Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dua jagoan nobel

Dua pemenang hadiah nobel bidang fisika dr.Heinrich Rohrer dari Swiss dan dr.Nicolaas Bloembergen asal AS, hadir pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V di Jakarta. Profil kedua pakar tersebut.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua pemenang hadiah Nobel bidang fisika berkunjung dan berseminar di Indonesia. Mereka bicara soal dunia penelitian di sini. ADA dua tamu istimewa yang muncul di tengah peserta Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) V, pekan lalu, di Jakarta. Mereka adalah Dr. Heinrich Rohrer dari Swiss dan Dr. Nicolaas Bloembergen asal AS. Mereka berdua tergolong manusia langka karena pernah menerima hadiah Nobel untuk penemuan baru di bidang fisika. Sebagaimana lazimnya seorang penerima hadiah Nobel, Rohrer serta Bloembergen tergolong orang yang omongannya didengar. Dia ceramah di banyak tempat di sela-sela pekerjaan pokoknya sebagai ilmuwan. Untuk memboyongnya ke Jakarta, perlu waktu panjang. "Kami sudah sejak April mengajukan surat permintaan," kata Dr. Mien Rifai, ahli mikologi yang menjadi sekretaris panitia Kipnas. Kepastian kedatanganya baru sampai Juli lalu. Selama di Jakarta, kedua ahli ini bertemu sejumlah tokoh, termasuk Presiden Soeharto, Menteri Fuad Hassan, dan Menteri Hartarto. Ceramah pun digelar di pelbagai tempat, di arena Kipnas, di Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi (Puspitek) Serpong, Yogya, dan Bandung. Keduanya merupakan pemenang Nobel pertama yang mengadakan perjalanan ilmiah di Indonesia. Berikut ini profil kedua pakar fisika itu: Dr. Heinrich Rohrer, 58 tahun Hadiah Nobel Fisika diraihnya pada 1986, bersama koleganya di laboratorium IBM Zurich, Swiss, Dr. Gerd Bennig. Mereka dianggap berjasa melahirkan teknologi Scanning Tunnelling M icroscope (STM). Pada teknologi STM ini, Rohrer dan Bennig secara cemerlang mengombinasikan dua macam gejala fisika: tunneling dan piezo electric. Namun, kedua gejala itu bukan Rohrer dan Bennig penemunya. Tunneling merupakan gejala yang timbul dari interaksi antara ujung jarum halus dan sebuah permukaan, bila keduanya diberi potensial listrik yang berbeda. Sedangkan piezo electric merupakan fenomena perubahan bentuk sebuah material, akibat perubahan arus listrik yang mengalir padanya. Hasil penggabungannya adalah sebuah mikroskop tanpa lensa, buatan IBM, yang bisa menggambar, memperbesar benda berukuran satu atom, bergaris tengah 0,0001 mm. Alat ini belum terdengar hadir di Indonesia. Dan Rohrer yakin, STM akan menjadi instrumen penting di berbagai laboratorium ilmiah pada dasawarsa mendatang. Gunanya, antara lain, untuk penyelidikan mikroelektronika dan biologi molekuler. "Pada saatnya nanti, orang Indonesia akan memanfaatkannya," kata Rohrer. STM bukan satu-satunya karya Henriech Rohrer. Doktor fisika lulusan Institut Teknologi Federal Swiss ini dianggap berjasa dalam penelitian transisi fase dan fenomena multikritis -- gejala-gejala pada perubahan fasematerial. Dia memang mahir dalam ilmu material. Disertasinya pada 1960 juga tentang material superkonduktor, bahan penghantar listrik tanpa hambatan. Penelitian itu dihasilkannya di lab IBM Zurich, tempat dia bekerja sejak 1963. Menyoroti riset untuk negara berkembang seperti Indonesia, Rohrer menyarankan agar penelitian dasar dan terapan harus jalan dua-duanya. "Kalau tidak, Anda akan semakin tertinggal," katanya. Kendati begitu, Rohrer juga menginga tkan bahwa riset-riset itu tetap saja akan sulit diharapkan mengejar ketinggalan negara berkembang. "Namun, penemuan baru yang berharga bisa terjadi di mana saja," katanya. Namun, untuk keperluan industri, Rohrer menyarankan agar penelitian lebih ditekankan pada segi teknis, mengombinasikan komponen-komponen elektronik untuk mendapat rancangan baru yang lebih efisien, misalnya. "Untuk chip, Anda cukup mempelajari sampai cara kerjanya. Setelah itu, baru membuat riset tentang pemanfaatannya yang lebih canggih," ujarnya. Menurut Rohrer, riset semacam itulah yang dilakukan negara-negara industri baru semacam Singapura, Hong Kong, Taiwan. dan Kor-Sel, si empat macan Asia. Untuk Indonesia, Rohrer menyarankan riset teknis yang lebih gencar dalam bidang komputer dan informatika, termasuk perangkat lunaknya. Bidang ini masih terus membuka kans bagi penemuan baru. "Dan biayanya relatif ringan," tuturnya. Prof. Nicolaas Bloembergen, 71 tahun Dia lahir di Dordrecht, Belanda. Gelar sarjananya diperoleh di Universitas Utrect pada 1943, predikat doktor digaetnya dari Universitas Leiden, 1948. Pada 1951 dia hijrah ke Amerika dan mulai bekerja di Universitas Harvard. Kewarganegaraan Amerika didapatkan pada 1957. Pada usianya yang telah senja kini, ia masih aktif mengajar di Harvard, sebagai guru besar emiritus, dan masih dipercaya memangku jabatan sebagai ketua Masyarakat Fisika Amerika. Bloembergen menggaet hadiah Nobel 1981 berkat penemuannya dalam soal laser spectroscopy. Penemuan ini digalinya bersama seorang koleganya di Harvard, Dr. A.L. Schawlow. Lewat penelitian itu, kedua jago fisika Harvard itu menemukan "penyimpangan" perilaku pada sinar laser. Ketika dilewatkan pada suatu media khas buatan Bloembergen dan A.L. Schawlow, sinar laser dari spektrum inframerah mendadak berubah menjadi biru. Perubahan itu membua frekuensi gelombang laser makin tinggi dan energinya pun makin besar. Fenomena ini sering ditempatkan ke dalam khazanah kajian baru yang disebut optik nonlinier. Aplikasinya sudah tiba Indonesia, berupa perkakas MRI (magnetic resonance imaging), alat diagnosis yang sudah ada di RSCM dan RS Gatot Subroto. Bloembergen tergolong ilmuwan produktif. Sepanjang kariernya, dia telah menulis sekitar 300 buah makalah ilmiah. Penghargaan pun datang dari pelbagai penjuru, yang antara lain berupa medali sains nasional dari presiden Amerika 1974, medali Lorentz dari Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda 1978, dan medali kehormatan dari Lembaga Teknik Elektro dan Elektronika AS 1983. Kendati punya nama beken, Bloembergen justru tak menjadi idola di mata anak-anaknya. Tak ada dari mereka yang mengikuti jejaknya sebagai ilmuwan. "Anak-anak ngeri jadi ilmuwan, takut tak punya waktu buat anak-istri," kata Ny. Bloembergen, wanita berdarah Belanda kelahiran Solo, yang menyertai suaminya ke Indonesia. PTH dan Ivan Harris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus