MAJALENGKA sering juga disebut "Kota Angin", terutama di musim
kemarau. Tapi sekarang ciri utama Majalengka ialah hujannya
deras dan langitnya mendung. Kenyataan ini membuat orang di Desa
Sangiang dan Sunia, Kecamatan Talaga, selalu khawatir kalau
terulang bencana seperti sesudah Hari Natal. Kini orang di sana
masih sibuk menolong penduduk dan membenahi kerusakan akibat
banjir dan tanah longsor. Sementara masih banyak mayat korban
bencana itu belum ditemukan.
Malapetaka itu terjadi karena hutan dan tanamannya, yang
berfungsi sebagai pengikat tanah, habis dibabat. Padahal dalam
Pekan Penghijauan tahun 1979, Majalengka sempat menjadi juara
pertama dari semua kabupaten di Ja-Bar. Dari 3.000 ha lebih yang
ditanami bibit jenis albasia, 54% tumbuh. Ini melampaui standal
keberhasilan 50% yang ditetapkan Direktorat Reboisasi dan
Rehabilitasi Ditjen Kehutanan.
Tapi jenis albasia kurang cocok dengan keadaan tanah Majalengka,
menurut Mohammad Rochman, Petugas Khusus Penghijauan di
Kabupaten itu. Bibit albasia didrop dari pusat dengan alasan
untuk menyuburkan tanah. Sedang problem di sana bukan kesuburan
tanah, melainkan tanah kritis.
Gagal
"Kami selalu mengusulkan agar didrop tanaman yang sesuai dengan
keadaan setempat," ujar Rochman. Di pusat agaknya orang
berpegang pada prinsip rehabilitasi kesuburan tanah, tapi tidak
menanggulangi tanah kritis yang mudah longsor.
Petugas penghijauan lain di daerah itu mengaku bahwa tanah
kritis malah bertambah. Dalam Pelita I masih tercatat 14 ribu ha
tanah kritis. Ini menjadi 17 ribu ha pada Pelita II, dan bahkan
pada Pelita III menjadi 20 ribu ha. Meski begitu, upaya
penghijauan tidak pernah berhenti.
Seorang pejabat Pemda Majalengka, Ir. Sugiarhadi, menyimpulkan
bahwa program penghijauan di kabupaten itu sudah gagal.
"Sebaiknya itu dihentikan dulu sambil orang menyusun sistem
penghijauan yang lebih baik," ujarnya pekan lalu kepada TEMPO.
"Gagal? Itu kata yang terlalu sadis," ujar Ir. Apandi
Mangindikoro di Jakarta. Direktur Reboisasi dan Rehabilitasi
Ditjen Kehutanan itu menilai hasil program penghijauan di
beberapa provinsi. "Ada yang prestasinya baik dan ada yang
kurang baik," ujarnya.
Menurut Apandi, sering ada kesulitan pengadaan bibit yang cukup
umur dengan kualitas baik. Dana sering terlambat, sementara
musim persemaian sudah tiba.
Itu dialami di Majalengka. Bibit albasia maksimal tahan dua hari
setelah dicabut dari tempat persemaian. Karena terlambat bibit
sampai di tempat penanaman kembali, penduduk terpaksa menanam
yang sudah layu. Masih untung kalau 15% tumbuh.
Pemeliharaan selanjutnya? Ini tergantung dari jenis bibit yang
ditanam. "Kalau sesuai dengan kebutuhan rakyat, pohonnya
dirawat," ujar Rochman. "Kalau tidak, ya, dibiarkan rakyat
begitu saja."
Di banyak tempat malah tanaman itu dicabut lagi beberapa saat
setelah upacara penghijauan selesai. Soalnya ialah penghijauan
mungkin akan mengganggu tanaman jangka pendek seperti singkong
dan jagung. "Perut lebih mendesak daripada memelihara albasia,"
ucap Saiman, petani Desa Nunuk di Kecamatan Maja.
Perawatan dan pengawasan kawasan yang sudah dihijaukan memang
jadi masalah. Tak ada dana resmi untuk itu. Urusannya selalu
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Tapi karena tak ada
biaya, lokasi penghijauan tak terurus. Di Riau, misalnya, seluas
500 ha di Muaramahat. Kabupaten Kampar yang tahun 1977 ditanami
bibit pinus tahun lalu dimakan api.
Lokasi proyek penghijauan dan transmigrasi juga sering keliru.
Misalnya Proyek Penghijauan DAS Rokan seluas 4.500 ha yang masih
di Kabupaten Kampar. Di situ terdapat 50.000 ha tanah kritis dan
padang ilalang yang harus ditanggulangi. Lokasi itu ternyata
direncanakan juga untuk Proyek Transmigrasi. Kedua proyek yang
tumpang tindih itu saling tak mau mengalah karena terjerat DIP.
Sampai saat ini soalnya masih terkatung-katung.
Juga pemilihan jenis tanaman sering menjadi ganjelan. Seperti
kasus penghijauan di Toar, Bukitbetapuh, Petapahan di Kabupaten
Inderagiri Hulu. Terpilih jenis pinus maskusi yang ditanami di
sela pohon karet rakyat. Kemudian penduduk protes, hingga
penghijauan dihentikan.
Gubernur Riau, Imam Munandar, menyatakan bahwa target luas
kawasan yang harus dihijaukan tak pernah tercapai di
provinsinya. Yang ditetapkan 2.000 ha, sampai akhir tahun
anggaran tercapai 500 ha saja.
Lain lagi ceritanya di Sum-Ut. Selama 4 tahun rata-rata
dihijaukan 40.000 ha setiap tahun. Sementara itu, akibat
kebakaran dan penggundulan, muncul tanah kritis baru sebanyak
40.000 ha tiap tahun. "Kapan Sumatra Utara ini bisa jadi hijau
kalau begitu?" tanya Menteri Negara PPLH, Emil Salim, ketika
berkunjung ke sana November lalu.
Penghijauan Sum-Ut lebih sukses di atas kertas ketimbang di
lapangan. Di Kabupaten Simalungun, misalnya, konon lewat Proyek
Inpres, 12.000 ha yang gundul sudah dihijaukan kembali. Tapi di
kiri kanan jalan menuju kota turis Parapat, perbukitan tetap
kelihatan gundul. Kecuali satu-satu pohon pinus sana sini.
Bupati Simalungun, Djohan P. Silitonga, sampai pekan lalu belum
mau menandatangani berita acara Inpres Penghijauan tahun ini.
"Saya tandatangani kalau proyeknya sudah saya periksa," ujarnya.
Silitonga memang berhati-hati. Ada 5.000 ha yang dihijaukan
tahun-tahun sebelumnya di atas kertas, tapi "pinusnya banyak
yang mati," ujar Bupati. Tak sampai 25% pinus itu yang tumbuh,
terutama di Sibagading, Gajagpokki dan Tanjungdolok.
Menurut Bupati Simalungun itu, rakyat atau anak pramuka menanam
secara sembrono. Banyak bibit pinus ditanam bersama plastik
pembungkusnya. Akibatnya pohon tak bisa tumbuh. Setelah ditanam,
ditinggal. "Penduduk tak merasa manfaat langsung tanaman itu."
ujar Ned Riahman Poerba, seorang motivator gereja GKPS di
Saribudolok.
Di Sibagading 15 ha bukit gundul yang ditanami pinus November
lalu dipelopori Menteri Emil Salim -- hampir tak ada yang tumbuh
karena tak dipelihara. "Habis dimakan ternak penduduk," ujar
Bupati Simalungun.
Mengatasi ternak nakal itu rupanya ada berbagai cara. "Sudah
empat ekor kambing saya patahkan kakinya," ujar Haji Masykur,
Lurah Karanganyar, Kecamatan Tugu di Kotamadya Semarang,
Ja-Teng. Lurah yang gemar memelihara dan naik kuda itu
menjelaskan bahwa desanya menerima 6 ribu bibit kapuk randu.
Menanamnya secara gotong royong tapi pemeliharaannya tidak.
Ongkos pemeliharaan dari pemerintah tidak ada. Ia tak sampai
hati membebani penduduk, ujarnya kepada TEMPO. "Terpaksa saya
ongkosi sendiri."
Ir. Wasono, Ketua Badan Pelaksana Pengawetan Tanah dan
Penghijauan Kotamadya Semarang, mengakui pemeliharaan yang
diserahkan kepada penduduk tidak berjalan baik. "Pohonnya mati,
malah ada yang hilang."
Kotamadya Semarang setelah diperluas ke arah barat dan selatan
kini mencakup juga daerah hutan. Tapi Inpres Penghijauan dan
Reboisasi untuk Kodya Semarang digabung dengan Kabupaten
Semarang, tetangganya. Cara begitu "kurang tepat," komentar Ir.
Wasono. "Kotamadya Semarang sekarang kan punya gunung dan
hutan."
Jawa Timur dinyatakan berhasil menghijaukan sekitar 200 ribu ha
tanah kritis. Tapi anehnya setelah 5 tahun menjalankan
penghijauan, jumlah tanah kritis masih tercatat sekitar 270 ribu
ha -- hanya sedikit susut. Bandingkan, tercatat 280 ribu ha
tanah kritis sebelum dimulai Proyek Inpres Penghijauan dan
Reboisasi di Ja-Tim. "Tanah yang satu selesai dihijaukan, se]alu
timbul tanah kritis baru," ujar seorang pejabat Pemda Ja-Tim.
"Mestinya sejak 2 tahun lalu Ja-Tim sudah bebas dari tanah
kritis."
Menurut catatan resmi, Dana Inpres Penghijauan dan Reboisasi
selama lima tahun anggaran mencapai lebih Rp 156 milyar dengan
target hampir 4 juta ha. Yaitu 2,8 juta ha yang dihijaukan dan
1,15 juta ha yang direboisasi. Angka keberhasilannya -- belum
termasuk hasil tahun anggaran 80/81 -- ialah 43% untuk
penghijauan dan 68% untuk reboisasi. Demikian di atas kertas.
Kenyataannya di lapangan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini