Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah kisah Panjang Yuswanto, Kepala Kepolisian Kota Besar Pontianak, yang terjungkal dari kursinya gara-gara sekotak emas. Komisaris besar berumur 51 itu kini hanya mengerjakan tugas administrasi di Detasemen Markas Besar Polri di Jakarta. Jabatannya dicopot. ”Saya merasa dibuang,” ujarnya kepada Tempo. Semuanya berawal dari suatu operasi penyergapan penyelundupan emas di Pontianak, 19 Oktober 2006.
Siang itu perempatan Jalan Sultan Hamid II di tengah kota sibuk seperti biasanya. Udara Pontianak kering tak berangin, di bawah matahari Oktober yang terik. Di sebuah pojok, lima reserse mengawasi mobil yang berasal dari arah Sintang. Menurut informan polisi, bakal lewat sebuah mobil jip yang mengangkut puluhan batang emas ilegal dari kota itu untuk diselundupkan ke Jakarta.
Persimpangan ini adalah satu-satunya pintu masuk ke Pontianak dari Sintang. Maka polisi pun bersiaga di sana. Ajun Komisaris Polisi Masturi yang memimpin operasi sudah menyiapkan anak buahnya sejak pagi. Informan yang sama membisikkan, jip bakal meninggalkan Sintang—395 kilometer dari Pontianak—sekitar pukul empat subuh. Diperkirakan, mobil pembawa emas itu akan tiba di tepi kota pada siang hari.
Mendekati pukul 11.30, sebuah Nissan X-Trail dari Sintang tertahan di perempatan karena lampu menyala merah. Nomor polisinya KB 1407 AM. ”Mobil Siman Bahar,” ujar seorang anak buah Masturi. Nama yang disebut adalah pedagang emas yang lumayan besar di kota khatulistiwa itu. Pengusaha berusia 50-an tahun tersebut punya Toko Emas Karya Indah di Pontianak dan satu toko penukaran uang asing di Tanjung Pura. Adrenalin para polisi itu terpompa.
Masturi memutuskan untuk menempel mobil itu, meskipun bukan jip. Dia memerintahkan anak buahnya menyergap. ”Buka,” satu polisi berteriak kepada sopir Nissan. Polisi lain mengurung mobil dengan pistol terkokang.
Tidak ada perlawanan. Sopir Nissan segera membuka jendela. Tampak dua orang duduk di depan dan seorang lainnya di kursi tengah. Sejurus kemudian polisi menerabas ke kursi tengah lalu menggertak, ”Kalian bawa emas. Di mana emasnya?”
Sopir cuma bisa menjawab, ”Iya, ada.” Sopir Nissan itu bernama Toni. Lelaki yang duduk di sampingnya Atung. Keduanya anak buah Siman Bahar yang diberi tugas menjemput emas di Sintang. Pria yang berada di kursi tengah adalah Aliong, orang suruhan Afui, pemilik barang.
Merasa yakin tidak salah sergap, polisi menggiring mobil itu ke Graha Korpri, sekitar 500 meter dari persimpangan, dan menggeledahnya. Tak sampai lima menit, dari balik penutup ban serep di bagasi belakang, polisi mengeluarkan tiga buah kotak—dua berisi 25 batang emas seberat 28,5 kilogram senilai Rp 5,643 miliar dan satunya uang 15 ribu ringgit Malaysia (Rp 37,5 juta).
Ketika diminta menunjukkan dokumen pengangkutan dan izin perdagangan emas batangan, Toni dan kawan-kawannya cuma memperlihatkan surat jalan. Ketiganya juga tak bisa menunjukkan asal-usul logam mulia itu. Kian kuat dugaan bahwa semua emas itu berasal dari pertambangan tanpa izin alias ilegal.
Setelah memeriksa semalaman, polisi melepaskan ketiga tangkapan dengan alasan mereka sekadar kurir. Siman juga menerima kembali mobilnya. Polisi hanya menyita emas dan uang ringgit. Dari penyidikan selanjutnya, polisi berhasil memastikan bahwa emas berasal dari pertambangan liar di kawasan Sepauk, Sintang. Saksi ahli dari Dinas Pertambangan juga menyebut kawasan itu tak legal. Afui pun, kata Kombes Panjang, juga mengakui sebagian emas itu dibelinya dari Sepauk.
Ceritera ini kian berkembang ketika pada akhir Oktober lalu Afui melapor ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Kalimantan Barat bahwa ia kehilangan satu kotak emas pada saat operasi polisi itu. Pihak kepolisian kelimpungan karena mereka cuma menemukan tiga kotak saat penyergapan itu. Fakta ini sesuai dengan pengakuan para kurir. Nissan Siman pun digeledah kembali. Hasilnya nihil.
Baru setelah polisi mengejar ke rumah Afui di Sintang, ketahuan bahwa itu cuma akal-akalan pemiliknya. Kotak emas keempat memang ada, tapi tidak dibawa dengan Nissan. Afui menitipkannya melalui Heryanto, kakaknya. Oleh Heryanto emas itu diserahkan ke Merianti Cindyana, istri Siman Bahar, tanpa setahu Afui dan kawan-kawan. Polisi pun menahan Afui dan menyita emasnya. Sedangkan Siman Bahar, yang oleh para kurirnya disebut pembeli, dibiarkan bebas.
Berhasil menemukan kotak keempat, para hamba wet itu bukannya menerima ucapan selamat, malah dipermalukan oleh tuduhan berikutnya. Sebab, lagi-lagi Afui mengadu kehilangan kotak emas kelima. Tapi kali ini kotak kelima tak pernah ditemukan. ”Bagaimana kita bisa mempercayai omongannya? Bisa saja besok dia bilang ada sepuluh kotak,” kata Kombes Panjang.
Panjang keliru! Para petinggi Mabes Polri ternyata lebih percaya pada omongan Afui ketimbang si Kombes. Mereka mengirim tiga tim untuk mengusut raibnya kotak emas itu. Pada Desember lalu, para polisi yang turut dalam operasi penyergapan 19 Oktober disidang tim Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri. Tuduhannya, menggelapkan barang bukti dan menyalahi prosedur pemeriksaan tersangka.
Ujungnya, Kombes Panjang dibuang ke Detasemen Markas Besar Polri, Jakarta. Kasat Serse Lutfi Martadian dan Masturi diberi tugas mengerjakan urusan administrasi di Inspektorat Jenderal Polda Kalimantan Barat. Dan keempat anak buah Masturi dimutasi ke Detasemen Markas di Polda yang sama. ”Dulu polisi, sekarang kami tukang bawa pengki,” ujar salah satu anak buah Masturi. Sedangkan Kombes Panjang sudah menyatakan banding ke Kapolri. ”Saya ingin karir saya tak bernoda,” tuturnya.
Lalu di manakah Siman Bahar, tokoh penting dalam ceritera ini? Seusai Mabes memutasi para polisi, toke emas itu kian sulit dicari. Tiga bulan lalu ia menjual toko emasnya, bisnis yang menghidupinya selama ini. ”Yang punya sudah pindah ke Jakarta,” ujar pemilik barunya kepada wartawan majalah ini. Sosoknya juga tak ada di rumah bertingkat dua di Jalan Gajah Mada X nomor 45 Pontianak yang selama ini dia huni. ”Bapak sedang ke luar kota,” kata penjaga rumah kepada Tempo yang berkali-kali menyambangi rumah itu.
Tersiar kabar, para polisi mencoba menawarkan perdamaian dengan buruannya, sehingga Mabes Polri melakukan mutasi besar-besaran. Kasat Serse Lutfi Martadian diduga meminta Rp 1 miliar kepada Afui agar kasus itu bisa ”delapan enam” alias aman di tangan polisi. Karena kesepakatan tak dicapai, ia memerintahkan penangkapan. Sumber Tempo di kepolisian menuturkan, Afui geram lalu melaporkan kasus ini ke Mabes Polri.
Afui dan Siman tak bisa dimintai cerita tentang huru-hara delapan enam ini, kendati Tempo sudah mencoba menghubungi keduanya berkali-kali. Mereka seperti hilang dari peredaran saja. Yang bisa ditemui adalah Lutfi. Menurut dia, tuduhan delapan enam itu fitnah. ”Isu ini dibikin untuk menghancurkan saya.”
Malah, menurut Kombes Panjang, justru Lutfi yang ditawari uang damai oleh pemilik emas. ”Tapi anak buah saya menolak dan tetap melakukan penangkapan,” ujarnya.
Kepala Polda Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Zainal Abidin enggan memberikan keterangan tentang kasus delapan enam tersebut. ”Itu sebelum masa saya,” ia berkilah. Namun, menurut Kepala Poltabes Pontianak yang baru, Kombes Awang Amiruddin, polisi sudah menghentikan penyidikan perkara ini.
Polisi juga sudah usai menyidik emas Afui dan Siman. Hasilnya, Siman dan Afui tidak bersalah. Emas batangan berstatus bebas diperjualbelikan karena belum masuk tata niaga pemerintah. ”Dan emas Afui tidak berasal dari penambangan liar,” ujarnya. Walhasil, operasi yang awalnya terlihat berhasil baik itu berakhir pilu. Mungkin tak sepilu ini jika tak ada kabar delapan enam.
I G.G. Maha Adi, Harry Daya (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo