Sumber api perlu didinamit? Selama kemarau panjang ini hutan di tujuh provinsi terbakar. ALAM Indonesia hampir setengah tahun sekali dihiasi api. Ini terutama di saat kemarau panjang. Hingga akhir Agustus lalu, lidah api sudah menjilat tujuh provinsi serta merusak lebih dari 3.000 ha hutan. Kerusakan itu diperkirakan bertambah lagi karena hujan enggan datang -- walaupun di beberapa daerah mulai mengucur kecil-kecilan. Namun, kemarau bukanlah satu-satunya penyebab kebakaran hutan. Sebab, api bisa datang dari mana saja. Ada dugaan, misalnya, api berasal dari kecerobohan pendaki gunung atau pencari kayu. Bahkan juru bicara Perum Perhutani I, Judono Rudianto, menuduh penduduk sengaja membakar hutan. Ada kepercayaan bahwa jika hutan dibakar, hujan bakal datang. Itu kejadian pada hutan di Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Pulau Panaitan. Lain lagi dengan kebakaran Taman Hutan Raya (Tahura) di Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Ternyata, api berasal dari perut bukit itu sendiri. Dan dalam penelitian Vico, kontraktor Pertamina, dalam rahim tahura tersimpan 20 juta ton batu bara. Deposit batu bara yang ada di kilometer 48 ini, menurut H.M. Ardans, Gubernur Kalimantan Timur, merupakan asal mula kebakaran. Sejak 1982 terjadi kebakaran besar di provinsi ini, yang mengakibatkan 3,6 juta ha hutan hangus. Dan sejak itu batu bara terus pula membara. Serasah (rontokan daun) yang bertumpuk di tanah merupakan santapan empuk untuk bibit api dalam perut bumi itu. Kobaran api membikin sibuk banyak pihak, seperti pemda, pemegang HPH (hak pengusahaan hutan), dan aparat ABRI. Misalnya, 50 anggota Batalyon 611 Awang Long dan 70 Brimob dari Polda Kalimantan Timur dikerahkan melawan api. Toh pemadaman tersebut dilakukan secara sederhana. "Yang bisa kita lakukan adalah tindakan pengendalian, karena api yang berkobar tidak mungkin dipadamkan," kata Didin Suwandi Ilyas, ketua pelaksana sementara pengelolaan Bukit Soeharto. Maka, digalilah empat meter ilaran, parit isolasi, di sekeliling api. Embusan angin, dalam semenit, mengakibatkan api merambat dua meter. Hingga minggu lalu, api dapat dikuasai. Tapi sekitar 650 ha hutan di Bukit Soeharto dan sekitarnya terpanggang. Dan kebakaran itu mungkin berlanjut, sehingga membuat Presiden Soeharto prihatin. Selasa pekan lalu, ketika menerima Menteri Negara KLH Emil Salim, Kepala Negara menginstruksikan segera diambil tindakan penanggulangannya. Dan kalau perlu, pemadaman dilakukan dengan pengeboman air. Sebenarnya, cara ini sudah dikenal di sana sejak 1987, ketika tahura itu memerah lagi, pengeboman air enam kali dilakukan dengan pesawat Transal dari Pelita Air Service. Cuma, biayanya tidak membuat orang segera dingin, karena dalam sejam saja Departemen Kehutanan harus membayar ongkos sewa pesawat 2.600 dolar AS. Menyadari masalah ini bakal terulang tiap tahun, Departemen Kehutanan kini membentuk tim khusus pemadaman kebakaran hutan yang dilengkapi dengan pesawat Transal. Kebakaran di hutan lindung Pulau Panaitan dalam Taman Nasional Ujungkulon yang membara sejak awal Agustus silam, misalnya, dipadamkan dengan pengeboman air, dengan memakai dua pesawat. Api yang merayap di hutan seluas 40 ha itu padam awal September lalu, setelah dua hari dihujani bom air. Prihatinnya Kepala Negara atas keadaan Bukit Soeharto itu mudah dipahami. Hutan di sana, selain berfungsi sebagai tempat pelestarian alam dan untuk kepentingan penelitian serta pendidikan, juga menimbulkan persoalan yang tidak kunjung berhenti. Terletak di tepi jalan raya Balikpapan-Samarinda, bukit yang diresmikan Presiden Soeharto pada 1976 ini semula luasnya 25.000 ha. Kemudian, luas kawasannya ditingkatkan menjadi 77.350 ha. Peningkatan ini, menurut Gubernur Ardans, ternyata terlalu bersemangat, tanpa melihat kondisi yang ada. Padahal, bukit ini, selain menyimpan batu bara di dalam perutnya, juga memendam dua tambang minyak dan gas yang rata-rata mampu memproduksi 120 juta kaki kubik gas metan dan 6.000 barel minyak. Sementara itu, di atasnya hampir 700 kepala keluarga terus membabat hutan untuk dijadikan kebun lada. Kondisi ini kemudian diperparah dengan jenis hutan yang tumbuh. Menurut Soeyitno Soedirman, Direktur Pusat Rehabil itasi Hutan Tropika Basah di Universitas Mulawarman, hutan di sana enak disambar api karena didominasi pohon yang daunnya mudah terbakar. Pelbagai kondisi inilah yang membuat Gubernur Ardans, dua pekan lalu, menemui Menteri Kehutanan, Menteri Negara KLH, dan Menteri Dalam Negeri, meminta agar luas bukit tersebut ditinjau kembali. Karena kompleksnya masalah di tahura itu kini sedang dijajaki usaha penanggulangan bencana hutan antara Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Energi, dan Menteri Negara KLH. Bisa saja, agar batu bara tidak selalu menjadi bara dalam sekam, kemudian diledakkan dengan memakai dinamit. Akibat ulah lidah api tadi, selama kemarau panjang ini, belum dapat diperkirakan kerugian hutan yang terbakar itu. Ketika kebakaran besar pada 1982, kerugiannya lebih dari Rp 1 trilyun. Ini dihitung berdasarkan harga kayu yang musnah. Di samping itu, kerugian akibat rusaknya fungsi hutan jauh lebih besar. Menurut Hasanu Simon, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, kepada M. Faried Cahyono dari TEMPO, hutan gundul yang tidak berhumus itu kini tak mampu lagi menahan air. Api juga telah memutuskan jaringan makanan satwa dan mikroorganisme yang hidup di sana. Terhadap kerugian ini, memang belum ada peneliti yang sanggup menghitungnya. Diah Purnomowati, Heddy Lugito dan Rizal Effendi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini