Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Jilbab untuk Bali

Beberapa sekolah menengah di Bali melarang jilbab. Pemerintah akan mengeluarkan peraturan menteri.

28 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar tak sedap itu bertiup dari Bali. Pada akhir Maret lalu, Koordinator Lapangan Tim Advokasi Jilbab Bali, Mohammad David Yusanto, mengemukakan ada 39 sekolah menengah yang melarang siswinya mengenakan jilbab. Sekolah tersebut tersebar di beberapa kabupaten, tapi paling banyak di Denpasar, Kabupaten Badung, dan Buleleng. "Kebanyakan dari sekolah itu larangannya tidak tertulis," ujarnya.

Berbagai upaya dilakukan Tim Advokasi, seperti mengirim surat dan mengadakan audiensi dengan dinas pendidikan di masing-masing kabupaten dan DPRD kabupaten/kota serta Provinsi Bali. Mereka juga telah melaporkan kasus ini ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim ini telah memvalidasi 33 dari 39 sekolah yang melarang penggunaan jilbab di tujuh kabupaten/kota dari sembilan kabupaten/kota di Bali. Validasi itu dilakukan dalam bentuk rekaman atau pernyataan tertulis dari sekolah atas pelarangan jilbab. "Tiga puluh tiga data sekolah yang tervalidasi sudah saya serahkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," ujar Helmi Al Djufri, dari Tim Advokasi Jilbab Bali.

Sebenarnya urusan seragam sudah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 100/C/Kep/D/1991. Namun, menurut Harris Iskandar, Direktur Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan adanya berbagai permasalahan, khususnya soal jilbab di Bali, aturan itu akan diperbarui dan ditingkatkan menjadi peraturan menteri.

Mengaku sempat dilarang bahkan ditawari pindah sekolah, Anita Wardhani, siswi SMA Negeri 2 Denpasar, perlu berjuang dua setengah tahun sebelum akhirnya dinyatakan berhak mengenakan jilbab. Awal tahun ini, didampingi Helmi, ia mempertanyakan larangan itu kepada kepala sekolah dan hasilnya menggembirakan. Ia berhak memakai jilbab. Kepala SMA 2 Denpasar, I Ketut Sunarta, tidak mau berkomentar banyak sehubungan dengan pelarangan jilbab sebelum itu. "Permasalahan ini sudah tidak perlu dibahas lagi," katanya.

Sekolah menggunakan tata tertib sekolah, aturan OSIS yang sudah lama. Dalam tata tertib sekolah—sebagaimana yang berlaku umum di Bali—dicantumkan contoh seragam, tapi tidak menyertakan seragam muslimah. Sedangkan otonomi sekolah hanya meliputi standar pengelolaan dan standar pembiayaan. "Pengelolaannya terserah sekolah, dijamin Undang-Undang Sisdiknas. Sampai soal kelulusan, dewan guru berhak tidak meluluskan," ujarnya. "Tapi, dalam hal ini (jilbab), sekolah harus ikut aturan, aturan hak asasi manusia, Konvensi PBB, UUD, UU Sisdiknas, tidak ada alasan."

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan dalam peraturan menteri yang sedang digodok intinya tidak boleh ada halangan atau larangan untuk mengekspresikan keagamaan. "Kalau jilbab itu bagian dari ekspresi keagamaan, tidak boleh ada larangan. Itu pakem, meskipun warnanya harus bagian dari seragam, abu-abu-putih, misalnya," ujarnya.

Rita Pranawati, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, mengatakan sebagai salah satu lembaga negara yang melindungi hak-hak anak, prinsip pertama adalah non-diskriminasi. Selain itu, prinsip dasar yang harus dipegang, keyakinan beragama adalah non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi), termasuk keyakinan untuk memakai jilbab. Bahwa negara harus juga menjamin pendidikan siswa. "Jadi, ketika seorang siswi menjalankan keyakinannya, tidak boleh dikurangi haknya untuk mendapatkan pendidikan."

Menurut dia, perlindungan minoritas tidak hanya di Bali. KPAI mengingatkan persoalan minoritas bisa terjadi pada umat Hindu atau Kristen di Aceh, atau umat Islam di Papua. Diskriminasi lain biasanya pemberian pendidikan agama untuk siswa sesuai dengan agamanya yang dijamin Undang-Undang Sisdiknas. "Sekolah negeri itu perpanjangan negara, seharusnya menjamin hak untuk beragama dan mendapatkan pendidikan," ujarnya.

Erwin Zachri, Putu Hery Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus