Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cita-citanya hanya satu: menjadi mangaka alias pembuat manga profesional. Selepas lulus sekolah menengah umum di Pontianak, dua tahun silam, Ro-sita, kini 20 tahun, pun terbang ke Jakarta. Dia ingin ikut sekolah manga seperti terbaca dalam iklan di majalah komik terbitan Jakarta. ”Di Pontianak nggak ada kursus seperti itu,” katanya.
Dengan bekal pas-pasan, Rosita menetap di rumah familinya di Karawaci, Tangerang. Tiga kali seminggu ia meluncur ke Kemang, Jakarta Selatan, untuk belajar menggambar manga. Dasar berbakat, semasa mengikuti kursus diam-diam dia sudah membuat komik sendiri.
Elex Media Komputindo menerbitkan komik itu dengan judul My Cherry. Agar berbau Jepang, Rosita memakai nama pena Dorachi Roshirin. ”Enggak ada artinya, aku senang saja dengan nama itu,” ujar perempuan yang kini kembali menetap di Pontianak itu.
Roshirin, eh Rosita, bukan satu-satunya penulis manga. Ada pula Fauziah, yang juga telah menerbitkan komik berisi kumpulan empat cerita. Proses membuat komik, menurut Fauziah yang biasa disapa Faw, tidak mudah. Dia harus melakukan sendiri semua pekerjaan, mulai dari ide cerita, membuat sketsa, sampai memberikan tinta. ”Penyelesaiannya memakan waktu satu tahun,” katanya.
Berapa penghasilan yang mereka peroleh dari membuat komik? Ternyata tidak banyak. Mereka cuma menerima royalti 10 persen dari harga buku. Keluhan pun meruap. ”Sebenarnya banyak teman yang punya komik bagus. Tapi, karena honornya kurang, mereka urung menerbitkan,” ujar Faw. Menurut Kepala Seksi Komik dan Majalah Elex, Ratna Sari, angka itu merupakan hasil kesepakatan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi).
Sementara pembuat komik lokal mengeluhkan kecilnya honor, tak demikian dengan para pembuat majalah komik. Paling tidak, begitulah menurut para pengelola Splash, majalah yang berisi komik buatan mangaka lokal. Buat para penggagasnya, majalah yang mulai terbit pada Agustus tahun silam itu merupakan wujud idealisme mereka.
Penggagas Splash yang rata-rata masih berusia 20 tahun ini memang tak mencari duit dari membuat manga. Para mangaka ini kebanyakan menjadi tenaga lepas di berbagai perusahaan. Bayaran yang mereka dapat di luar sana jauh lebih besar ketimbang di Splash. ”Tapi kami cinta dengan komik buatan sendiri,” kata Shirley, salah satu pengelolanya. Yang penting, ka-tanya, para mangaka lokal punya tempat untuk mengekspresikan karyanya.
Splash lahir dari persahabatan saat mereka menuntut ilmu di Machiko Manga School. Setelah lulus, Machiko Maeyama, si senshei, mengusulkan mereka untuk membuat majalah komik sendiri. Mereka langsung setuju. Kebetulan, selama ini mereka sulit menerbitkan hasil karyanya. ”Melihat banyaknya manga yang beredar di sini, kami ingin bikin sendiri,” kata Ririn, salah satu pendiri Splash.
Setahun lalu, setelah menentukan format dan nama majalah, masing-masing mereka membuat ide cerita. Maeyama menjadi editor. ”Senshei yang menentukan cerita mana saja yang bisa dimuat,” kata Olivia, yang juga pendiri Splash. Naskah yang mereka buat tak selalu lancar, mesti bolak-balik juga. ”Kebanyakan ada persoalan dengan cerita,” ujar Maeyama. Akhirnya pada Agustus tahun silam majalah ini terbit. ”Senangnya luar biasa,” kata Shirley.
Majalah itu memuat sebelas cerita. Satu cerita berasal dari Jepang. Lainnya murni made in Indonesia. Seperti manga asli dari negeri matahari terbit, karakter dalam Splash juga tampil dengan mata bulat dan rambut yang jatuh di kening. ”Kami menyebutnya maqita,” kata Olivia. Kata itu kependekan dari manga kita. Mereka juga menyebut dirinya makinin sebagai pengganti mangaka.
Sekarang mereka tengah bersiap menerbitkan edisi berikutnya. Ritual kesibukan yang menyenangkan itu kembali berulang. ”Rasanya waktu 24 jam masih kurang,” ujar Gita, salah satu pengelolanya, sambil terbahak.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo