Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kritis sesudah penghijauan

Di atas kertas, usaha penghijauan di beberapa daerah berhasil, tapi kenyataannya lain. tanaman tak terurus karena tak ada dana pemeliharaan. jenis bibit tak disesuaikan dengan kondisi tanah. (ling)

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJALENGKA sering juga disebut "Kota Angin", terutama di musim kemarau. Tapi sekarang ciri utama Majalengka ialah hujannya deras dan langitnya mendung. Kenyataan ini membuat orang di Desa Sangiang dan Sunia, Kecamatan Talaga, selalu khawatir kalau terulang bencana seperti sesudah Hari Natal. Kini orang di sana masih sibuk menolong penduduk dan membenahi kerusakan akibat banjir dan tanah longsor. Sementara masih banyak mayat korban bencana itu belum ditemukan. Malapetaka itu terjadi karena hutan dan tanamannya, yang berfungsi sebagai pengikat tanah, habis dibabat. Padahal dalam Pekan Penghijauan tahun 1979, Majalengka sempat menjadi juara pertama dari semua kabupaten di Ja-Bar. Dari 3.000 ha lebih yang ditanami bibit jenis albasia, 54% tumbuh. Ini melampaui standal keberhasilan 50% yang ditetapkan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Ditjen Kehutanan. Tapi jenis albasia kurang cocok dengan keadaan tanah Majalengka, menurut Mohammad Rochman, Petugas Khusus Penghijauan di Kabupaten itu. Bibit albasia didrop dari pusat dengan alasan untuk menyuburkan tanah. Sedang problem di sana bukan kesuburan tanah, melainkan tanah kritis. Gagal "Kami selalu mengusulkan agar didrop tanaman yang sesuai dengan keadaan setempat," ujar Rochman. Di pusat agaknya orang berpegang pada prinsip rehabilitasi kesuburan tanah, tapi tidak menanggulangi tanah kritis yang mudah longsor. Petugas penghijauan lain di daerah itu mengaku bahwa tanah kritis malah bertambah. Dalam Pelita I masih tercatat 14 ribu ha tanah kritis. Ini menjadi 17 ribu ha pada Pelita II, dan bahkan pada Pelita III menjadi 20 ribu ha. Meski begitu, upaya penghijauan tidak pernah berhenti. Seorang pejabat Pemda Majalengka, Ir. Sugiarhadi, menyimpulkan bahwa program penghijauan di kabupaten itu sudah gagal. "Sebaiknya itu dihentikan dulu sambil orang menyusun sistem penghijauan yang lebih baik," ujarnya pekan lalu kepada TEMPO. "Gagal? Itu kata yang terlalu sadis," ujar Ir. Apandi Mangindikoro di Jakarta. Direktur Reboisasi dan Rehabilitasi Ditjen Kehutanan itu menilai hasil program penghijauan di beberapa provinsi. "Ada yang prestasinya baik dan ada yang kurang baik," ujarnya. Menurut Apandi, sering ada kesulitan pengadaan bibit yang cukup umur dengan kualitas baik. Dana sering terlambat, sementara musim persemaian sudah tiba. Itu dialami di Majalengka. Bibit albasia maksimal tahan dua hari setelah dicabut dari tempat persemaian. Karena terlambat bibit sampai di tempat penanaman kembali, penduduk terpaksa menanam yang sudah layu. Masih untung kalau 15% tumbuh. Pemeliharaan selanjutnya? Ini tergantung dari jenis bibit yang ditanam. "Kalau sesuai dengan kebutuhan rakyat, pohonnya dirawat," ujar Rochman. "Kalau tidak, ya, dibiarkan rakyat begitu saja." Di banyak tempat malah tanaman itu dicabut lagi beberapa saat setelah upacara penghijauan selesai. Soalnya ialah penghijauan mungkin akan mengganggu tanaman jangka pendek seperti singkong dan jagung. "Perut lebih mendesak daripada memelihara albasia," ucap Saiman, petani Desa Nunuk di Kecamatan Maja. Perawatan dan pengawasan kawasan yang sudah dihijaukan memang jadi masalah. Tak ada dana resmi untuk itu. Urusannya selalu menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Tapi karena tak ada biaya, lokasi penghijauan tak terurus. Di Riau, misalnya, seluas 500 ha di Muaramahat. Kabupaten Kampar yang tahun 1977 ditanami bibit pinus tahun lalu dimakan api. Lokasi proyek penghijauan dan transmigrasi juga sering keliru. Misalnya Proyek Penghijauan DAS Rokan seluas 4.500 ha yang masih di Kabupaten Kampar. Di situ terdapat 50.000 ha tanah kritis dan padang ilalang yang harus ditanggulangi. Lokasi itu ternyata direncanakan juga untuk Proyek Transmigrasi. Kedua proyek yang tumpang tindih itu saling tak mau mengalah karena terjerat DIP. Sampai saat ini soalnya masih terkatung-katung. Juga pemilihan jenis tanaman sering menjadi ganjelan. Seperti kasus penghijauan di Toar, Bukitbetapuh, Petapahan di Kabupaten Inderagiri Hulu. Terpilih jenis pinus maskusi yang ditanami di sela pohon karet rakyat. Kemudian penduduk protes, hingga penghijauan dihentikan. Gubernur Riau, Imam Munandar, menyatakan bahwa target luas kawasan yang harus dihijaukan tak pernah tercapai di provinsinya. Yang ditetapkan 2.000 ha, sampai akhir tahun anggaran tercapai 500 ha saja. Lain lagi ceritanya di Sum-Ut. Selama 4 tahun rata-rata dihijaukan 40.000 ha setiap tahun. Sementara itu, akibat kebakaran dan penggundulan, muncul tanah kritis baru sebanyak 40.000 ha tiap tahun. "Kapan Sumatra Utara ini bisa jadi hijau kalau begitu?" tanya Menteri Negara PPLH, Emil Salim, ketika berkunjung ke sana November lalu. Penghijauan Sum-Ut lebih sukses di atas kertas ketimbang di lapangan. Di Kabupaten Simalungun, misalnya, konon lewat Proyek Inpres, 12.000 ha yang gundul sudah dihijaukan kembali. Tapi di kiri kanan jalan menuju kota turis Parapat, perbukitan tetap kelihatan gundul. Kecuali satu-satu pohon pinus sana sini. Bupati Simalungun, Djohan P. Silitonga, sampai pekan lalu belum mau menandatangani berita acara Inpres Penghijauan tahun ini. "Saya tandatangani kalau proyeknya sudah saya periksa," ujarnya. Silitonga memang berhati-hati. Ada 5.000 ha yang dihijaukan tahun-tahun sebelumnya di atas kertas, tapi "pinusnya banyak yang mati," ujar Bupati. Tak sampai 25% pinus itu yang tumbuh, terutama di Sibagading, Gajagpokki dan Tanjungdolok. Menurut Bupati Simalungun itu, rakyat atau anak pramuka menanam secara sembrono. Banyak bibit pinus ditanam bersama plastik pembungkusnya. Akibatnya pohon tak bisa tumbuh. Setelah ditanam, ditinggal. "Penduduk tak merasa manfaat langsung tanaman itu." ujar Ned Riahman Poerba, seorang motivator gereja GKPS di Saribudolok. Di Sibagading 15 ha bukit gundul yang ditanami pinus November lalu dipelopori Menteri Emil Salim -- hampir tak ada yang tumbuh karena tak dipelihara. "Habis dimakan ternak penduduk," ujar Bupati Simalungun. Mengatasi ternak nakal itu rupanya ada berbagai cara. "Sudah empat ekor kambing saya patahkan kakinya," ujar Haji Masykur, Lurah Karanganyar, Kecamatan Tugu di Kotamadya Semarang, Ja-Teng. Lurah yang gemar memelihara dan naik kuda itu menjelaskan bahwa desanya menerima 6 ribu bibit kapuk randu. Menanamnya secara gotong royong tapi pemeliharaannya tidak. Ongkos pemeliharaan dari pemerintah tidak ada. Ia tak sampai hati membebani penduduk, ujarnya kepada TEMPO. "Terpaksa saya ongkosi sendiri." Ir. Wasono, Ketua Badan Pelaksana Pengawetan Tanah dan Penghijauan Kotamadya Semarang, mengakui pemeliharaan yang diserahkan kepada penduduk tidak berjalan baik. "Pohonnya mati, malah ada yang hilang." Kotamadya Semarang setelah diperluas ke arah barat dan selatan kini mencakup juga daerah hutan. Tapi Inpres Penghijauan dan Reboisasi untuk Kodya Semarang digabung dengan Kabupaten Semarang, tetangganya. Cara begitu "kurang tepat," komentar Ir. Wasono. "Kotamadya Semarang sekarang kan punya gunung dan hutan." Jawa Timur dinyatakan berhasil menghijaukan sekitar 200 ribu ha tanah kritis. Tapi anehnya setelah 5 tahun menjalankan penghijauan, jumlah tanah kritis masih tercatat sekitar 270 ribu ha -- hanya sedikit susut. Bandingkan, tercatat 280 ribu ha tanah kritis sebelum dimulai Proyek Inpres Penghijauan dan Reboisasi di Ja-Tim. "Tanah yang satu selesai dihijaukan, se]alu timbul tanah kritis baru," ujar seorang pejabat Pemda Ja-Tim. "Mestinya sejak 2 tahun lalu Ja-Tim sudah bebas dari tanah kritis." Menurut catatan resmi, Dana Inpres Penghijauan dan Reboisasi selama lima tahun anggaran mencapai lebih Rp 156 milyar dengan target hampir 4 juta ha. Yaitu 2,8 juta ha yang dihijaukan dan 1,15 juta ha yang direboisasi. Angka keberhasilannya -- belum termasuk hasil tahun anggaran 80/81 -- ialah 43% untuk penghijauan dan 68% untuk reboisasi. Demikian di atas kertas. Kenyataannya di lapangan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus