Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Kenapa segala dari sana?

Investasi jepang di indonesia mengalahkan amerika, namun pengalihan tehnologi perusahaan patungan jepang di indonesia lambat. sistem manajemen satu paket harus dirubah. perlu bantuan pemerintah.(tk)

17 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"KAMPAI". Dengan ucapan itu, yang berarti "selamat minum ", PM Zenko Suzuki mengajak hadirin untuk mengangkat gelas bagi "kesehatan dan kebahagiaan Ketua Kadin Hasjim Ning dan semua anggota Kadin yang lain . . ." Dan siang itu, 12 Januari, para anggota Kadin kabarnya merasa bahagia bisa bersantap siang bersama seorang perdana menteri Jepang. Sekalipun tak terjadi acara tanya-jawab dengan PM Suzuki, dalam sambutannya, Kepala pemerintahan Jepang itu rupanya sudah tahu apa yang kiranya menjadi unek-unek para pengusaha di sini. "Saya memaklumi sepenuhnya bangsa anda tidak selalu merasa puas dengan kerjasama Jepang pada saat ini, dalam hal pengalihan teknologi, pengokohan perusahaan-perusahaan pribumi dan perluasan ekspor barang jadi dari Indonesia." Apa yang dikemukakan oleh PM Suzuki itu memang banyak diperbincangkan belakangan ini. Tak kurang dari Menteri Perindustrian A.R. Soehoed yang mengatakan bahwa pengalihan teknologi dari perusahaan-perusahaan asing, terutama Jepang, terasa lambat. Menteri Soehoed, dalam kertas kerja untuk suatu seminar Indonesia-Jepang di Tokyo bulan Oktober lalu, kemudian mengambil contoh yang terjadi di bidang industri tekstil yang didominasi modal Jepang. Menurut Soehoed, " . . . kegiatan mulai dari perencanaan produksi dan manajemen, pemasaran dan pengawasan kualitas masih tetap ditentukan oleh tenaga asing." Banyak soal di bidang itu, yang menurut Soehoed, belum dilaksanakan oleh para swasta Jepang. Salah satu yang juga penting, katanya, "kegiatan yang di Jepang terbukti berhasil untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi (seperti manajemen secara musyawarah dan pengorganisasian kelompok-kelompok kerja dalam unit-unit produksi) tak pernah dipraktekkan di Indonesia, paling tidak yang menyangkut tenaga-tenaga Indonesia." Keengganan para pengusaha Jepang itu antara lain disebabkan, banyaknya karyawan di Indonesia suka berpindah kerja, dari satu perusahaan ke lain perusahaan. Ini, menurut beberapa pengusaha Jepang, bertentangan dengan sikap orang Jepang yang amat loyal pada perusahaannya. Antara perusahaan Jepang memang terjadi persaingan yang keras, kadang saling mematikan. Mereka tak ingin kalau rahasia perusahaannya sampai bocor ke perusahaan saingannya. Tapi ada pula yang melihat dari segi lain. Seperti juga diakui oleh Menteri Perindustrian Soehoed, suatu cabang perusahaan Jepang di luar negeri mereka, "lebih kurang merupakan kepanjangan tangan dari perusahaan induk, untuk menguasai pasaran negara tuan rumah." Akibatnya, "perusahaan cabang sering hanya berperan sebagai penyalur untuk suatu perakitan atau untuk mensuplai negara tuan rumah dengan peralatan dan komponen dari perusahaan induk . . ." Gaya manajemen Jepang memang berbeda dengan gaya manajemen kebanyakan negara Barat. "Kecuali Jerman Barat, investasi negara-negara Barat tak mengenal apa yang disebut sistem paket," kata seorang ekonom. "Tapi dibandingkan dengan Jepang, maka Jerman pun mendingan." Menteri Soehoed punya penjelasan. Perusahaan Eropa dan Amerika memiliki "pengalaman luas" di luar negeri. dan beroperasi di bawah kebijaksanaan yang luas dari markas besar mereka untuk mengalihkan sebanyak mungkin ketrampilan mereka kepada bangsa Indonesia. "Biaya yang tinggi untuk mempekerjakan para tenaga Amerika dan Eropa itu juga mendorong para multinasional itu untuk mendidik orang Indonesia -- dan tenaga asing itu biasanya diganti oleh tenaga Indonesia dalam waktu 10 tahun," katanya. Soehoed juga memuji cara beroperasi perusahaan Eropa dan Amerika itu, yang menempatkan tenaga Indonesia untuk jabatan yang strategis, dan menyediakan perpustakaan dan kemungkinan untuk maju melalui latihan di dalam maupun luar negeri. Hal ini, menurut Soehoed, jarang terjadi dalam perusahaan patungan Jepang di Indonesia. Seorang pengusaha pribumi, yang pernah bekerja dalam perusahaan tekstil Jepang di Indonesia, lalu memberi contoh. "Coba lihat apa saja yang tidak datang dari Jepang: mulai dari benang tenun, bahan cat, alat-alat mesin dan sebagainya, harus diimpor dari Jepang," katanya. Bicara soal ketergantungan, sebenarnya sudah lama Indonesia membiarkan diri untuk diatur oleh Jepang. Di tahun 1979, statistik menunjukkan sebanyak 56% dari seluruh ekspor Indonesia mengalir ke Jepang. Itu terutama terdiri dari minyak mentah, kayu, LNG dan udang. Dalam periode yang sama, hampir 30% dari seluruh impor Indonesia datang dari Jepang, terdiri terutama dari barang-barang industri, seperti mesin-mesin dan barang-barang kimia serta obat-obatan. Di luar minyak dan sektor pertambangan lainnya, Jepanglah yang paling top investasinya di Indonesia. Di bidang industri manufaktur itu, atau juga sering disebut sebagai industri barang-barang konsumsi, andil Jepang di Indonesia hampir mencapai 35%,mengalahkan penanaman modal Amerika. Bila dinilai dalam uang, investasi Jepang mencapai US$ 3,9 milyar, terdiri dari 877 proyek, pada akhir 1979. Angka itu adalah 14% dari seluruh investasi Jepang di luar negeri, atau sekitar 70% dari seluruh investasi Jepang di kawasan ASEAN. Dengan sistem manajemen 'satu paket' yang dikendalikan dari induknya di Jepang, maka tak heran bila timbul kasus seperti Affan bersaudara. Empat pribumi berasal dari Bengkulu Selatan, tadinya menguasai 60% dari saham PT InNismo (Indokaya Nissan Motors) dan juga duduk dalam manajemen perusahaan. Yang menjadi penyalur tunggal dari mobil-mobil Datsun-Nissan yang dirakit di sini. Tapi oleh induk In-Nismo, yakni perusahaan raksasa Marubeni di Jepang, mereka dianggap gagal mengelola penjualan mobil-mobil Datsun di Indonesia. Mereka juga dianggap tak bisa mencicil utang-utangnya sebanyak US$ 20 juta kepada Marubeni. Karena pihak Affan memberi perlawanan, maka Marubeni pun menyetop semua pengiriman mobil secara terurai (Completely Knocked Down -- CKD) ke Indonesia. Tak berhenti sampai di situ, pihak Marubeni, selain menuntut Affan, juga telah menyatakan untuk mengurungkan niatnya menanam US$ 200 juta dalam pabrik komponen mobil di Indonesia. Akhirnya, setelah melewati suatu sengketa yang cukup gigih selama setahun, pihak Affan pasrah menerima pengurangan saham mereka dari 60% menjadi hanya 10%. Mereka juga setuju untuk mundur dari manajemen PT In-Nismo. Itu pun berhasil diatasi setelah Menteri Perindustrian Soehoed membentuk suatu tim penyelidikan yang memenangkan pihak Marubeni, dan Presiden sendiri juga turun tangan, antara lain dengan meminta Menteri Agama Haji Alamsjah, seorang tokoh Sumatera selatan untuk membujuk Affan. Sekarang semua saham-saham eks Affan sudah disetujui untuk dialihkan kepada Pepabri (Persatuan Purnawirawan ABRI). Dan untuk sementara, sejak bulan lalu, PT In-Nismo dikelola oleh PT Konsultasi Pembangunan, yang bergerak di bidang pemberian jasa. Tapi sampai sekarang, menurut Barnabas Banggur, orang PT Konsultasi Pembangunan yang ditempatkan untuk mengurus PT In-Nismo, "Marubeni belum juga mengirim CKD-nya." Dengan kata lain, belum ada kegiatan apa pun dalam In-Nismo setelah Affan. Kapan mobil Datsun itu kembali dirakit di Indonesia, tentu tergantung pada para direktur di Jepang sana. Tapi nampaknya, yang terjadi dalam kasus Affan hanyalah pengalihan dari kelompok pribumi yang satu kepada kelompok pribumi yang lain. Sedang yang lebih penting dari semua itu, seperti kata beberapa pengamat Jepang, adalah perlahan-lahan mengubah itu sistem satu paket (package deals), yang praktis membuat swasta Indonesia tergantung pada Jepang dalam semua hal modal, teknologi, pemasaran dan pengangkutan. Tentu saja, kaum swasta Indonesia yang umumnya terbilang kelas 'teri' tak akan berdaya menghadapi para raksasa Jepang dengan kekuatan modal milyaran dollar. Upaya untuk membuat kedudukan agak sejajar, baru bisa dilaksanakan kalau pemerintah sendiri bersedia turun tangan sebagai wasit yang baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus