Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Aksi zuama di pavilyun mekah

Singapura : institute of southeast asian studies, resensi oleh : alfian. (bk)

1 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE REPUBLICAN REVOLT: A STUDY OF THE ACEHNESE REBELLION Oleh: Nazaruddin Sjamsuddin Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, 1985, 359 halaman SATU buku baru lagi tentang pemberontakan. Kali ini mengenai pemberontakan Darul Islam (DI/TII) di Aceh, yang meletus pada 1953. Penulisnya: Dr. Nazaruddin Syamsuddin, Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta. Buku ini diangkat dari disertasi Nazaruddin di Universitas Monash, Australia -- berdasarkan dua kali penelitian lapangan yang dilakukannya pada 1973 dan 1975. Nazaruddin, lewat buku ini, mengungkapkan kepada kita Pemberontakan Aceh tersebut melalui perspektif mereka yang memberontak. Dia ajak kita menelusuri berbagai aspek politik di lingkungan masyarakat Aceh, yang membuat mereka memberontak melawan otoritas pemerintah pusat di Jakarta. Pendekatan yang dilakukan Nazaruddin berbeda dengan beberapa studi perpolitikan daerah (regional) yang, biasanya, memakai perspektif nasional -- melihat kehidupan dan tingkah laku politik daerah dari kaca mata perpolitikan nasional. Apa yang dilakukan Nazaruddin sebetulnya bukanlah suatu hal baru sama sekali. Pendekatan yang relatif sama juga digunakan Barbara S. Harvey dalam bukunya tentang pemberontakan Permesta - diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Permesta oleh Grafiti Pers, Jakarta (1984). Tetapi, melalui pendekatan yang dipakainya ini dapat dipahami bahwa pertanyaan pokok yang ingin dijawab Nazaruddin adalah: Mengapa rakyat Aceh sampai memberontak? Apakah karena motif ideologi (Islam), motif kepentingan daerah atau kombinasi dari keduanya? Kalau kepentingan kombinasi, manakah yang menjadi motif utama? Pertanyaan itu sulit dijawab tanpa pengetahuan yang mendalam. Di dalam masyarakat Aceh ada satu ungkapan yang dipakai sebagai pegangan hidup: "Agama dan adat adalah bagaikan zat dan sifat". Ini berarti bahwa agama (Islam) dan adat adalah dua hal yang seolah-olah bersenyawa, dan, karena itu, tak dapat dipisahkan. Persepsi serupa dapat pula ditemui dalam beberapa suku bangsa Indonesia lainnya, seperti Minangkabau dan Bali, di mana agama dan adat telah menyatu, dan menjadi landasan hidup bersama mereka. Setelah melalui penelitian mendalam, Nazaruddin menemukan bahwa motif utama pemberontakan Aceh adalah kepentingan daerah, bukan Islam. Hal itu, antara lain, disebabkan oleh perkembangan sejarah, yang relatif mengisolasikan rakyat Aceh dari pengaruh dunia luar. Menurut Nazaruddin: "Di Aceh, kesukuan (ethnicity) sejauh periode yang diteliti oleh buku ini adalah amat penting, sebagian karena suku Aceh merupakan kelompok etnis yang dominan di daerah itu, dan sebagian lagi karena daerah itu hampir sama sekali terisolir dari pengaruh luar, yang menyebabkan rakyat Aceh bersifat sangat parokhial. Rasa kesukuan yang kuat itu telah menyebabkan Islam tidak mampu berfungsi sebagai jembatan penghubung yang efektif antara rakyat Aceh dengan suku bangsa-suku bangsa pemeluk agama Islam lainnya di Indonesia. Solidaritas Islam bukannya tidak berpengaruh dalam masyarakat Aceh, tetapi hal itu hanya menempati urutan kedua sesudah loyalitas daerah atau rasa kesukuannya, yang di dalamnya terjalin kepentingan suku dan kepentingan agama. Oleh karena itu, meskipun rakyat Aceh merupakan pendukung yang gigih dan partai-partai Islam yang bersifat nasional, loyalitas mereka bukanlah kepada partai-partai tersebut melainkan kepada daerahnya" (halaman 102-103). Jelas, penyebab utama pemberontakan Aceh adalah rasa kebanggaan daerah dan kesukuan yang tersinggung oleh, menurut anggapan mereka, perlakuan-perlakuan kurang wajar dari pemerintah pusat. Menurut Nazaruddin, tidak lama setelah Proklamasi golongan ulama, yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) berhasil mendominasi perpolitikan di Aceh setelah terlebih dahulu melumpuhkan sisa-sisa kekuatan kelompok ulebalang. Lalu, sesudah Agresi I Belanda pada 1947, pemerintah pusat mengangkat tokoh utama PUSA Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer, dengan pangkat mayor jenderal, untuk wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Tetapi Aceh, yang selama Revolusi tak pernah dijamah Belanda, dan menjadi salah satu basis penting dari Indonesia, karena pemimpin dan rakyatnya berjuang dengan rasa kesetiaan yang luar biasa membela kepentingan Republik, kemudian merasa diperlakukan tidak adil. Pasalnya? Di akhir Revolusi, Desember 1949, Syafruddin Prawiranegara dalam kedudukan sebagai Kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia membubarkan dua wilayah militer Sumatera bagian Utara, termasuk yang dikepalai Daud Beureueh, dan menjadikannya dua provinsi baru: Aceh dan Tapanuli/Sumatera Timur. Tetapi, keputusan Syafruddin itu rupanya tidak disetujui oleh Pemerintah Pusat, yang berkedudukan di Yogyakarta. Penolakan itu secara formal terlihat dengan tidak hadirnya wakil pemerintah pusat pada upacara pengambilan sumpah Daud Beureueh menjadi Gubernur Aceh, 30 Januari 1950. Pemimpin-pemimpin Aceh berupaya meyakinkan pemerintah pusat agar tetap memperkenankan Aceh berdiri sebagai satu provinsi. Tetapi pemerintah pusat sudah mempunyai rencana sendiri, dan membagi Indonesia atas 10 provinsi. Salah satu dari provinsi tersebut adalah Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi wilayah Tapanuli, Sumatera Timur, dan Aceh. Dan, akhir Januari 1951, Kabinet M. Natsir (Masyumi) secara resmi membubarkan Provinsi Aceh. Pembubaran Provinsi Aceh itu membuat pemimpin dan rakyat Aceh sangat kecewa. Mereka, yang begitu setia terhadap Republik selama Revolusi, merasa mendapat perlakuan tidak wajar. Meskipun pembubaran Provinsi Aceh itu dilakukan oleh Kabinet yang dipimpin tokoh Islam yang disegani dan berwibawa, hal tersebut tak dapat mengatasi kekecewaan masyarakat Aceh, tidak lain karena rasa kebanggaan daerah dan kesukuan mereka terluka dalam. Solidaritas agama dalam ruang lingkup nasional dikalahkan oleh loyalitas kedaerahan dan rasa kesukuan yang tinggi. Mengapa pemberontakan Aceh baru meletus sekitar tiga tahun kemudian, yaitu pada 21 September 1953? Mengapa pula memakai nama Negara Islam Indonesia (NII)? Menurut Nazaruddin, sesungguhnya para pemimpin pemberontakan sudah menyiapkan diri sejak permulaan 1951 sambil menunggu momentum yang tepat untuk melakukannya. Masa itu, percaturan politik secara nasional memang tengah memperlihatkan menurunnya peranan golongan Islam dalam pemerintahan. Pemimpin dan masyarakat Aceh, yang di zaman Revolusi mempercayai Presiden Soekarno bersimpati terhadap keinginan mereka menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar negara, kan Aceh sebagai daerah yang berlandaskan Islam, menjadi terkejut dan kecewa dengan pidato Kepala Negara tersebut di Amuntai pada 27 Januari 1953. Dalam pidato bersejarah itu, Soekarno dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara nasional (kebangsaan), bukan negara Islam. Tidak heran bila dalam pembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo pada pertengahan 1953, Masyumi, partai Islam yang sangat berpengaruh di Aceh, ditinggalkan. Menurunnya pengaruh Islam dalam pemerintahan itu masuk mewarnai dan memperkuat kekecewaan serta kecemasan rakyat Aceh, meskipun motif utamanya adalah kepentingan daerah dan suku. Tapi, karena sifat kesenyawaan agama dan adat dalam persepsi masyarakat Aceh begitu kental, maka hal itu telah memudahkan para pemimpin setempat menjadikannya simbol atau ideologi pemberontakan. Sewaktu pemerintah pusat pada 1957 memutuskan menjadikan Aceh sebagai provinsi tersendiri, maka tuntutan utama masyarakat setempat dengan sendirinya telah dipenuhi. Dan sejak itu penyelesaian pemberontakan Aceh berjalan lancar. Pada 7 April 1962, Kolonel M. Jasin, selaku Panglima Komando Daerah Militer Aceh (KDMA) mengumumkan berlakunya hukum Islam di Aceh. Sebulan kemudian, tokoh utama pemberontak, Daud Beureueh, kembali ke pangkuan Republik. Aceh menjadi aman dan sekaligus bangkit membangun. Bersamaan dengan itu, sejumlah sarjana berusia muda, yang oleh Nazaruddin dikategorikan sebagai cendekiawan sekuler, berdatangan dari perantauan untuk menyumbangkan tenaga mereka. Sumbangan penting Nazaruddin dalam buku ini memang terletak pada keberhasilannya menggambarkan dan menganalisa pemberontakan Aceh dari perspektif dinamika perpolitikan masyarakat daerah itu. Meskipun golongan agama, lewat PUSA, praktis mengontrol kehidupan politik di Aceh tidak lama setelah Revolusi, di dalam masyarakat sebenarnya terdapat dua grup yang berbeda kepentingan. Yaitu, kelompok ulama dan kelompok zuama. Kelompok ulama, di samping mereka memang punya keahlian dalam soal agama Islam, pekerjaan mereka juga berada di sektor agama, seperti juru dakwah, guru agama, dan pimpinan kantor agama kecuali Daud Beureueh, yang diangkat pemerintah pusat menjadi Gubernur Militer pada 1947. Sedangkan kelompok zuama terdiri dari tokoh-tokoh yang pengetahuan agamanya juga luas dan mendalam, tetapi lapangan pekerjaannya adalah dunia administrasi pemerintahan, kecuali sektor-sektor yang bersifat memerlukan spesialisasi, seperti kesehatan. Ali Hasjmy, Teuku Muhammad Amin, dan Syech Marhaban adalah tokoh-tokoh utama kelompok zuama. Sewaktu pemerintah pusat melebur Provinsi Aceh awal 1951, profesi kelompok ulama sebenarnya tidak begitu terancam. Yang terdesak adalah kelompok zuama, terutama pemegang posisi-posisi penting dalam administrasi pemerintahan. Mereka ini terancam turun tingkat, karena kehadiran tenaga-tenaga terdidik dan terampil yang mungkin didatangkan dari luar Aceh. Dari situ dapat dilihat bahwa motor penggerak motif kedaerahan dalam pemberontakan Aceh, terutama kelompok zuama. Ketika pemerintah pusat memutuskan pembentukan kembali Provinsi Aceh pada 1957, tuntutan utama kelompok zuama terpenuhi. Karena itu, alasan mereka untuk meneruskan pemberontakan tidak ada lagi. Maka, proses penyelesaian pemberontakan menjadi lancar. Dan, dalam Provinsi Aceh yang baru, kelompok zuama tampil sebagai kekuatan penting dalam perpolitikan di daerah itu. Keberhasilan mereka membangun kerja sama dengan "cendekiawan sekuler" dari perantauan telah melahirkan dan mengembangkan warna baru kehidupan politik di Aceh. Meskipun esensi uraian dan analisa Nazaruddin tentang pemberontakan Aceh terpusat pada percaturan ulama dan zuama dalam perpolitikan di daerah itu, toh masih dilengkapinya dengan peranan golongan ulama "tradisional", yang sebagian besar tergabung dalam Perti, dan mempunyai basis pengikut yang cukup kuat di pantai Barat Aceh. Nazaruddin juga memperkaya uraian dan analisanya dengan persepsi dan kebijaksanaan pemerintah pusat terhadap pemberontakan tersebut, upaya golongan ulebalang memanfaatkan tragedi itu agar kembali memainkan peranan penting dalam perpolitikan Aceh, kaitannya dengan pemberontakan DI/ TII di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. dalam konteks pemberontakan PRRI, dan dengan perkembangan perpolitikan secara nasional. Tetapi, sebagaimana lazimnya karya ilmiah, buku ini juga tidak luput dari kekurangan. Bagi mereka yang mengetahui secara mendalam proses perpolitikan di Aceh, sejak zaman Revolusi sampai berakhirnya masa pemberontakan, salah satu kelemahan buku ini barangkali adalah kurangnya telaah mengenai persaingan lokal, seperti persaingan antara Pidie dan Aceh Besar. Mereka yang mengenal dekat para sarjana Aceh yang kembali dari perantauan untuk membangun daerah sesudah masa pemberontakan mungkin akan mempertanyakan mengapa kelompok itu dikategorikan sebagai "cendekiawan sekuler". Sekalipun buku ini mengandung beberapa kelemahan, hal itu tidaklah mengurangi penghargaan kita atas kualitas ilmiahnya. Bahasa, uraian, serta analisanya cukup komunikatif dan lancar, sehingga menjadikan buku ini sebuah sumbangan ilmiah yang bermakna. Alfian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus