Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berita Tempo Plus

Kota-kota di ambang bencana

Debit air tanahnya merosot tajam dan bandung terancam kering. jakarta dirembesi air laut. sektor industri begitu rakus menyedot air tanah, sehingga tanah akan berongga, retak, lalu amblas.

7 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Kota-kota di ambang bencana
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BENCANA longsor sedang mengintai kota-kota besar di Pulau Jawa. Peringatan ini bukan untuk menakut-nakuti mereka yang kini sedang tergila-gila mencari apartemen atau kondominium. Bukan itu. Berdasarkan pemantauan yang terus-menerus, diketahui bahwa persediaan air tanah banyak berkurang hingga batu-batu dan tanah mengisut. Dari sini, mata rantai sebab-akibat itu akan berakhir pada berubahnya posisi lapisan-lapisan tanah, sehingga kemudian perut bumi mengerut dan tak kuat lagi menyangga kota- kota besar yang berdiri di atasnya. Lalu permukaan tanah turun dan rumah-rumah pun amblas. Gejala itu sudah diantisipasi sejak 20 tahun silam. Waktu itu, penurunan lapisan tanah di Bangkok acap dijadikan contoh. Penyebabnya tak jauh berbeda, yakni penyedotan air tanah secara besar-besaran. Dalam hal ini, yang bisa dituding tidak hanya sektor industri, tapi juga permukiman penduduk. Lihatlah, di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang tengah terjadi krisis air. Perembesan air laut di muara Sungai Cisadane dan Cakung juga merupakan indikator kegawatan. Begitu pula penurunan permukaan air tanah di Jakarta yang sampai 34 meter sepanjang tahun 1992. Terganggunya debit air tanah di tempat-tempat tersebut membuat permukaan tanah turun. Jakarta Utara, misalnya, melorot 220 cm. Itu belum apa-apa karena di Bandung permukaan air tanah turun 23 meter per tahun. Bahkan, di kawasan padat industri, penurunannya mencapai enam meter per tahun. Diperkirakan, sebelum tahun 2000, Bandung akan kering dan harus mendatangkan air minum dari luar daerah. Penurunan air tanah juga terjadi di Semarang. Menurut Kepala Dinas Pertambangan Jawa Tengah, Soeprajitno, setiap tahun tanah di sana turun 13 meter. Agaknya karena tergugah oleh gejala yang mengkhawatirkan itu, pekan lalu ITB bersama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup mengadakan simposium tentang air. Dihadiri 200 peserta, simposium itu menampilkan 38 masalah lingkungan hidup, khususnya yang berkaitan dengan air. Menurut Direktur Geologi dan Tata Lingkungan Bandung, P.H. Silitonga, krisis air sudah berlangsung tiga tahun terakhir ini. Hal itu sesungguhnya bisa dihindari asalkan penyedotan air sebanding dengan air hujan yang masuk ke dalam tanah. Namun, jumlah industri cepat meningkat dan semakin sedikit pula daerah yang bisa menyerap air hujan. Ini ikut mempercepat penyusutan air tanah. Kawasan Bandung Utara, misalnya, kini sebagian besar sudah tertutup perumahan dan hotel. Akibatnya, seperti kata Silitonga, air hujan yang berfungsi mengisi tandon air tanah mengalir begitu saja ke sungai, dan volume air tanah terus- menerus turun. Sementara pada tahun 1980-an penurunan air tanah masih di bawah satu meter, kini penurunannya rata-rata 23 meter. Penurunan air yang sangat parah terjadi di daerah industri, seperti Leuwi Gajah dan Cicadas. Ikut terancam: Dayeuh Kolot, Buah Batu, Cimahi, Cibiru, dan Ujung Berung. Krisis air tanah di sekitar Bandung diduga terjadi karena tidak terpenuhinya suplai air yang dibutuhkan industri oleh PDAM. Akibatnya, sektor industri beramai-ramai menyedot air tanah, terutama industri tekstil yang memang rakus air. Menurut catatan Kanwil Perindustrian Jawa Barat, di Bandung terdapat 885 pabrik tekstil yang tiap tahun menelan 42 juta meter kubik air. Nah, jika kandungan air tanah di sana 78 juta meter kubik setahun ini perkiraan sepuluh tahun lalu itu berarti pabrik tekstil mengonsumsi 53% air tanah. Selain ''dosa'' sektor industri, sebagian besar sumur pun tak terkontrol. Memang ada peraturan yang mengharuskan pengeboran air tanah dengan seizin gubernur. Namun, dari hampir 300 perusahaan (dengan 800 titik bor) yang terkena penertiban pada tahun 1992, 55% di antaranya tidak memiliki surat izin pengambilan air. Penyedotan yang membabi buta mengakibatkan air tanah dari lapisan dangkal (060 meter) mengalir ke air tanah dalam. Ini berarti sumur penduduk akan kering. Dalam jangka panjang, terjadilah rongga-rongga. Lalu, bangunan dan jalan yang berdiri di atasnya akan retak, kemudian ambruk. Untuk mengatasi krisis itu, Silitonga mengusulkan agar menambah sumber air permukaan. Berarti, untuk air industri, harus digunakan air dari sungai. Alternatif lain, kata Silitonga, adalah menginjeksikan air ke dalam tanah. Cara ini sudah dicoba di beberapa negara, termasuk di Cina. ''Tapi cara ini rumit dan mahal,'' ujar Silitonga. Sebenarnya, upaya mengamankan air tanah sudah lama dilakukan Pemerintah. Izin gubernur untuk setiap pengeboran, misalnya, harus mendapat rekomendasi dari Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan. Sementara itu, setiap pengambilan air sebanyak lebih dari 50 liter per detik, atau pembuatan lima sumur bor untuk kurang dari 10 ha, harus dilengkapi dengan analisa dampak lingkungan. Bahkan, untuk memantau air tanah, Pemda DKI tidak lama lagi akan menggunakan empat buah ekstensometer. Nah, dengan perangkat lunak dan keras itu, bisakah pembuatan sumur bor dihentikan? Belum tentu. Selama Perusahaan Air Minum (PAM) belum mampu mencukupi kebutuhan air untuk industri dan penduduk, sumur-sumur bor tampaknya akan bekerja lebih keras dan menyedot air semakin dalam. Maka, demi anak-cucu kita, waspadalah. Bambang Aji, Asikin, dan Bandelan Amarudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus