Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepasang mata tertumbuk pada benda terapung yang bergoyang-goyang di hadapannya. Penyu sisik, si pemilik mata, meluncur ke arah benda itu dengan gembira. Lalu, hap! Dilahapnya dalam seketika. Ternyata benda itu bukan ubur-ubur, makanan kesukaannya, melainkan sampah plastik. Gara-gara salah makan, penyu malang itu tewas. Dia menyusul tiga kawannya yang mati pada dua pekan lalu.
Kematian penyu sisik akibat sampah plastik di Kepulauan Seribu sudah kian memiriskan. Satwa laut yang dilindungi undang-undang itu jumlahnya melorot dari 10 ribu lebih pada 1990-an menjadi sekitar 2.000 ekor saja. Padahal jumlah ideal penyu sisik untuk kawasan Kepulauan Seribu adalah 50 ribu ekor.
Penyebab utama menyusutnya penyu sisik di perairan itu adalah sampah plastik. Sekali dua kali melahapnya, penyu masih bisa bertahan. Tapi kejadian itu terus berulang. Plastik kian mudah didapat dibanding ubur-ubur, ikan kecil, udang, binatang karang, atau ganggang laut. Menumpuk dalam perut, plastik tak bisa diurai dalam usus dan menewaskan si penyu.
Ada yang mati di Pulau Penjaliran, Pulau Belanda, atau beberapa pulau lain. Dua pekan lalu petugas Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu membawa penyu mati ke Pulau Kotok untuk dibedah. Hasilnya, dalam perut penyu terdapat sejumlah plastik. Ada yang mati karena tersedak plastik, perutnya tersobek plastik, atau mati karena kepalanya tersangkut dalam plastik. ”Setiap kali membelek penyu yang sudah mati, pasti ada plastiknya,” ujar Sumarto, Kepala Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Dia menghitung sedikitnya ada empat ekor penyu mati dalam sebulan karena sampah plastik. Jumlah kematian ini belum dihitung dengan akibat lain se-perti pemangsa, jaring nelayan, dan perburuan liar. Sampah kini menempati posisi tertinggi sebagai ancaman penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Kepulauan Seribu menjadi tujuan berlabuhnya sampah Jakarta dan sekitarnya. Sampah itu hanyut melalui 13 sungai menuju satu-satunya kabupaten di lepas pantai Jakarta ini. Sampah rumah tangga saja jumlahnya mencapai 3.000 ton per hari. Belum lagi sampah industri.
Sampah industri, seperti minyak dan bahan kimia lain, amat mempengaruhi genetika penyu. Balai Taman Nasional menemukan adanya penurunan jumlah telur yang diduga akibat pencemaran minyak. Kini rata-rata telur di Pulau Peteloran Timur hanya 2.000 butir. Padahal sebelum 1995 jumlahnya lebih dari 4.000 per tahun. Limbah minyak juga melorotkan persentase penetasan telur dari sekitar 70 persen menjadi 32 persen. Sebagian bahkan menetas menjadi penyu cacat.
Upaya penanganan sampah, kata Sumarto, harus melibatkan banyak pihak. Balai Taman Nasional hanya bisa melakukan kampanye sadar lingku-ngan kepada pengunjung dan penduduk setempat. Masyarakat Kepulauan Seribu juga didorong melakukan rehabilitasi laut seperti melakukan pembibitan pohon bakau.
Selain sampah, masih banyak ancam-an lain yang merundung penyu sisik. Ada pemangsa alam seperti tikus, biawak, atau ikan besar yang siap memburu telur atau ketika belajar berenang. Pemburu liar pun selalu mengincarnya. Walhasil, dari 150 anak penyu (tukik) hanya satu ekor yang bisa tumbuh hingga dewasa. ”Makanya kami jaga benar telur di penangkaran dari pemangsa,” kata Salim, penjaga penangkaran, kepada Tempo, pekan lalu.
Penyu sisik tergolong hewan yang terancam punah. Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna Spesies Terancam sudah melarang perdagangan semua produk penyu berupa telur, daging, atau cangkang. Indikasinya, dulu dalam 10 kali penyelaman bisa menemukan paling tidak delapan penyu sisik, sekarang penyelam hanya dapat menjumpai dua penyu.
Penyu sisik biasa mendarat di 13 pulau dari 109 pulau di Kepulauan Seribu. Hewan ini bertandang pula ke Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Jagung, Dua Barat, Dua Timur, Penjaliran Barat, Penjaliran Timur, Panjang Besar, Semut Kecil, Gosong Rengat, Gosong Sepa, dan Belanda. Penyu betinalah yang biasa menepi pada musim bertelur, Desember hingga Juni.
Dari semua tempat itu, lokasi favorit penyu sisik adalah Pulau Peteloran Timur. Lokasinya sekitar 300 meter dari Unit Konservasi Terpadu di Pulau Penjaliran Timur. Di pulau terluar Kepulauan Seribu ini, penyu sisik biasa menyimpan telurnya lebih dari 2.000 butir per tahun. Pulau ini luasnya sekitar 5.000 meter persegi. Setara dengan lapangan bola. Hanya ada satu tenda di tengah pulau dengan penjaga dua orang, yakni Muthalib dan Salim, yang menerima hadiah Kalpataru tahun lalu. ”Sekarang jumlahnya mulai meningkat lagi menjadi 3.000-an,” ujar Salim.
Penyu termasuk hewan yang sensitif terhadap manusia. Ketika bertelur, penyu akan memastikan tidak ada gerakan manusia di sekelilingnya. Dia juga tak menyukai sorotan cahaya lampu. Kalau ada sedikit saja bayangan manusia berkelebat, penyu akan membatalkan menyimpan telur.
Penyu menyimpan telur dengan menggali pasir. Proses ini berlangsung 2 hingga 3 jam. Penyu biasanya naik setelah matahari terbenam bersama air pasang atau sejam menjelang pasang. Sang induk langsung meninggalkan telur begitu sudah terkubur. Telur baru menetas setelah memasuki 50 hingga 60 hari. Jadilah tukik.
Secara naluri, tukik yang lebih dulu keluar akan menunggu semua saudaranya menetas. Setelah itu baru mereka beriringan menuju laut. Inilah masa terberat tukik. Ukurannya rata-rata 2x3 sentimeter. Jalannya pelan sehingga mudah menjadi mangsa. Hanya satu persen dari rombongan tukik ini tumbuh dewasa.
Setelah dewasa, ukuran tempurung penyu sisik mencapai 82,5 sentimeter. Lebih kecil dari penyu lain—penyu hijau, tempayan, lekang, belimbing, atau pipih—yang juga hidup di Indonesia. Tempurung penyu sisik mengkilat. Warnanya kuning kemerah-merahan, cokelat, atau hitam. Kepalanya cokelat dan disertai warna kemerahan. Sedangkan rahangnya kekuning-kuningan.
Sesuai dengan namanya, penyu ini mempunyai sisik berbentuk hati. Tempurungnya memiliki 4 pasang sisik di sisi dan 5 pasang di tengah yang saling menumpuk seperti sisik ikan. Selain itu, terdapat 2 pasang sisik di kepala di antara kedua matanya.
Penyu laut, berbeda dengan kura-kura, tak bisa memasukkan kepalanya ke tempurung ketika terancam. ”Makanya dia tidak bisa keluar kalau kepalanya terjerat plastik,” kata Sumarto.
Yandi MR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo