Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menghadiri rapat paripurna ke-21 pada Selasa, 9 Juli 2024, berteriak setuju. Mereka merespons pemimpin rapat, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, yang meminta pendapat ihwal pengesahan Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE) menjadi undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum pengesahan Undang-Undang Konservasi itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR Budisatrio Djiwandono membacakan laporan komisi atas RUU KSDAHE. Menurut dia, materi perubahan dalam RUU KSDAHE yang disepakati antara lain penambahan bab tentang pendanaan dan perubahan bab tentang peran serta masyarakat. Juga penghapusan bab tentang penyerahan urusan dan tugas pembantuan. Selain itu, ada penambahan delapan pasal baru dan perubahan atas 17 pasal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merespons perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang baru disahkan itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilainya rawan memicu konflik dalam pengelolaan kawasan. Dalam catatan Walhi, ada 6.747 desa yang dihuni oleh 16,3 juta warga di dalam kawasan konservasi. Saat ini ada 27,4 juta hektare kawasan konservasi.
Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi Satrio Manggala menyebutkan penetapan kawasan konservasi yang sentralistis bisa memicu kriminalisasi terhadap masyarakat lokal dan masyarakat adat. "Undang-Undang KSDAHE juga menggunakan pendekatan represif untuk memastikan berjalannya kegiatan konservasi,” kata Satrio yang dihubungi pada Rabu, 10 Juli 2024. “Hal ini terlihat dari sanksi dan pemidanaan yang lebih berorientasi pidana penjara.”
Menurut dia, sanksi pidana tersebut juga tidak ditujukan untuk korporasi, melainkan individu, sehingga membuka lebih banyak potensi kriminalisasi. Padahal, Satrio meneruskan, pidana konservasi memiliki motif ekonomi, maka seharusnya lebih menekankan sanksi berupa denda dan perampasan aset.
Satrio juga menilai bahwa isu konservasi belum menjadi prioritas pengambil kebijakan. “Padahal ini isu penting untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan krisis ekosistem,” tuturnya.
Suasana rapat paripurna ke-21 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung Nusantara II, kompleks Parlemen. Senayan, 9 Juli 2024. ANTARA/Rivan Awal Lingga
Kritik terhadap RUU KSDAHE, yang kini telah menjadi Undang-Undang Konservasi, pun dikemukakan Greenpeace Indonesia. Organisasi non-pemerintah ini menilai ada sederet masalah dalam proses penyusunan wet tersebut, antara lain pembahasannya minim pelibatan masyarakat dan kurang transparan.
“Sejumlah organisasi masyarakat sipil kesulitan memonitor prosesnya. Pemerintah dan DPR patut ditengarai telah mengabaikan partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU KSDAHE,” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, pada Jumat, 12 Juli 2024.
Secara substansi, kata Sekar, Undang-Undang KSDAHE juga bermasalah. Undang-undang ini masih menggunakan paradigma lama, yang mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pelindungan ekosistem. Pemerintah dan DPR tak mengakomodasi usulan masyarakat sipil agar memastikan adanya pengakuan, partisipasi, serta pelindungan masyarakat adat dan komunitas lokal.
Kendati ada pasal yang menyebutkan peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat, kata Sekar, itu hanya formalitas. Sebab, proses penetapan kawasan konservasi dalam Undang-Undang Konservasi bersifat sangat sentralistis karena berada di bawah kewenangan pemerintah pusat.
"Hal ini amat berpotensi memicu konflik dengan masyarakat setempat yang kehilangan ruang hidup dan tempat beraktivitas,” tutur Sekar. “Watak yang sentralistis ini diperparah oleh pasal-pasal sanksi pidana terhadap perorangan, yang berpotensi menambah panjang deret kriminalisasi warga.”
Menurut Sekar, konservasi seharusnya mengacu pada Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diratifikasi pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994. "Konvensi ini mengatur bahwa negara semestinya mengakui ketergantungan yang erat dan berciri tradisional sejumlah masyarakat asli dan masyarakat setempat, yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya secara berkelanjutan."
Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menambahkan, poin bermasalah lain adalah pemanfaatan jasa lingkungan untuk beberapa hal, seperti panas bumi dan karbon. Menurut dia, ketentuan ini jelas kontradiktif dengan tujuan konservasi untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati tersisa. Kegiatan operasional ekstraksi panas bumi sangat berisiko, berpotensi merusak lingkungan, serta mengganggu ekosistem hutan.
“Pembangkit listrik terbarukan skala besar, termasuk hidro dan geotermal, membutuhkan pengawasan yang jauh lebih ketat mengenai analisis risiko dan dampak sosial, ekonomi, serta lingkungannya,” tutur Hadi. “Pembangunan pembangkit panas bumi di kawasan taman nasional, hutan lindung, dan wilayah masyarakat adat, serta area yang berpotensi besar menimbulkan konflik sosial membawa mudarat yang jauh lebih besar daripada manfaatnya.”
Hadi menjelaskan, adanya klausul pemanfaatan jasa lingkungan berupa karbon jelas mengindikasikan niat pemerintah untuk berbisnis karbon. Hal ini memungkinkan perusahaan pencemar lingkungan melakukan praktik greenwashing dengan menggunakan uangnya untuk bisnis konservasi.
Undang-Undang Konservasi ini juga tidak akan cukup mencapai target 30 × 30 guna melindungi setidaknya 30 persen daratan dan 30 persen lautan pada 2030, yang telah disepakati dalam Kerangka Kerja Biodiversitas Global Kunming-Montreal 2022. "Apalagi substansi Undang-Undang KSDAHE masih cenderung bias darat, misalnya dalam pengaturan tentang area preservasi yang tak memasukkan pelestarian di area laut," ucap Hadi.
Sekar menambahkan, berdasarkan data Greenpeace hingga 2020, lebih dari 54 persen kawasan hutan sudah merupakan kawasan lindung, tapi baru 8,7 persen kawasan penting laut yang telah dilindungi secara hukum. Pemerintah Indonesia berencana menambah luasan kawasan konservasi perairan laut hingga 32,5 juta hektare pada 2030 dan secara bertahap menjadi 30 persen pada 2045.
“Kita menghadapi ancaman krisis iklim dan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati, tapi pemerintah dan DPR masih saja bermain-main dengan komitmen pelindungan lingkungan yang sifatnya semu,” kata Sekar.
Anggota Komisi IV DPR, Anggia Erma Rini, mengatakan sudah mengakomodasi usulan masyarakat sipil perihal keterlibatan masyarakat dan masyarakat adat di dalam ataupun luar wilayah konservasi menjadi bagian dari pengaturan dalam Undang-Undang KSDAHE. "Baik dalam pengelolaan konservasi sumber daya alam maupun lainnya, terutama ekonomi," ucapnya kepada Tempo, Selasa, 9 Juli 2024.
Pengaturan lain, kata dia, adalah pengelolaan koridor ekologi. Pengaturan ini bertujuan agar satwa liar bisa bergerak lebih baik dalam kawasan hutan serta menghindari konflik antara satwa liar dan masyarakat.
Pengaturan penting lainnya, menurut Anggia, adalah penegakan hukum. "Undang-Undang Konservasi sudah lama, tahun 1990. Itu sudah sangat tidak relevan. Cara menghukumnya tidak maksimal efek jeranya. Dalam diskusi disebutkan ini kriminal yang luar biasa," ucapnya.
Menurut Anggia, pengaturan berikutnya yang menjadi fokus adalah pendanaan konservasi. "Dana itu penting untuk pengembangan teknologi dan inovasi demi meningkatkan efektivitas konservasi. Negara memiliki kewajiban meningkatkan teknologi sehingga konservasi bisa berjalan proporsional," ucapnya.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Satyawan Pudyatmoko mengatakan salah satu prioritas adalah pengaturan kegiatan konservasi di kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA); kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil (KKPWP3K); serta area preservasi. Pengaturan ini diharapkan dapat memperkuat penyelenggaraan KSDAHE di kawasan tersebut.
Anggota kelompok pengelola mangrove (KPM) berpatroli di sekitar kawasan hutan konservasi mangrove Teluk Pambang di Kecamatan Bantan, Bengkalis, Riau, 9 Juli 2024. ANTARA/Aswaddy Hamid
Untuk ekosistem penting di luar kawasan hutan konservasi dan hutan negara, kata Satyawan, telah diformulasikan dalam format baru dengan tujuan untuk menjamin penerapan prinsip konservasi di luar area KSA, KPA, dan KKPWP3K. "Dengan demikian, ekosistem penting termasuk keberadaan tumbuhan dan satwa liar di luar KSA, KPA, dan KKPWP3K mendapatkan kepastian hukum dalam pengelolaannya," katanya kepada Tempo, Jumat, 12 Juli 2024.
Perbaikan lain, kata Satyawan, adalah penguatan larangan, sanksi, serta pidana untuk menjaga keutuhan KSA dan KPA. Juga termasuk pidana untuk kejahatan yang menggunakan media sosial. Hal itu mempertegas dan memperberat sanksi pidana, termasuk pemberatan sanksi untuk korporasi; sanksi tambahan, antara lain ganti rugi; biaya pemulihan ekosistem; serta biaya rehabilitasi, translokasi, dan pelepasliaran satwa.
Selanjutnya, kata dia, yang juga menjadi prioritas adalah aspek pendanaan untuk biodiversitas. Pendanaan itu antara lain dana konservasi, dana perwalian, serta insentif atas kinerja memperkuat penyelenggaraan KSDAHE, dan untuk para pihak yang telah berperan serta mendukung penyelenggaraan konservasi.
Ihwal keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan konservasi, menurut Satyawan, telah diatur dalam Undang-Undang KSDAHE ini, dengan menegaskan posisi dan peran masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat. Dia menambahkan, posisi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan KSDAHE itu diperkuat oleh berbagai instrumen kebijakan. “Dalam implementasinya, akan selalu berkaitan dengan berbagai relevansi sosial.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo