"KAMPAI". Dengan ucapan itu, yang berarti "selamat minum ", PM
Zenko Suzuki mengajak hadirin untuk mengangkat gelas bagi
"kesehatan dan kebahagiaan Ketua Kadin Hasjim Ning dan semua
anggota Kadin yang lain . . ." Dan siang itu, 12 Januari, para
anggota Kadin kabarnya merasa bahagia bisa bersantap siang
bersama seorang perdana menteri Jepang.
Sekalipun tak terjadi acara tanya-jawab dengan PM Suzuki, dalam
sambutannya, Kepala pemerintahan Jepang itu rupanya sudah tahu
apa yang kiranya menjadi unek-unek para pengusaha di sini. "Saya
memaklumi sepenuhnya bangsa anda tidak selalu merasa puas dengan
kerjasama Jepang pada saat ini, dalam hal pengalihan teknologi,
pengokohan perusahaan-perusahaan pribumi dan perluasan ekspor
barang jadi dari Indonesia."
Apa yang dikemukakan oleh PM Suzuki itu memang banyak
diperbincangkan belakangan ini. Tak kurang dari Menteri
Perindustrian A.R. Soehoed yang mengatakan bahwa pengalihan
teknologi dari perusahaan-perusahaan asing, terutama Jepang,
terasa lambat. Menteri Soehoed, dalam kertas kerja untuk suatu
seminar Indonesia-Jepang di Tokyo bulan Oktober lalu, kemudian
mengambil contoh yang terjadi di bidang industri tekstil yang
didominasi modal Jepang. Menurut Soehoed, " . . . kegiatan mulai
dari perencanaan produksi dan manajemen, pemasaran dan
pengawasan kualitas masih tetap ditentukan oleh tenaga asing."
Banyak soal di bidang itu, yang menurut Soehoed, belum
dilaksanakan oleh para swasta Jepang. Salah satu yang juga
penting, katanya, "kegiatan yang di Jepang terbukti berhasil
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi (seperti
manajemen secara musyawarah dan pengorganisasian
kelompok-kelompok kerja dalam unit-unit produksi) tak pernah
dipraktekkan di Indonesia, paling tidak yang menyangkut
tenaga-tenaga Indonesia."
Keengganan para pengusaha Jepang itu antara lain disebabkan,
banyaknya karyawan di Indonesia suka berpindah kerja, dari satu
perusahaan ke lain perusahaan. Ini, menurut beberapa pengusaha
Jepang, bertentangan dengan sikap orang Jepang yang amat loyal
pada perusahaannya. Antara perusahaan Jepang memang terjadi
persaingan yang keras, kadang saling mematikan. Mereka tak ingin
kalau rahasia perusahaannya sampai bocor ke perusahaan
saingannya.
Tapi ada pula yang melihat dari segi lain. Seperti juga diakui
oleh Menteri Perindustrian Soehoed, suatu cabang perusahaan
Jepang di luar negeri mereka, "lebih kurang merupakan
kepanjangan tangan dari perusahaan induk, untuk menguasai
pasaran negara tuan rumah." Akibatnya, "perusahaan cabang sering
hanya berperan sebagai penyalur untuk suatu perakitan atau
untuk mensuplai negara tuan rumah dengan peralatan dan komponen
dari perusahaan induk . . ."
Gaya manajemen Jepang memang berbeda dengan gaya manajemen
kebanyakan negara Barat. "Kecuali Jerman Barat, investasi
negara-negara Barat tak mengenal apa yang disebut sistem paket,"
kata seorang ekonom. "Tapi dibandingkan dengan Jepang, maka
Jerman pun mendingan."
Menteri Soehoed punya penjelasan. Perusahaan Eropa dan Amerika
memiliki "pengalaman luas" di luar negeri. dan beroperasi di
bawah kebijaksanaan yang luas dari markas besar mereka untuk
mengalihkan sebanyak mungkin ketrampilan mereka kepada bangsa
Indonesia. "Biaya yang tinggi untuk mempekerjakan para tenaga
Amerika dan Eropa itu juga mendorong para multinasional itu
untuk mendidik orang Indonesia -- dan tenaga asing itu biasanya
diganti oleh tenaga Indonesia dalam waktu 10 tahun," katanya.
Soehoed juga memuji cara beroperasi perusahaan Eropa dan Amerika
itu, yang menempatkan tenaga Indonesia untuk jabatan yang
strategis, dan menyediakan perpustakaan dan kemungkinan untuk
maju melalui latihan di dalam maupun luar negeri. Hal ini,
menurut Soehoed, jarang terjadi dalam perusahaan patungan Jepang
di Indonesia.
Seorang pengusaha pribumi, yang pernah bekerja dalam perusahaan
tekstil Jepang di Indonesia, lalu memberi contoh. "Coba lihat
apa saja yang tidak datang dari Jepang: mulai dari benang tenun,
bahan cat, alat-alat mesin dan sebagainya, harus diimpor dari
Jepang," katanya.
Bicara soal ketergantungan, sebenarnya sudah lama Indonesia
membiarkan diri untuk diatur oleh Jepang. Di tahun 1979,
statistik menunjukkan sebanyak 56% dari seluruh ekspor Indonesia
mengalir ke Jepang. Itu terutama terdiri dari minyak mentah,
kayu, LNG dan udang. Dalam periode yang sama, hampir 30% dari
seluruh impor Indonesia datang dari Jepang, terdiri terutama
dari barang-barang industri, seperti mesin-mesin dan
barang-barang kimia serta obat-obatan.
Di luar minyak dan sektor pertambangan lainnya, Jepanglah yang
paling top investasinya di Indonesia. Di bidang industri
manufaktur itu, atau juga sering disebut sebagai industri
barang-barang konsumsi, andil Jepang di Indonesia hampir
mencapai 35%,mengalahkan penanaman modal Amerika. Bila dinilai
dalam uang, investasi Jepang mencapai US$ 3,9 milyar, terdiri
dari 877 proyek, pada akhir 1979. Angka itu adalah 14% dari
seluruh investasi Jepang di luar negeri, atau sekitar 70% dari
seluruh investasi Jepang di kawasan ASEAN.
Dengan sistem manajemen 'satu paket' yang dikendalikan dari
induknya di Jepang, maka tak heran bila timbul kasus seperti
Affan bersaudara. Empat pribumi berasal dari Bengkulu Selatan,
tadinya menguasai 60% dari saham PT InNismo (Indokaya Nissan
Motors) dan juga duduk dalam manajemen perusahaan. Yang menjadi
penyalur tunggal dari mobil-mobil Datsun-Nissan yang dirakit di
sini. Tapi oleh induk In-Nismo, yakni perusahaan raksasa
Marubeni di Jepang, mereka dianggap gagal mengelola penjualan
mobil-mobil Datsun di Indonesia. Mereka juga dianggap tak bisa
mencicil utang-utangnya sebanyak US$ 20 juta kepada Marubeni.
Karena pihak Affan memberi perlawanan, maka Marubeni pun
menyetop semua pengiriman mobil secara terurai (Completely
Knocked Down -- CKD) ke Indonesia. Tak berhenti sampai di situ,
pihak Marubeni, selain menuntut Affan, juga telah menyatakan
untuk mengurungkan niatnya menanam US$ 200 juta dalam pabrik
komponen mobil di Indonesia.
Akhirnya, setelah melewati suatu sengketa yang cukup gigih
selama setahun, pihak Affan pasrah menerima pengurangan saham
mereka dari 60% menjadi hanya 10%. Mereka juga setuju untuk
mundur dari manajemen PT In-Nismo.
Itu pun berhasil diatasi setelah Menteri Perindustrian Soehoed
membentuk suatu tim penyelidikan yang memenangkan pihak
Marubeni, dan Presiden sendiri juga turun tangan, antara lain
dengan meminta Menteri Agama Haji Alamsjah, seorang tokoh
Sumatera selatan untuk membujuk Affan.
Sekarang semua saham-saham eks Affan sudah disetujui untuk
dialihkan kepada Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI). Dan
untuk sementara, sejak bulan lalu, PT In-Nismo dikelola oleh PT
Konsultasi Pembangunan, yang bergerak di bidang pemberian
jasa. Tapi sampai sekarang, menurut Barnabas Banggur, orang PT
Konsultasi Pembangunan yang ditempatkan untuk mengurus PT
In-Nismo, "Marubeni belum juga mengirim CKD-nya." Dengan kata
lain, belum ada kegiatan apa pun dalam In-Nismo setelah Affan.
Kapan mobil Datsun itu kembali dirakit di Indonesia, tentu
tergantung pada para direktur di Jepang sana. Tapi nampaknya,
yang terjadi dalam kasus Affan hanyalah pengalihan dari
kelompok pribumi yang satu kepada kelompok pribumi yang lain.
Sedang yang lebih penting dari semua itu, seperti kata beberapa
pengamat Jepang, adalah perlahan-lahan mengubah itu sistem satu
paket (package deals), yang praktis membuat swasta Indonesia
tergantung pada Jepang dalam semua hal modal, teknologi,
pemasaran dan pengangkutan.
Tentu saja, kaum swasta Indonesia yang umumnya terbilang kelas
'teri' tak akan berdaya menghadapi para raksasa Jepang dengan
kekuatan modal milyaran dollar. Upaya untuk membuat kedudukan
agak sejajar, baru bisa dilaksanakan kalau pemerintah sendiri
bersedia turun tangan sebagai wasit yang baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini