Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pemerataan yang Gagal

Hasil Sipenmaru di beberapa kota besar kurang gairah. Diduga, para peserta pesimis. Tes kemampuan umum (TKU) belum tepat sasaran. TKU untuk menjaring mahasiswa luar Jawa, ternyata hasilnya terbalik.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada gairah meluap. Tak juga ada gejolak. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) yang diumumkan Rabu pekan lalu hampir tak bergema. Seputar Stadion Utama Senayan, Jakarta, yangsetiap tahun dijadikan pusat penyebaran koran pengumuman Sipenmaru, kali ini tampak sepi. Kalaupun ada yang bersorak kegirangan, itu hanya satu dua. "Saya sudah menyangka bisa lulus," kata Ida Ayu Rai Laksmi tanpa mengumbar emosi berlebihan. Lulusan SMA 14 Jakarta itu lalu memeluk temannya. Situasi semacam itu tak cuma di Jakarta. Juga di kota lain seperti Medan, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya. "Suasana memang jauh lebih sepi dibanding tahun lalu," kata Soesanto Prijosepoetro, Pembantu Rektor III Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang memonitor sejak pagi. Boleh jadi karena mulai tahun ini sistem informasi tak lagi dipusatkan di satu tempat, tapi disebar ke beberapa lokasi. Untuk kawasan Surabaya, misalnya, selain di Unair, lembar pengumuman dibagikan pula di IKIP dan ITS. Dan koran-koran pun, baik yang terbit di Jakarta maupun di daerah, ramai-ramai memuat hasil Sipenmaru. Kekuranggairahan ini kabarnya karena banyak peserta Sipenmaru yang pesimistis bisa lulus. Selain masalah saingan yang semakin ketat -- 436 ribu peserta untuk merebut 66 ribu kursi di perguruan tinggi negeri -- adanya Tes Kemampuan Umum (TKU) yang menentukan kelulusan dianggap memperkecil kesempatan itu. Tes yang baru pertama kali diadakan ini dimaksudkan untuk "pemerataan", menjaring lebih banyak siswa yang berasal dari daerah, terutama luar Jawa. Tes ini untuk melihat kecerdasan siswa. "Yakni suatu potensi yang memang sudah ada sejak lahir dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan," kata Prof. Ir. Sidharta Pramoetadi, Direktur Pembinaan Sarana Akademis P dan K yang juga Ketua Panitia Pusat Sipenmaru. Kalau Sipenmaru hanya mengandalkan kemampuan akademis, menurut Pramoetadi akan terasa tidak adil. Sebab, kemampuan akademis merupakan hasil kerajinan, pengaruh lingkungan dan fasilitas yang tersedia baik di rumah maupun di sekolah. Idealnya dengan TKU pelajar yang sebenarnya cerdas tapi tak terasah karena lingkungannya tak mendukung bisa tampil dan punya peluang sama besar untuk masuk perguruan tinggi negeri. Karena itu, soal-soal TKU yang dibikin oleh sejumlah psikolog sama sekali tak bersentuhan dengan pelajaran yang diberikan di sekolah atau kurikulum. Yang disesalkan Pramoetadi adalah bimbingan tes dengan jasa psikolog juga melatih tes serupa. Akhirnya yang lulus Sipenmaru juga kebanyakan pelajar di kota besar atau di Jawa, yang ikut bimbingan tes. Seperti Rai Laksmi yang diterima di Fakultas Sastra UI itu. Ia berkenalan dengan tes sejenis TKU itu di bimbingan tes Santa Lucia, Jakarta. Ia mengaku, apa yang dipelajari di bimbingan tes polanya sama dengan TKU. Jadi, ia memang optimistis bisa lulus, walaupun "saya banyak mengosongkan soal-soal yang lain," katanya. Begitu pula Yekti Prawitahati, lulusan SMA 3B Yogya. "Ternyata, soal-soal TKU yang diujikan dalam Sipenmaru, mirip dengan soal-soal latihan yang diberikan oleh bimbingan tes. Karena itu, saya tidak mengalami kesulitan," katanya. Dengar pula kata Irfan Lubis, alumnus SMA 8 Medan yang diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan. "Hampir semua di kelasku yang ikut bimbingan tes lulus Sipenmaru," katanya. "Pembimbing kami mengajarkan supaya tidak membaca teks cerita dalam soal TKU, karena bisa menghabiskan waktu. Ternyata benar." Banyak sekali contoh serupa. Kalau bimbingan tes sudah lebih dulu mengantisipasi, lantas masih bergunakah TKU untuk menjaring pemerataan? "Jelas, tidak relevan lagi," kata Pembantu Rektor I ITB Dr. Ir. Harsono Taroepratjeka, yang juga Ketua Panitia Ujian Masuk Lokal di Bandung. "Padahal, harapan kita adalah ingin menjaring lebih banyak lagi mahasiswa dari luar Jawa. Dengan sudah ditebaknya TKU dan dengan latihan-latihan di bimbingan tes, tetap saja masyarakat daerah kalah. Hasil TKU tidak lagi valid." Harsono menyebutkan contoh, tahun lalu, sebelum ada TKU, dari 1.565 mahasiswa yang diterima di ITB, hanya 279 berasal dari luar Jawa. Tahun ini belum sempat dievaluasi, tapi sudah diperkirakan perbandingan angka itu tak akan lebih besar. Padahal, dari hasil evaluasi selama ini, menurut Harsono, kelanjutan studi mahasiswa dari luar Jawa tak kalah dengan rekan-rekannya yang di Jawa. "Dengan banyaknya mahasiswa dari luar Jawa, dampaknya akan sangat positif bagi perkembangan kemajuan Indonesia," katanya. Karena itu, ia punya ide untuk menjaring mahasiswa ITB dengan melakukan wawancara langsung ke luar Jawa. Artinya, di luar sistem yang ada sekarang, baik Sipenmaru atau Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Soesanto Prijosepoetro, Pembantu Rektor III Unair tadi, malah sudah mengadakan evaluasi hasil Sipenmaru tahun ini. Hasilnya, calon mahasiswa luar Jawa tetap saja kecil. Di Unair dari 1.358 mahasiswa yang diterima lewat Sipenmaru dan 336 Icwat PMDK (semula ada 353 tapi ada yang mundur) tahun ini, hanya 26 berasal dari luar Jawa. Soesanto sendiri tak mau mengaitkan jumlah yang tetap kecil ini dengan "kegagalan" TKU. "Wah, soal TKU saya no comment," katanya. Tapi kemudian ia mau dikutip begini, "Secara umum dapat saya katakan bahwa ibarat atlet yang akan bertanding, kalau dia telah berlatih secara optimal tentu lebih berhasil dibandingkan yang tidak." Tentu saja "atlet" di kota besar dan terutama di Jawa yang paling siap bertanding. Apalagi, dalam Sipenmaru tahun Ini, hasil TKU memang dipakai secara konsekuen. "Jadi, yang jelek ujian tulisnya tapi TKU-nya menonjol dipertimbangkan untuk lulus," kata Pramoetadi. Bahkan delapan perguruan tinggi di Jawa (UI, IPB, ITB, UGM, Unair, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, dan IKIP Malang) dijadikan proyek untuk menerima mahasiswa luar Jawa yang TKU-nya "masih dianggap lumayan". Pertimbangannya, kedelapan perguruan tinggi negeri itu punya fasilitas lengkap dan dari tahun ke tahun selalu diserbu peminat. Lagi pula mulai tahun ini diperkenalkan lagi program matrikulasi. Walau sudah ada katrol seperti itu, hasilnya masih mengecewakan. Apakah TKU masih dipakai tahun depan atau dicari lagi cara baru untuk "program pemerataan", tak seorang pun yang bisa memastikannya. Pramoetadi hanya berkata, "Sebagai percobaan TKU masih perlu dievaluasi." Y.H. dan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus