BERSALAM dengan siapa saja, genggaman tangannya erat. Itulah
yang dirasakan para pemimpin negara ASEAN hari-hari ini. Terasa
sikapnya yang bersahabat.
Zenko Suzuki sengaja memilih ASEAN untuk kunjungan perdananya ke
luar negeri sebagai perdana menteri. Ia agak menyimpang dari
kebiasaan. Biasanya tokoh politik Jepang terlebih dulu memilih
perlawatan resmi ke Amerika dan Eropa, tak pernah ke Asia
Tenggara.
Sekali ini Asia Tenggara rupanya dianggap lebih penting oleh
Jepang. Setidaknya, Ferdinand E. Marcos berkesan begitu.
Presiden Filipina itu seolah terpukau oleh pendekatan PM Suzuki.
"Sekitar 35 tahun lalu, saya tak percaya bahwa hari ini saya
akan mendengarkan seorang pemimpin Jepang berbicara dengan
begitu rendah hati," kata Marcos pekan lalu. Waktu itu Marcos
menjamu makan tamu agung dari Jepang itu. Terdengar segala
pujiannya terhadap Suzuki yang, katanya, membawa "pesan
perdamaian" demi "membangun era hubungan baru" antara Jepang dan
ASEAN.
Walau dengan gaya berbeda di Jakarta, Presiden Soeharto juga tak
kalah bersahabat terhadap Suzuki. Singapura, Kuala Lumpur dan
Bangkok yang juga dikunjungi Suzuki pekan ini tampaknya bersiap
pula menyambut PM Jepang ini secara mesra.
Tapi kenapa Suzuki ke ASEAN terlebih dulu? Bisa berbagai rupa
jawabannya. Menurut cerita sebagian wartawan Jepang yang
mengikuti rombongan Suzuki, perdana menteri ini belum
berpengalaman dalam urusan luar negeri, belum begitu banyak
berkomunikasi dengan orang asing. "ASEAN sebagai tempat ujian
pertama diharapkannya tidak terlalu sulit," demikian wartawan
itu.
Cerita di atas ada benarnya juga. ASEAN adalah penerima bantuan
yang cukup besar dari Jepang. Dari seluruh bantuan resmi
bilateral Jepang -- US$ 10.800 juta sampai 1979 -- sedikitnya
38% (US$ 4.100 juta) untuk negara ASEAN. Selain itu arus modal
Jepang (dana pemerintah plus kredit tingkat swasta) ke ASEAN
mencapai 24,5% (US$ 10.900 juta) dari keseluruhannya yang
berjumlah US$ 44.400 juta. Menghadapi pihak penerima, Suzuki
memang tak perlu gugup.
ASEAN juga penerima investasi modal swasta Jepang yang terbilang
besar, yaitu 19,5% dari keseluruhannya. Penerima terbesar dalam
hal ini ialah Amerika Serikat (23,5%). Mengetahui ASEAN sangat
haus akan modal, Suzuki memang tak usah kikuk.
Dalam perdagangan, Jepang selama ini menganggap ASEAN suatu
partner yang penting tapi tak begitu rewel. Selain jadi sumber
bahan untuk industri Jepang, ASEAN juga pasarannya yang luas.
Tak begitu terdengar jeritan proteksi di ASEAN. Ekspor Jepang ke
ASEAN naik dari US$ 5.9Z15 juta pada tahun 1975 menjadi US$
9.648 juta dalam tahun 1979. Tapi impornya dari ASEAN juga
meningkat dari US$ 6.365 juta menjadi US$ 16.276 juta dalam
waktu sama. Sebagai keseluruhan dalam hal perdagangan, ASEAN tak
begitu menggerutu. Dan Suzuki memang bisa santai menghadapi
partner ini.
Tapi justru karena demikian penting ASEAN ini bagi Jepang,
Suzuki perlu datang, seperti salesman selayaknya. Dia memang
mencoba menjual gagasan "hubungan kerjasama baru". Tujuanhya
ialah meningkatkan hubungan kerjasama yang kini berjalan. Untuk
itu, katanya dalam jamuan makan di Istana Negara akhir pekan
lalu, harus ada dasar "saling percaya dan pengertian".
Salah pengertian bisa saja terjadi. Antara lain karena, seperti
dikemukakan Presiden Soeharto malam itu, berbeda warisan sejarah
dan kebudayaan masing-masing, dan berbeda pula prioritas
nasional masing-masing.
Tapi apa pula "saling percaya" yang diminta Suzuki? Kebetulan
Jepang sedang menggalakkan peranan baru dalam politik dunia.
Selain unggul di bidang ekonomi, Jepang ingin juga menonjol di
bidang politik. Kini politiknya mengenai Kampuchea sejalan
dengan ASEAN. Jadi, tiada problem.
Jepang jelas merebut kepercayaan ASEAN karena politiknya yang
membantu konsep Zone of Peace, Freedom and Neutrality (wilayah
damai, kemerdekaan dan netralitas) di Asia Tenggara. Tentang
dialog Utara-Selatan, sikap Jepang pun menyenangkan. Dan betapa
pun bertumbuh hubungan Jepang dengan RRC, kata Suzuki pada pers
sebelum meninggalkan Jakarta, kepentingan ASEAN tak akan
dirugikannya. Soal hubungan Cina-Jepang itu tadinya pernah
dicurigai kalangan ASEAN.
"Saling percaya" yang tampak sangat diharapkannya lalah soal
pembangunan militernya, disebut Jieitaz (Pasukan Bela Diri.
Anarannya sebanyak 7,6% dari APBN 1981-82. Ini sudah tinggi,
tapi Amerika Serikat malah mengusulkan 9,7%.
Suzuki dalam perlawatan ASEAN ini selalu menjelaskan, "Jepang
tak akan jadi kekuatan militer. Tak akan membikin atau memiliki
senjata nuklir." Namun ada kekhawatiran kalangan ASEAN dalam hal
ini.
"Tiada kekhawatiran akan kebangkitan kembali militerisme
Jepang," kata PM Singapura Lee Kuan Yew dalam interpiu Asahi
Shimbun, "jika Jepang tidak membangun senjata nuklir, tapi tetap
saja berada di bawah payung nuklir AS."
Payung nuklir AS dijamin oleh Perjanjian Pertahanan ASlepang,
jika negara itu diserang. Suzuki pun tampaknya masih
mengandalkan perjanjian itu. Tapi di Jepang sendiri perdebatan
masih berlangsung tentang perlu atau tidaknya Konstitusi 1946
diubah, terutama pasal 9 yang melarang kebangkitan militerisme.
Jieitai, dengan konstitusi sekarang, tidak punya hak berperang,
tak boleh menyerang ke luar negeri. Kalangan LDP, partai yang
dipimpin Suzuki, pernah tergoda untuk menyesuaikan konstitusi
itu dengan tuntutan zaman. Pendapat umum menentangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini