Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa salah satu hal penting dalam perlindungan satwa liar yang harus menjadi perhatian adalah keberadaan koridor satwa. Oleh karena itu, Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam, Hayati, dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) yang disahkan pekan lalu mengatur koridor ekologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Satyawan Pudyatmoko, mengatakan koridor satwa berfungsi sebagai jalur alami bagi pergerakan satwa liar. Koridor ini penting sebagai akses untuk satwa berpindah antarhabitat dengan aman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Koridor juga tidak hanya menghubungkan antarhabitat, tetapi juga memberikan ruang untuk gene-flow di dalam suatu populasi," kata Satyawan melalui pesan tertulis kepada Tempo, Senin, 15 Juli 2024.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat mengesahkan UU KSDAHE pada Selasa, 9 Juli lalu. Undang-undang ini merevisi UU Nomor 5 Tahun 1990.
Revisi undang-undang ini dianggap mendesak lantaran meningkatnya sejumlah persoalan konservasi. Konflik antara satwa liar dan manusia, misalnya, terus melonjak. Selama periode 2022-2023 konflik satwa-manusia tercatat sebanyak 1.499 kejadian.
Menurut Satyawan, koridor ekologi atau koridor satwa liar dapat berkontribusi pada tiga faktor untuk menstabilkan populasi. Faktor pertama berupa kolonisasi, yaitu hewan dapat berpindah dan menempati area baru ketika sumber makanan atau sumber daya alam lainnya kurang di habitat intinya. Kedua adalah migrasi atau spesies yang berpindah secara musiman dapat melakukannya dengan lebih aman dan efektif bila tidak mengganggu hambatan pembangunan manusia. Adapun faktor ketiga adalah meningkatkan keragaman genetik dengan memudahkan satwa menemukan pasangan baru sekaligus menghindarkan perkawinan sekerabat atau inbreeding.
"Dengan adanya koridor ekologi maka dapat meningkatkan ketersediaan habitat yang aman bagi satwa, dan juga merupakan penghubung habitat-habitat yang terpisah," kata Satyawan. "Sehingga mengurangi pergerakan satwa ke areal pemukiman masyarakat maupun areal aktifitas manusia lainnya seperti perkebunan dan pertanian."
Satyawan mengatakan, pembuatan koridor ekologi ini juga harus dibarengi dengan komitmen untuk
melakukan monitoring yang melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat. Dia mencontohkan Koridor Bentang Alam Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, yang merupakan merupakan kesatuan habitat yang terdiri dari wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan fungsi kawasan hutan di sekitarnya. "Koridor ini untuk gajah, orangutan, harimau," ujarnya.
Contoh lainnya adalah Koridor Trumon. Koridor alam pertama di Provinsi Aceh ini dibangun di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sepanjang 2,8 kilometer, dengan luas total 2.700 hektare. "Koridor ini menghubungkan dua blok hutan kaya akan spesies satwa, lembah Bengkung yang merupakan hutan tropis pegunungan di bagian utara dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil di bagian selatan untuk orangutan dan harimau," kata Satyawan.
Ada pula koridor satwa di kawasan konservasi, yaitu antara Taman Nasional Berbak Sembilang dan Suaka Marga Satwa Dangku di Sumatera Selatan untuk jalur harimau, pembangunan terowongan perlintasan gajah di ruas jalan tol Dumai-Pekanbaru di Riau, serta pembangunan terowongan perlintasan satwa liar di ruas Sigli-Banda Aceh (Sibanceh).