Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Libertango. Komposisi Astor Piazzolla itu menyapu panggung. Bukan dari bandoneon sebagaimana biasa dimainkan almarhum komponis asal Argentina itu, tapi lewat petikan harpa Maya Hasan dan tiupan klarinet Arief Setiadi. Dari samping kanan panggung tiba-tiba meloncat Adella. Dan kemudian saudaranya, Aletta. Kemudian pebalet Henry Jones. Semuanya mengenakan kostum berbalut merah.
Seorang laki-laki, dua wanita... dalam sebuah kegairahan.
Itulah Allegro-Adagio. Malam itu, dunia balet kita menikmati tontonan berbeda. Biasanya pertunjukan balet di Jakarta atas nama sekolah balet tertentu. Malam itu, Adella-Aletta tampil secara ”tunggal”. Publik balet mengenal balerina kembar itu semasa kecil belajar di Namarina, dan kemudian melanglang buana, mengikuti kelas balet dari New York sampai Hong Kong. Malam itu, hasil dari pergaulan mereka yang luas disajikan: enam nomor dengan gaya yang berbeda.
Dan mereka cukup beragam. Dari balet klasik, balet jazz, sampai modern-tradisi. Pertunjukan itu rata-rata koreografinya cantik dengan kostum dan tata visual memanjakan mata. Lebih untuk konsumsi publik umum me-mang. Antara satu karya dan karya lainnya tidak ada benang merah yang mengikat, tapi dari semua itu yang paling mudah tertangkap adalah: keriangan. Semua nomor dijiwai oleh karakter dasar Adella-Aletta yang trengginas.
Tango milik Piazolla, yang spirit dasarnya membaurkan harmoni dan disonan, mencampurkan irama jalanan yang pesing dan rumah-rumah dansa yang elegan, seolah musik di lobi hotel—tak muncul kegelisahannya. Nomor Allegro-Adagio karya Dedy Puja Indra dari Batavia Dance Studio itu sesungguhnya ingin menonjolkan dua sisi berlawanan dari dua saudara itu. Adella yang feminin yang suka ge-rakan dinamis, loncatan-loncatannya tinggi. Dan Alleta yang sedikit tomboi, suka gerakan cermat mengalir pelan, anggun dengan tempo lambat. Kontras itu tapi tak tampak benar karena tertutup suasana romansa.
Temperamen ceria itu juga diolah dalam Belaian karya Yudistira Syuman. Ia ingin menonjolkan dunia keakraban permainan anak-anak. Mengenakan ikat kepala dan gaun hijau daun, dua bersaudara itu lincah, seolah tengah dolanan. Seseorang mengangkat tangan kirinya menutup mata seolah bermain petak umpet, lalu yang lain menggamit mengajak pergi. Mereka saling tiduran di punggung, mengusap lalu ”terbang” bersama. ”Saya membuat ini khusus untuk Adella-Aletta,” kata Yudistira.
Nuansa keriangan itu juga kuat saat bersama Siti Ajeng Sulaiman, penari lulusan IKJ. Mereka menarikan Business of Love karya Sandy Croft, seorang koreografer asal Kanada. Ini nomor yang kental bernapaskan jazz dance. Sandy Croft adalah guru di International Summer Dance School Hong Kong, tempat Adella-Aletta dari Juli sampai Agustus 2006 belajar balet jazz. Mereka terkesan suasana keramahan yang dibangun Croft, menjadikan kelas yang diajarnya terasa hangat. ”Komposisi Croft mirip pertunjukan di Broadway,” kata Adella. Memang, menyaksikan nomor ini, ingatan kita melayang pada gaya-gaya tari dalam film musikal Chicago, karya sutradara Rob Marshall itu.
Adella-Aletta yang banyak pengalaman itu secara keseluruhan memang cenderung tidak memilih koreografi yang mengeksplorasi sisi resah dari kehidupan urban sebagaimana kecenderungan tari kontemporer saat ini. Sebuah pilihan yang pada ujungnya membenturkan tubuh dengan idiom metropolitan, dan mempertanyakan ulang konsep tubuh dalam sejarah tari sendiri. Nomor lain seperti karya Edmun Garland Hey You!!! Yeah You!!! masih bernapaskan keceriaan.
Ini karya yang bertolak dari tari duel jalanan yang dikemas menjadi sedikit berbau humor. Muncul mulanya penari Jonita Sjah. Penampilan solo Jonita untuk beberapa menit patut dipuji. Energetik. Dari sisi kiri dan kanan panggung bergantian muncul Adella dan Aletta menggodanya. Karya ini intinya ingin menampilkan seorang yang dibuat bingung oleh anak kembar. Gerakan-gerakan jenaka mereka tampilkan.
”Kali ini kita mau mementaskan balet yang ringan-ringan dulu,” kata Adella. Ya, sesungguhnya Adella-Aletta memiliki potensi menampilkan karya yang ”serius”. Itu terlihat pada Saiyo Satido karya Benny Krisnawardi, yang banyak mengolah unsur gerak tradisi Minang. Penampilan mereka betul-betul berbeda dengan lima karya sebelumnya.
Pementasan dengan iringan langsung sekelompok musisi Minang yang dipimpin Anursiwan ini menggunakan perkusi, alat tiup, dan ricikan Minang—dari kelontong sapi sampai suling. Mulanya Adella-Aletta bersama Davit dan Mislam bertolak dari kursi. Lalu mereka berdiri di atas punggung atau dibopong kedua penari laki-laki itu. Bagian paling menarik adalah bagaimana tatkala keempatnya bergerak bersama dengan tempo cepat, gesit, tiba-tiba berhenti lambat seperti orang melangkah sehari-sehari. Silih berganti, tak terduga.
”Soal teknik balet saya tak tahu,” kata Benny. Itu makanya ia tidak mau masuk ke balet murni. Yang ia lakukan adalah memanfaatkan kemampuan balet Adella-Aletta untuk bisa berkembang dalam sebuah ruang modern yang berakar tradisi. Dan ternyata strategi itu cukup menarik. Pada titik ini keberanian Adella-Aletta mencari koreografer yang mampu membaca dimensi lain dari diri mereka ternyata diperlukan. Pertunjukan nomor terakhir jauh lebih memuaskan daripada lima nomor sebelumnya.
Kita mengharap, misalnya, dapat melihat pertunjukan dengan style jazz dance dari si kembar ini—yang lebih mengeksplorasi sisi-sisi yang tidak semata indah dan cantik. Yang juga dinanti adalah Adella-Aletta sebagai koreografer. Orang mungkin ingin tahu bagaimana mereka mempersepsikan kekembaran mereka sendiri dalam sebuah koreografi.
Seno Joko Suyono dan Andi Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo