Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah pemandangan sehari-hari di bawah jembatan Cakung-Cilincing, Jakarta Timur. Truk-truk pengangkut sampah berderet hingga 400 meter. Mereka antre hingga 20 jam—untuk memindahkan muatan ke truk yang lebih besar. Daryanto, salah seorang sopir, terpaksa menginap di kendaraan itu. Dia tiba di sana seusai azan magrib. Artinya, muatan dia baru selesai ditimbang dan dipindahkan selepas zuhur keesokan harinya.
Dari sana, gunungan sampah itu diangkut ke tempat pembuangan akhir di Bantargebang, Bekasi. ”Malam ditemani nyamuk, siang dikelilingi lalat,” Daryanto menuturkan pengalamannya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Ahmad Dahlan, sopir lain, bernasib sama. Menurut Dahlan, antrean hampir sehari penuh itu terjadi karena jumlah truk besar milik Wira Gulfindo Sarana, pengelola tempat pembuangan sampah di Kelurahan Cakung Timur, cuma 15 unit. Padahal truk yang membawa sampah berjumlah ratusan.
Wira Gulfindo sudah 15 tahun mengelola sampah pada lahan seluas 4,6 hektare di Jalan Cakung-Cilincing. Sampah tersebut berasal dari wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Setelah sampah ditimbang, perusahaan ini mengangkutnya ke Bantargebang dengan truk yang lebih besar. Untuk setiap ton sampah, Wira Gulfindo mendapat bayaran Rp 60 ribu dari Dinas Kebersihan Jakarta.
Tiga pekan lalu, perusahaan ini melakukan uji coba menggunakan mesin bala press. Gubernur Jakarta Sutiyoso ikut menyaksikan proses itu bersama puluhan wartawan. ”Mulai tahun ini kami mengembangkan teknologi zero waste untuk mengelola sampah di Jakarta,” kata Sutiyoso.
Mesin tersebut mengolah sampah yang datang ke Cakung. Ada yang dijadikan kompos, ada yang didaur ulang. Residunya dipadatkan dan diikat dengan plastik. Manajer Umum Wira Gulfindo Budhisentoso Kertadjaja menjelaskan residu itu dimanfaatkan oleh PT Holcim Indonesia sebagai bahan bakar di pabrik semen.
Wira membeli mesin pemilah dan bala press dari Italia dan Swedia. Mesin pencacah dan pengering didatangkan dari Jepang. Nilainya sekitar Rp 50 miliar. Dengan mesin bala press , kata Budhi, ”Mudah-mudahan mulai Juli tak ada lagi sampah yang dibuang ke Bantargebang.”
Mesin ini semula ditempatkan di tempat pengolahan sampah terpadu di Desa Bojong, Kelapanunggal, Bogor, pada 2003. Karena mendapat tentangan dari warga Bojong, mesin itu batal beroperasi. ”Saya harap kasus serupa tak terulang di Cakung,” ucap Budhi.
Dinas Kebersihan mengeluarkan data bahwa volume sampah di Jakarta mencapai 6.000 ton per hari. Sampah dari Jakarta Timur dan Jakarta Selatan langsung dibuang ke Bantargebang. Sedangkan yang dari Jakarta Barat dan Jakarta Pusat transit terlebih dulu di Cakung. Di Sunter ada juga stasiun transit untuk sampah di Jakarta Utara yang kemudian dibuang ke Bantargebang.
Kepala Dinas Kebersihan Jakarta Eko Bahruna mengatakan stasiun peralihan sampah di Cakung ditargetkan menyerap 1.500 ton setiap hari. Untuk menjalankan semua mesin, Wira mempekerjakan 100 karyawan. Ada 150 pemulung yang dilibatkan sebagai pemilah sampah.
Mereka langsung memilah sampah setelah truk memuntahkan muatan di ruang penampungan. Dua backhoe meletakkan sampah ke atas ban berjalan yang membawanya ke mesin pemilah. Mesin inilah yang memilih sampah organik dan nonorganik serta mengeluarkannya melalui lubang yang berbeda. Sampah organik masuk ke mesin pencacah, sedangkan sampah nonorganik jatuh ke ban berjalan lain. Menggunakan tangan, pemulung kembali memilih dan mengumpulkan sampah ke dalam tiga bak yang berbeda: plastik, kayu, dan besi.
Sisanya masuk ke mesin bala press. Mesin ini memadatkan sampah dan membentuk bal seperti kue putu. Lantas ada alat yang melilitkan plastik berwarna putih ke sekelilingnya sehingga sampah tak meleler. Berat setiap ”kue putu” raksasa ini 1,2 ton. ”Untuk menghasilkan satu bal, butuh waktu 10 menit,” kata Ahmad Teddy, teknisi mesin tersebut.
Sejak mesin itu beroperasi bulan lalu, hampir 500 bal berjejer di halaman belakang gedung pengolahan sampah milik Wira. Menurut Teddy, ada 50 bal yang dikirim ke Holcim Indonesia di Cibinong. Sutiyoso mengaku puas dengan uji coba itu. Ia berencana membangun lagi empat pengolahan sampah serupa di lokasi lain.
Hampir 10 tahun memimpin Jakarta, Sutiyoso memang selalu terbelit persoalan sampah. Bahkan pemerintah Jakarta pernah berkonflik dengan Pemerintah Kota Bekasi gara-gara salah urus di Bantargebang.
Menurut Sutiyoso, Bantargebang saat ini sudah tak memadai sebagai tempat pembuangan sampah. Selain lokasinya amat terbatas, sistem meletakkan sampah di tanah terbuka (open dumping) tak relevan lagi. ”Merusak lingkungan,” ujarnya.
Menurut sang Gubernur, penggunaan teknologi mutlak dibutuhkan untuk mengatasi sampah di kota besar. Masih banyak kota besar di Indonesia yang menerapkan manajemen pengelolaan sampah berbasis tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Model pengelolaan ini ketinggalan zaman karena cuma mengumpulkan, mengangkut, dan membuang sampah ke 400 TPA. Padahal lahan terbuka kian lama kian terbatas.
Setiap penduduk perkotaan rata-rata menghasilkan 2-3 liter sampah setiap hari. Sepuluh tahun ke depan, jumlah itu diperkirakan meningkat menjadi tujuh liter. Manajemen pengelolaan sampah kota yang amburadul terekam dalam laporan tim Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2004-2005—dari drainase air yang buruk sampai gas metana (CH4) yang bocor dan mencemari udara sekitar. Limpahan air lindi (leachate) pun meluber ke rumah penduduk.
Guru besar Institut Teknologi Bandung, Enri Damanhuri, menilai mesin bala press bukan pengolah sampah. ”Hanya memudahkan mengangkut sampah,” katanya. Akibatnya, ujar pakar sampah itu, air lindi tidak terproses dengan baik mengingat Indonesia umumnya didominasi sampah basah.
Sampai pekan lalu, Holcim Indonesia belum memutuskan akan terus menggunakan sampah padat itu atau tidak. ”Kami masih melakukan uji coba,” kata Monika Irayati, Corporate Communications Manager Holcim. Biasanya perusahaan ini menggunakan batu bara sebagai bahan bakar untuk memanaskan tanur besar.
Menurut Enri, teknologi yang tepat bagi Jakarta adalah incinerator atau mesin pembakar seperti yang ada di Singapura, Cina, dan kota-kota besar di dunia. Dengan incinerator, kata dia, ”Sampah bakal habis.” Mesin ini memiliki komponen pengendali guna mengurangi risiko polusi udara. Sayang, harganya mahal. Yang buatan Inggris mencapai Rp 600 miliar—dengan kemampuan membakar sampah berkapasitas 1.000 ton. Mesin sejenis yang lebih murah adalah buatan Cina, sekitar Rp 300 miliar.
Pada 1980-an, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi telah menyarankan pemerintah Jakarta membeli incinerator. Tapi belum ada kabar beritanya.
Soal mesin ”kue putu” ini tampaknya berkenan di hati penguasa Jakarta. Tapi entahlah soal kelanjutannya.
Untung Widyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo