Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Penerbangan Perdana Parama dan Jelita

Taman Safari Indonesia melepasliarkan elang Jawa hasil penangkaran mereka. Dilengkapi mesin GPS untuk memantau posisi.

31 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Taman Safari Indonesia melepasliarkan sepasang elang Jawa.

  • Keduanya menetas di Taman Safari Indonesia dan berusia lebih dari dua tahun.

  • Parama dan Jelita, nama elang Jawa itu, diharapkan bisa bertahan hidup lebih dari belasan tahun.

Di kaki Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat, mereka mengudara. Sepasang elang Jawa (Nisaetus bartelsi) itu untuk pertama kalinya merasakan hidup bebas di habitat aslinya setelah dilepasliarkan oleh Taman Safari Indonesia bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Senin siang, 30 Januari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parama adalah elang Jawa jantan tetasan 8 Juli 2020 di Pusat Suaka Satwa Elang Jawa (PSSEJ) di Loji, Kabupaten Bogor. Namanya disematkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Sementara itu, sang betina, Jelita, yang menetas pada 14 Oktober 2020 di pusat rehabilitasi satwa Taman Safari Indonesia (TSI), merupakan hasil program in situ dan ex situ TSI bersama PT Smelting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parama dan Jelita dilepasliarkan di hutan primer Gunung Gede-Pangrango ke arah utara secara berbarengan. “Ini adalah pelepasliaran elang Jawa yang pertama di Indonesia," kata Jansen Manangsang, Direktur Taman Safari Indonesia, di lokasi.

Tempat wisata keluarga bertema satwa yang buka sejak 1980 itu sedang dihuni delapan elang Jawa yang menetas di sana. "Kami kembangbiakkan, lalu kami lepaskan untuk mendukung program pencegahan kepunahan,” ujar Jansen.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Spesies, dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indra Exploitasia (kanan); Direktur Taman Safari Indonesia, Jansen Manansang; dan plt Bupati Bogor, Iwan Setiawan, bersiap melepasliarkan burung elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di kaki Gunung Gede-Pangrango, Taman Safari Indonesia, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 30 Januari 2023. ANTARA/Arif Firmansyah

Jadi Lambang Negara tapi Terancam Punah

Seperti namanya, elang Jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa. Mereka hidup di hutan-hutan primer, dari Ujung Kulon di barat sampai Semenanjung Blambangan di timur. Koordinator PSSEJ Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Wardi Septiana, mengatakan, hingga akhir abad XIX, elang Jawa masih digolongkan ke dalam keluarga elang brontok (Nisaetus cirrhatus)—yang juga didapati di wilayah lain di Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Setelah penelitian antara 1907 dan 1920-an, barulah elang Jawa dikategorikan sebagai spesies berbeda. Secara fisik, mereka relatif lebih kecil dan warna cokelatnya lebih pekat. Burung ini menjadi inspirasi Garuda Pancasila, lambang negara sejak 10 Januari 1950.

Sementara Garuda Pancasila ditempatkan secara terhormat, elang Jawa malah terusir. Populasinya terus turun dan terancam punah. Statusnya genting atau endangered menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).

Menurut Wardi, pada 1992, elang Jawa dikategorikan sebagai satwa langka yang dilindungi oleh negara, yang diperkuat dengan Peraturan Menteri LHK Nomor 106 Tahun 2018. "Maka, muncul program in situ dan ex situ seperti ini untuk menjaganya dari kepunahan,” kata dia.

Pada 2018, dia melanjutkan, jumlah elang Jawa diprediksi hanya ada 200 pasang, yang tersebar di seantero Jawa. Upaya konservasi membuat jumlahnya meningkat di kisaran 300 pasang, dengan prediksi total populasi 700-an.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indra Eksploitasia Semiawan, mengatakan pelepasliaran seperti yang berlangsung kemarin merupakan bagian dari ikhtiar menghindarkan elang Jawa dari kepunahan. 

Indra mengatakan elang Jawa merupakan spesies yang populasinya sulit bertambah. Sebab, sekali bertelur, cuma dua butir. "Itu pun hanya satu telur yang bisa menetas," katanya. Sebaliknya, elang Jawa dewasa kian terancam oleh kerusakan hutan dan perburuan liar.

Bhogot, dokter perawat elang Jawa di Taman Safari, mengatakan burung langka tersebut bisa hidup hingga 60 tahun selama makanan dan nutrisinya tercukupi. Namun, saat ini, elang Jawa hanya mampu hidup hingga belasan tahun di alam bebas.

Seekor elang Jawa dilepasliarkan di lereng Gunung Merapi, Sabtu (25/4). Pelepasan ini diawali dengan pengambilan data morfometri, sampel DNA, dan pemberian tanda. TEMPO/Arif Wibowo

Karena itu, Taman Safari menyiapkan betul kondisi Parama dan Jelita sebelum dilepaskan. Petugas membuat pusat rehabilitasi khusus untuk elang Jawa dan membuat formula makanan khusus. "Untuk memperpanjang usia harapan hidupnya," ujar Bhogot. Sebelum dilepasliarkan, keduanya mendapat pelatihan bertahan hidup di habitat teritorial di Taman Safari selama tiga bulan. 

Jansen Manangsang mengatakan Parama dan Jelita dibekali sistem pemosisi global atau GPS. Selain untuk memantau keberadaan mereka, alat seberat 21 gram yang ditempatkan di belakang kepala burung tersebut dapat menginformasikan kecepatan terbang dan cara mereka mencari mangsa. Mesin GPS itu bertenaga surya dan memiliki umur operasional tiga tahun.

Keberadaan Parama dan Jelita di alam bebas bukan sekadar mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. Secara hukum alam, kata Indra, elang Jawa penting untuk menjaga ekosistem. Sebagai predator puncak, mereka berperan menjaga populasi satwa lain di rantai makanan, termasuk memangsa tikus untuk membantu petani dan pekebun dari masa tanam hingga panen.

Siang itu, diiringi senyum tamu undangan, termasuk pelaksana tugas Bupati Bogor, Iwan Setiawan, Parama dan Jelita meninggalkan kandang mereka di kaki Gunung Gede-Pangrango. Jelita, yang lebih muda, terbang beberapa kepak di depan Parama, yang sama-sama mengarah ke utara. Sepasang elang Jawa itu kembali ke tanah asal leluhur mereka, hutan primer Jawa, meninggalkan rasa haru bagi para petugas yang bertahun-tahun merawat mereka. "Sedih memang. Tapi mereka harus kembali ke alam liar agar populasinya terus meningkat," ujar Bhogot.

M.A. MURTADHO (KABUPATEN BOGOR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus