Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua sepeda tua. Satu sepeda laki-laki dengan palang men-julur di tengah dicat putih, satu lagi sepeda perempuan dicat hitam. Warna merah menyatukan dua sepeda ini pada sadel belakang.
Di Jogja Gallery di pojok Alun-alun Yogyakarta, karya F. Sigit Santoso itu dipamerkan. Meski diberi judul Happy Together, karya seniman yang biasa melukis dengan teknik realisme itu bukan metafora hubungan lelaki-perempuan. Bukan pula simbol pasangan yin-yang, karena posisi keduanya saling memunggungi. Keduanya secara maknawi bahkan saling bertolak belakang.
Dalam khazanah seni lukis karya Sigit cenderung merupakan karya bercorak still life (alam benda). Tapi ia mengeluarkannya dari bingkai lukisan menjadi karya seni object. Pada masa lalu seniman gemar melukiskan susunan buah-buahan di atas nampan, atau melukis komposisi perangkat alat minum berupa teko dan cangkir di atas meja. Karya bercorak alam benda sebagaimana karya seni modernisme lainnya mengutamakan kualitas estetik.
Corak still life pada pameran bertajuk ”Domestic Art Objects & Still Life” yang berakhir pada Ahad 15 April lalu ini tampak pada lukisan Probo, 47 tahun, berupa susunan berbagai perangkat memasak dari tembikar (gerabah) dalam warna dominan cokelat. Probo memberi judul Konstruksi Alam Benda.
Gaya lukisan alam benda menemukan perkembangan bentuk pada gaya realisme baru, seperti yang terlihat pada karya Wayan Cahya, 42 tahun. Ia menggambarkan sosok ayam yang sudah kehilangan bulunya, ketakutan dihunjam banyak bentuk pisau dari atas. Sedangkan Hadi Soesanto, 39 tahun, menawarkan corak pop art berupa alat pembuka botol yang muncul dari pisang yang terkelupas kulitnya. Juga Waluyohadi, 26 tahun. Ia membuat karya obyek berupa tempat peturasan dengan bentuk yang tak biasa, serba persegi dari pelat baja bertajuk Mirror Closet.
Corak realisme baru dan pop art dengan subject matter alam benda cenderung minim teks, sebaliknya merupakan plesetan elemen rupa yang berujung pada pencapaian kualitas estetik.
Perupa Harjiman Radjab, 45 tahun, membuat plesetan bentuk pada karya tiga dimensinya bertajuk Jam karet berupa bentuk jam lawas yang dibingkai kotak kayu dengan bentuk piringan jam bundar yang bagian bawahnya menjuntai. Bentuk piringan jam ini merupakan daur ulang bentuk jam meleleh karya pelukis surealis Salvador Dali.
Pada karya Harjiman yang lain bertajuk Made in Indonesia ia tampak berusaha bercerita lewat medium koper lawas yang menganga. Sisi vertikalnya berupa panorama langit biru dan indah, tapi di sisi horizontal menggambarkan lanskap yang terendam luapan air yang mengepulkan asap. Di dalam genangan itu mencuat bagian atas replika bangunan rumah dan pepohonan yang tak berdaun. Karya ini mengingatkan penonton pada kehancuran lingkungan di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, akibat luapan lumpur hasil kerja perusahaan Lapindo Brantas.
Selain butuh kemampuan sebagai tukang, karya seni obyek butuh ketekunan lebih karena berurusan dengan materi yang biasanya berukuran kecil dan kebutuhan untuk bekerja secara detail. Tapi justru karena berukuran kecil dalam proses penciptaannya karya obyek membuka peluang yang luas bagi seniman untuk melakukan eksperimen bentuk. Semangat eksperimen bentuk terasa kuat pada pameran ini. ”Penonton disuguhi karya yang memiliki spirit belajar dan bermain,” tulis Mikke Susanto dan Ronald Apriyan dalam pengantar kuratorial.
Seni obyek mulai berkembang dalam khazanah seni kontemporer di Indonesia pada dekade 1990-an, tapi tak banyak perupa yang tertarik menggarap karya obyek. Tak mengherankan jika hanya beberapa pameran yang secara khusus memamerkan karya seni obyek, termasuk pameran yang diikuti 34 perupa asal Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta ini.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo