besar komponen rumah itu dibuat dengan sistem "bongkar pasang". Pengiriman dilakukan dalam keadaan terurai dan dipak dalam 459 bungkus. Bale Dangin, yang seluruhnya 59 ton, mula-mula diangkut dengan lima truk dari Bali ke Tanjung Perak (Surabaya), selanjutnya diangkut dengan kapal. Seluruh biaya ditanggung pemesan. Nyoman percaya bahwa bangunan itu aman dari mala petaka dengan memakai ulap-ulap kain putih. Kekukuhan bangunan juga dijamin dengan lait (kayu penguat) dari jati. Di AS, Bale Dangin pertama itu tampaknya terlalu besar, baik bangunannya dan mungkin juga biayanya. Karena itu, pesanan kedua, menurut Nyoman Wijana, berukuran lebih kecil. M.W. Laporan I.N. Wedja (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini